Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank Indonesia menurunkan suku bunga BI7DRR menjadi 6 persen.
The Fed memangkas suku bunga 0,5 persen.
Bank akan menurunkan bunga deposito dan tabungan.
MUSIM gugur bunga sudah tiba. Setelah The Federal Reserve memangkas suku bunga acuan 0,5 persen pada Rabu, 18 September 2024, Bank Indonesia ikut memotong BI-7 Day Repo Rate 0,25 persen atau menjadi 6 persen sehari setelahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini seharusnya menjadi kabar baik. Secara teori, turunnya suku bunga BI akan ikut menurunkan berbagai macam bunga pinjaman, baik untuk korporasi maupun bagi konsumen, yang berefek positif pada ekonomi. Terlebih jika BI melanjutkan penurunan suku bunga di bulan-bulan mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ongkos berutang yang lebih murah dapat mendorong konsumen berbelanja lebih kencang. Permintaan secara agregat akan meningkat dan ini bisa mendorong ekonomi berputar lebih cepat. Bagi korporasi, suku bunga yang lebih murah juga berarti biaya modal lebih rendah. Ongkos produksi akan turun sehingga muncul dorongan lebih kencang untuk menaikkan volume bisnis.
Namun realitas hidup sering kali tak seindah teori. Yang paling jelas, selalu ada jeda waktu antara penurunan BI Rate dan penurunan bunga kredit perbankan. Bagi bank, menurunkan bunga pinjaman sama artinya dengan menurunkan pendapatan, yang ujung-ujungnya mengurangi profit. Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, jeda waktu itu bisa cukup lama, bahkan sampai berbulan-bulan.
Ketika ada penurunan bunga acuan bank sentral, reaksi pertama perbankan di Indonesia bukan menurunkan bunga pinjaman, melainkan mereduksi bunga simpanan, baik deposito maupun tabungan. Walhasil, para penabunglah yang pertama kali menanggung penurunan penghasilan karena imbal hasil tabungan mereka turun. Perbankan Indonesia akan memanfaatkan turunnya bunga BI seoptimal mungkin demi menaikkan pendapatan.
Bisnis bank di Indonesia memang menggiurkan, memberikan untung besar kepada para pemiliknya. Kaum kapitalis tentu ingin tetap meraup laba selagi ada kesempatan. Salah satu ukurannya adalah net interest margin (NIM) atau selisih bunga pinjaman dengan simpanan. Inilah laba kotor bank dari bisnis utama mereka: simpan-pinjam uang.
Per Juni 2024, rata-rata NIM perbankan Indonesia termasuk tinggi, yaitu 4,59 persen. Angka ini sedikit lebih rendah ketimbang NIM rata-rata pada akhir 2023 yang mencapai 4,81 persen. Tapi NIM rata-rata bank di Indonesia termasuk paling tinggi dibanding negara tetangga.
Di Asia Tenggara, cuma bank di Kamboja yang menghasilkan NIM lebih tinggi ketimbang di Indonesia, yaitu 5,35 persen. Sedangkan NIM perbankan Filipina dan Thailand masing-masing 3,56 persen dan 3,35 persen. Di Malaysia dan Singapura, angkanya masing-masing 1,96 persen dan 1,21 persen.
Persoalannya, tingginya NIM tak semata didorong nafsu para kapitalis pemilik bank memburu untung sebesar-besarnya. Ada banyak faktor yang bisa berujung pada NIM yang tinggi.
Secara umum, NIM juga mencerminkan tingkat efisiensi industri perbankan. Makin tidak efisien satu bank, misalnya karena biaya operasional yang tinggi, para bankir akan makin terdorong mematok bunga pinjaman lebih tinggi agar mereka tak rugi.
Regulasi perbankan tentu juga berperan. Industri perbankan yang mendapat proteksi terlalu ketat dari otoritas, misalnya, akan mengurangi kompetisi. Akibatnya, perbankan bisa lebih rileks, tak terdesak menjalankan bisnis secara lebih efisien. Kebijakan moneter ataupun stabilitas makroekonomi yang tidak kondusif juga bisa mendorong tingginya NIM.
Kondisi fiskal pemerintah turut berpengaruh. Bunga obligasi pemerintah yang saat ini di kisaran 6,5 persen, misalnya, menjadi alternatif yang sangat menarik bagi bankir untuk menempatkan dana. Bunga tinggi itu tentu juga mempengaruhi pertimbangan para bankir saat menetapkan bunga pinjaman untuk nasabahnya.
Sistem keuangan Indonesia memang menganut sistem pasar terbuka. Bunga pinjaman perbankan akan bergerak seturut mekanisme pasar, yang antara lain dipengaruhi berbagai faktor tersebut. Walhasil, baik pemerintah maupun otoritas perbankan tak akan bisa main perintah agar bank segera menurunkan suku bunga pinjaman ketika BI Rate turun.
Sebaliknya, inilah kesempatan bagi bank di Indonesia untuk menurunkan bunga simpanan buat penabung demi memperbesar laba. Perbankanlah yang akan pertama-tama menikmati rezeki nomplok musim gugur bunga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Peluang Laba Musim Gugur Bunga"