Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setelah 5 bulan berturt-turut mengalami deflasi sejak Mei 2024, Indonesia akhirnya inflasi sebesar 0,08 persen pada Oktober 2024. Indeks Harga Konsumen (IHK) naik dari 105,93 pada September 2024 menjadi 106,01 pada Oktober 2024 atau sebesar 1,71 persen (year on year/yoy).
“Kelompok pengeluaran penyumbang inflasi bulanan terbesar (pada Oktober 2024) adalah perawatan pribadi dan jasa lainnya dengan inflasi sebesar 0,94 persen dan memberikan andil inflasi sebesar 0,06 persen. Komoditas yang dominan mendorong inflasi pada kelompok ini adalah emas perhiasan yang memberikan andil inflasi sebesar 0,06 persen,” kata Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti di Jakarta, Jumat, 1 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komoditas lain yang juga memberikan andil inflasi antara lain daging ayam ras sebesar 0,04 persen, bawang merah 0,03 persen, tomat dan nasi dengan lauk masing-masing 0,02 persen. Kopi bubuk, minyak goreng, sigaret keretek mesin (SKM), dan telur ayam ras yang memberikan andil inflasi masing-masing sebesar 0,01 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuh dari sembilan komoditas tersebut termasuk ke dalam golongan kelompok makanan, minuman, dan tembakau.
Kelompok makanan, minuman, tembakau kembali mengalami inflasi pada Oktober 2024 dan memberikan andil inflasi 0,03 persen setelah mengalami deflasi sejak April 2024.
“Hal yang sama ditunjukkan dari pola inflasi beberapa komoditas pada kelompok ini. Komoditas bawang merah, daging ayam ras, dan telur ayam ras mengalami inflasi setelah beberapa bulan sebelumnya menjadi penyumbang utama deflasi,” ucap Amalia yang akrab dipanggil Winny.
Mengenai emas perhiasan sebagai komoditas utama yang mendorong inflasi bulan Oktober 2024, ini dipengaruhi harga emas di pasar internasional yang menunjukkan tren kenaikan. Fenomena ini disebut tergambar pada harga emas perhiasan di dalam negeri.
Secara historis, komoditas emas perhiasan mengalami deflasi lima kali di tahun 2022 serta deflasi tiga kali di tahun 2023. Namun, komoditas emas perhiasan terus mengalami inflasi hingga Oktober 2024 sejak September 2023.
Untuk kelompok transportasi pada Oktober 2024, memberikan andil deflasi 0,52 persen. Komoditas yang dominan mendorong deflasi kelompok ini adalah bensin dan tarif angkutan udara dengan andil deflasi masing-masing 0,06 persen dan 0,01 persen.
“Untuk komoditas bensin, deflasi sudah terjadi selama dua bulan berturut-turut. Hal ini tentunya seiring dengan penyesuaian harga BBM (Bahan Bakar Minyak) non-subsidi yang dilakukan oleh Pertamina dan sejalan dengan tren penurunan harga minyak di pasar global,” kata dia.
Lebih lanjut, inflasi pada Oktober 2024 didorong oleh komponen inti yang mengalami inflasi 0,22 persen dengan andil inflasi 0,14 persen. Komoditas yang memberikan andil inflasi secara dominan pada komponen inti adalah emas perhiasan, nasi dengan lauk, kopi bubuk, serta minyak goreng.
Selanjutnya, komponen harga diatur pemerintah mengalami deflasi 0,25 persen dengan andil deflasi 0,05 persen. Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi adalah bensin dan tarif angkutan udara.
Komponen harga bergejolak juga mengalami deflasi sebesar 0,11 persen yang berarti telah mengalami deflasi selama tujuh bulan berturut-turut. Namun tekanan deflasi semakin berkurang pada Oktober 2024. Adapun komoditas yang dominan memberikan andil deflasi pada komponen ini adalah cabai merah, cabai rawit, kentang, dan ikan segar.
Untuk sebaran inflasi bulanan menurut wilayah, sebanyak 28 dari 38 provinsi di Indonesia mengalami inflasi, sedangkan 10 lainnya mengalami deflasi.
“Inflasi tertinggi terjadi di Maluku yang sebesar 0,65 persen, sementara deflasi terdalam terjadi di Maluku Utara sebesar 1,05 persen,” ucap Winny.
Dampak Deflasi Berturut-turut
Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) Chaikal Nuryakin deflasi berturut-turut dan turunnya daya beli masyarakat tidak berkaitan. Menurut dia, penurunan daya beli masyarakat seharusnya terlihat pada inflasi inti, bukan inflasi barang bergejolak. Sedangkan, yang mengalami penurunan adalah volatile food atau komoditi pangan yang bergejolak.
Mengutip penelitian LPEM, proporsi dari konsumsi makanan kelas menengah yang menurun justru kini meningkat. Memang seharusnya, menurut Chaikal, bahwa penurunan daya beli kelas menengah tidak serta-merta menurunkan konsumsi makanan mereka. Sebab, makanan yang tergolong dalam kebutuhan dasar bagaimanapun tetap dibutuhkan oleh orang-orang.
“Daya beli kelas menengah itu tidak tercermin dari menurunnya konsumsi food. Jadi, konsumsi food tetap dikonsumsi oleh kelas menengah,” kata Chaikal dalam video “Apa Penyebab Deflasi Beruntun? Apakah Data Kita Masih Relevan?” yang tayang di kanal YouTube LPEM FE UI, seperti dikutip pada Kamis, 10 Oktober 2024.
Oleh karena itu, daya beli kelas menengah yang menurun memang seharusnya terlihat dari inflasi inti, alih-alih dari deflasi volatile food. Jika ditarik kesimpulan, maka volatile food yang sedang mengalami penurunan saat ini tidak berkaitan dengan penurunan daya beli masyarakat kelas menengah.
Nabiila Azzahra A berkontrobusi dalam penulisan artikel ini.