Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil riset Communication for Change (C4C) dan Development Dialogue Asia (DDA) menyatakan, tingkat pemahaman masyarakat Indonesia mengenai perubahan iklim, masih rendah. Mayoritas masyarakat Indonesia pernah mendengar kata ‘perubahan iklim’, tetapi sebagian besar belum memahami maknanya dengan benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, penting untuk menyusun pesan yang mudah dicerna dan terkait langsung dengan pengalaman hidup sehari-hari, agar warga tergerak untuk melibatkan diri dalam proses dan kebijakan mitigasi perubahan iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riset ini dilakukan melalui proses survei di 34 provinsi terhadap 3.490 responden pada April-Agustus 2021, yang dilanjutkan dengan 14 kegiatan diskusi (focus group discussion atau FGD) selama Juli-Agustus 2022. Kedua lembaga tersebut juga bekerja sama dengan Kantar Indonesia sebagai lembaga riset yang menjalankan survei kualitatif dan kuantitatif.
Hasil riset tersebut dipaparkan kepada publik dan para pemangku kepentingan melalui rangkaian pameran bertajuk “Pesan Penggugah Harapan” di Ruang Kota Tua, MULA by Galeria Jakarta, Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, pada 11-13 Januari 2023.
“Hampir setiap hari kita mengajak masyarakat peduli tentang perubahan iklim, tetapi apakah sudah disampaikan dengan cara yang tepat kepada orang yang tepat? Pertanyaan itulah yang mendasari riset yang kami lakukan bersama ini,” kata CEO dan Principal Consultant C4C, Paramita Mohamad, Rabu, 11 Januari 2023.
Paramita menjelaskan, riset menemukan kebanyakan orang Indonesia belum menyadari kalau mereka salah memahami perubahan iklim. Hasil survei terhadap responden berusia 16-60 tahun menunjukkan bahwa 88 persen mengaku pernah mendengar istilah perubahan iklim, tetapi hanya 44 persen yang bisa menjelaskan dengan baik definisinya.
Kurang dari setengah responden (47 persen) yang percaya bahwa manusia adalah penyebab utama perubahan iklim. Kemudian, hanya 1 dari 3 responden yang percaya bahwa pemanasan global telah terjadi.
“Mereka pun memandang perubahan iklim sebagai hal yang abstrak, berjarak, dan impersonal. Kami juga kerap menjumpai contoh-contoh bagaimana bahasa dalam pesan perubahan iklim cukup sukar dicerna awam yang belum termotivasi untuk mempelajarinya dengan mendalam,” ujar Paramita.
Menurutnya, bahasa dalam pesan yang sukar dicerna tidak membantu mereka melihat urgensi untuk memitigasi dampaknya, "apalagi tergerak untuk terlibat di dalamnya".
Karena itu, C4C dan DDA mencoba menyusun pesan komunikasi perubahan iklim yang lebih singkat, sederhana, memikat, dan terkait langsung dengan kehidupan mayoritas masyarakat. Yakni, mengadaptasi perumpamaan “selimut polusi”, lalu membahasnya dalam 14 FGD di Jakarta, Jayapura (Papua), Tarai Bangun (Riau), Kisaran (Sumatera Utara), serta Tegal, Demak, dan Semarang (Jawa Tengah).
Hasilnya, menurut Paramita, para responden khususnya usia 18-49 tahun tampak lebih mudah membayangkan bahwa beragam kejadian yang mereka amati langsung adalah dampak dari perubahan iklim, terutama polusi yang disebabkan pembakaran.
Perumpamaan “selimut polusi yang membuat bumi kepanasan” juga berhasil membuat para responden tergerak menjadi bagian dari solusi untuk menghindari petaka yang lebih besar. Dalam riset tersebut, tim peneliti juga membagi orang Indonesia dalam beberapa segmen berdasarkan tingkat pemahaman terhadap perubahan iklim, dorongan untuk aksi kolektif, dan cara menilai lingkungan sosial.
Pembagian tersebut penting untuk mengidentifikasi pesan yang membuat segmen-segmen masyarakat ini lebih memahami fakta dasar perubahan iklim dan merasa tergugah untuk melakukan aksi kolektif memitigasi dampaknya. Hasil survei menunjukkan hanya sedikit (18 persen) orang Indonesia yang pernah mengikuti aksi kolektif. Mereka pun mengaku lebih berminat mengikuti aksi yang resikonya kecil, seperti donasi atau menjadi relawan lepasan.
Strategic Communication Lead Consultant DDA, Mardiyah Chamim mengatakan, berdasarkan hasil penelitian tersebut, DDA dan C4C telah menyusun panduan yang diharapkan bisa membantu khususnya Organisasi Masyarakat Sipil untuk mengadaptasi pesan agar relevan dengan agenda dan target audiens yang ingin mereka tuju. “Kami percaya hasil penelitian dan panduan ini penting untuk diketahui lebih banyak pihak seperti Organisasi Masyarakat Sipil, media, praktisi komunikasi, dan akademisi untuk memajukan agenda mitigasi perubahan iklim,” kata Mardiyah.
Menurutnya, pesan yang tepat dan mudah dipahami akan membangkitkan optimisme dan menggugah semakin banyak masyarakat untuk ikut bergerak. "Khususnya dalam mencegah dampak perubahan iklim ini semakin parah".
Poster Eksebisi Pesan Penggugah Harapan.