Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYIDIK Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus masih menutup rapat-rapat penyidikan kasus korupsi impor gula yang menjerat Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong. Jaksa menyebutkan kerugian terjadi selama 2015-2023. Jumlahnya mencapai Rp 400 miliar. Tapi detail pelanggarannya masih belum terang. “Nanti, karena kami sedang berfokus menghadapi gugatan praperadilan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar pada Kamis, 7 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena penetapan status tersangka terhadap Tom dianggap janggal, pengacaranya mendaftarkan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa, 5 November 2024. Tom ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa, 29 Oktober 2024. Ia dituduh mengeluarkan persetujuan impor gula kristal mentah tanpa berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tom juga dianggap tak memiliki rekomendasi soal hitung-hitungan kebutuhan gula dalam negeri dari Kementerian Perindustrian. Dalam kasus ini, jaksa penyidik juga menetapkan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Charles Sitorus sebagai tersangka.
Harli Siregar mengatakan, untuk menangani kasus ini, salah satu dokumen yang menjadi acuan jaksa adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan di Kementerian Perdagangan. Hasil audit yang dimaksud adalah Laporan Hasil Pemeriksaan atas Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan Tata Niaga Impor Tahun 2015 sampai Semester I Tahun 2017 yang terbit pada 2 Maret 2018.
Laporan itu menyorot izin impor gula kristal mentah untuk menjaga pasokan dan stabilitas harga gula kristal putih. Izin diberikan kepada sejumlah perusahaan dan badan usaha milik negara sepanjang 2015-2017. Kementerian Perdagangan menerbitkan 14 izin impor gula kepada pihak swasta untuk mendatangkan 577.700 ton gula. Sementara itu, impor 785 ribu ton gula kristal mentah diserahkan kepada BUMN lewat 21 persetujuan impor. Pada 2017, ada 45 persetujuan impor kepada pihak swasta untuk mendatangkan 1,69 juta ton gula kristal mentah (GKM).
Masalahnya, keputusan impor itu dituding belum disetujui dalam rapat koordinasi dengan instansi mitra Kementerian Perdagangan. Hal inilah yang menjadi temuan BPK yang mengacu pada Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Gula. “Izin impor GKM sebesar 1.694.325 ton melanggar ketentuan,” begitu bunyi laporan itu.
Namun, meskipun menyebutkan impor itu belum disetujui lewat rapat koordinasi, laporan BPK justru menuliskan tak menemukan notula rapat koordinasi impor gula tahun 2015. Sementara itu, rapat koordinasi impor gula 2016 setidaknya digelar enam kali sepanjang Desember 2015-Februari 2017.
Pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, mengklaim keputusan impor oleh kliennya sudah dibahas dalam rapat koordinasi dengan Kementerian Koordinator Perekonomian dan instansi terkait. “Kebijakan impor yang diambil saat itu bukan keputusan sepihak oleh Thomas Lembong,” tutur Ari.
Temuan lain BPK adalah pemberian persetujuan impor gula kristal mentah untuk PT Adikarya Gemilang dan PT Pabrik Gula Gorontalo. BPK menyebutkan izin impor 50 ribu ton gula untuk PT Adikarya Gemilang hanya berpedoman pada nota kesepahaman perusahaan dengan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia, yang kini bernama Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Provinsi Lampung.
Petani tebu dari berbagai daerah di Indonesia menaburkan gula impor saat melakukan unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, 28 Agustus 2017/TEMPO/STR/Rizki Putra
Sejumlah perwakilan APTRI memang pernah sowan ke kantor Kementerian Perdagangan pada 2014. Mereka menemui Menteri Perdagangan saat itu, Muhammad Lutfi. Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen menyampaikan bahwa para petani meminta pemerintah mengerem impor gula. Petani tebu babak-belur karena harga gula lokal 10 tahun lalu itu terus menukik. “Akhirnya Pak Menteri meminta produsen membeli gula kami, tapi kami tidak berhak memberikan rekomendasi impor,” ucap Soemitro.
