Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Air berperan penting membantu metabolisme, menjaga suhu tubuh, membuat kulit tampak segar hingga menjaga daya tahan tubuh. Kandungan air dalam tubuh mencapai 70 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebutuhan air tiap orang berbeda-beda. Pada orang dewasa, konsumsi air putih yang disarankan sekitar delapan gelas berukuran 230 mililiter atau dua liter per hari. Asupan cairan dalam tubuh juga bisa diperoleh dari makanan, khususnya buah dan sayuran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bicara tentang air minum, masyarakat mengenal istilah air putih dan air mineral. Secara kasat mata, air putih dan air mineral memiliki ciri yang sama, yakni tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna atau jernih.
Namun demikian, keduanya ternyata memiliki perbedaan yang signifikan dari asal-usul atau sumbernya, proses pengolahan, hingga kandungannya.
Air putih adalah air bersumber dari sumur, sungai, danau atau hasil penjernihan. Sebelum diminum, air ini harus dimasak dulu hingga mendidih. Dalam proses tersebut, kandungan mineral pada air pun berkurang. Air putih umumnya memiliki derajat keasaman atau pH sekitar 5-7,5.
Adapun air mineral merupakan air yang diambil dari sumber mata air yang kaya mineral alami. Air diolah tanpa penambahan zat dan memiliki pH sekitar 6-8,5. Jenis mineral yang terkandung, di antaranya kalium, magnesium, natrium dan kalsium.
Konsumsi air mineral mengalami peningkatan karena ketersediaan air bersih melalui pipa di Indonesia masih rendah. Pada 2021, akses air bersih atau air minum perpipaan baru menjangkau 20,69 persen dari total penduduk. Itu sebabnya, air minum dalam kemasan menjadi pilihan masyarakat.
Sesuai ketentuan air minum dalam kemasan (AMDK) mencantumkan label “simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung dan benda-benda berbau tajam”. Peringatan itu tentu bukan tanpa alasan.
Paparan panas matahari pada AMDK yang berlangsung lama dapat memicu zat-zat kimia tertentu pada plastik kemasan terlarut ke dalam air. Zat kimia tersebut adalah Bisphenol A (BPA).
Karena menyerupai estrogen, BPA yang masuk ke dalam tubuh akan menggangu sistem horman pada manusia. Zat ini juga dapat memicu gangguan sistem reproduksi pada pria dan wanita, diabetes dan obesitas.
Tidak hanya itu, BPA juga dapat mengganggu sistem kardiovaskular, penyakit ginjal, kanker, perkembangan kesehatan mental, autism spectrum disorder (ASD) dan memicu attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). BPA merupakan salah satu bahan penyusun plastik polycarbonate (PC) kemasan galon air minum.
Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan mensyaratkan batas migrasi BPA pada kemasan plastik PC sebesar 0,6 bagian per juta (bpj). Bahkan ketentuan lain menyebutkan batas nilai kandungan BPA yang terdeteksi atau limit of detection (LoD) kurang dari 0,01 bpj.
Badan POM mengawasi kemasan galon pada 2020 dan 2022. Pengawasan dilakukan mulai dari sarana produksi hingga sarana peredaran untuk mendeteksi batas nilai kandungan BPA. Hasilnya ditemukan migrasi BPA 0,05-0,6 bpj pada sarana peredaran sekitar 46,97 persen dan sarana produksi sebesar 30,91 persen.
Hasil pengawasan kandungan BPA produk AMDK juga menemukan kandungan BPA di atas 0,01 bpj pada sarana produksi atau sebanyak lima persen sampel galon baru. Sedangkan pada sarana peredaran ditemukan 8,67 persen.
Badan POM kemudian merevisi Peraturan Badan POM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. “Kami memberikan perlindungan kepada masyarakat dan informasi yang benar dan jujur,” kata Kepala Badan POM Penny K Lukito.
Dalam revisi beleid tersebut, produsen AMDK wajib mencantumkan keterangan “Simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam”. Badan POM juga mewajibkan pencantuman label “Berpotensi Mengandung BPA” pada produk yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat.
Kepala Pusat Riset Teknologi Polimer, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRTP-BRIN), Joddy Arya Laksmono, mengatakan produk-produk turunan polimer, termasuk plastik, hampir ada di seluruh sendi kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan dan ketergantungan pada produk-produk polimer dan plastil sangat besar.
Menurut Joddy, masyarakat harus cerdas dalam memilih kemasan plastik. “Jangan memilih kemasan plastik yang memiliki kandungan persistent organic pollutants, contohnya seperti BPA yang menurut kajian sangat berdampak kepada kesehatan manusia,” ujarnya.