Tempo sudah berkomunikasi dengan Muhammad Lutfi. Namun ia meminta semua ucapannya tak dikutip.
Perolehan izin impor gula untuk PT Pabrik Gula Gorontalo juga ditengarai bermasalah. Perusahaan yang bermarkas di Kecamatan Tambaksari, Surabaya, ini mendapat izin impor 15.200 ton gula kristal mentah pada 2016. Dasar pemberian izin itu mengacu pada perjanjian kerja sama perusahaan dengan DPD APTRI Jawa Tengah yang diteken dua tahun sebelumnya.
Tempo telah mengirimkan surat permohonan wawancara ke kantor PT Adikarya Gemilang dan PT Pabrik Gula Gorontalo, tapi tak direspons hingga Jumat, 8 November 2024. Seorang karyawan PT Pabrik Gula Gorontalo mengatakan pihak direksi belum bisa menjawab pertanyaan Tempo karena perusahaan sedang masuk masa tutup buku menjelang akhir tahun.
Pada 2017, laporan BPK menyebutkan Menteri Perdagangan kembali merestui impor 50 ribu ton gula untuk PT Adikarya Gemilang karena ada surat rekomendasi seputar impor GKM dari Ketua APTRI. Menteri Perdagangan saat itu adalah Enggartiasto Lukita. Masalahnya, menurut BPK, Menteri Perdagangan seharusnya tidak menjadikan perjanjian atau surat dari APTRI sebagai pertimbangan untuk menerbitkan izin impor gula. Sebab, APTRI bukanlah instansi teknis yang berwenang memberikan rekomendasi impor gula.
Tempo berupaya menghubungi Enggartiasto lewat WhatsApp. Tapi dia tak merespons hingga Jumat, 8 November 2024.
Ketua DPD APTRI Jawa Tengah kala itu, Sukadi Wibisono, menjelaskan, PT Adikarya Gemilang dan PT Pabrik Gula Gorontalo bersedia membeli gula petani. Tapi petani harus memberikan rekomendasi persetujuan impor kepada dua perusahaan tersebut. Menurut Sukadi, semua dewan pimpinan cabang APTRI Jawa Tengah ketika itu bersepakat karena gula panen mereka tak laku di pasar. “Besaran impornya disetujui sejumlah yang dibeli perusahaan,” katanya. Indonesia kebanjiran gula impor pada masa ini.
Ombudsman Republik Indonesia mencatat sebanyak 4,48 juta ton gula didatangkan dari luar negeri pada 2017. Ombudsman menemukan dugaan maladministrasi impor gula pada masa itu. Gula impor yang berlimpah ruah di pasar juga mengganggu penjualan gula petani. “Sering kali gula rafinasi merembes ke pasar,” ujar anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika.
Dugaan ini didukung temuan BPK soal impor gula rafinasi oleh empat perusahaan yang mengantongi fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor atau kawasan berikat atau KITE/KB pada 2021. BPK mendapati 285 ribu ton gula rafinasi pada saat itu berpotensi dijual ke pasar dalam negeri. Program ini tak mengharuskan perusahaan mendapat rekomendasi impor gula dari Kementerian Perindustrian atau Kementerian Perdagangan.
Akibatnya, sejumlah pihak justru memanfaatkan celah korupsi. Kejaksaan Agung menetapkan dua tersangka kasus dugaan korupsi impor gula PT SMIP sepanjang 2020-2023. Mereka adalah seorang kepala kantor wilayah bea dan cukai serta Direktur PT SMIP. Mereka dituduh berkongsi mengimpor gula kristal putih ilegal. Secara total ada 25 ribu ton gula impor yang ditimbun di kawasan berikat dan gudang berikat milik perusahaan itu. “Perkara ini sudah disidangkan di Pengadilan Negeri Pekanbaru,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Fajar Pebrianto, Mohamad Khory Alfarizi, Jamal Abdun Nashr dari Semarang, dan Hanaa Septiana dari Surabaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Babak-Belur Izin Gula"