Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tegal, kota di pesisir utara Jawa yang selama ini identik dengan warung makan dan bahasa ngapak, ternyata memiliki sejarah penting dalam kemaritiman. Kesan tersebut semakin kuat seturut penyusuran Tim Ekspedisi Maritim Tempo pada Oktober silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Posisi Tegal yang strategis telah disadari sejak berabad lalu. Perusahaan dagang Belanda, VOC, telah menargetkan Tegal saat menguasai Batavia. Alasannya, Tegal menjadi wilayah yang penting dalam konstetasi politik dan ekonomi.
Sejarawan Pantura, Wijanarto menuturkan Pelabuhan Tegal sekitar tahun 1628 dan 1629 menjadi tempat bersandar kapal-kapal Mataram yang bersiap menyerbu Batavia, yang saat itu dikuasai Belanda. Logistik untuk pertempuran, berupa beras, berasal dari Tegal. Selain itu, daerah ini pun kaya akan komoditas lainnya seperi ikan, hasil perkebunan, hingga kayu jati. “Pelabuhan Tegal dikenal juga sebagai pengekspor kayu jati yang dibutuhkan VOC maupun oleh kekuasaan tradisional,” ucapnya.
Namun setelah nyaris seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda, Tegal tidak terlalu diperhitungkan selain fungsi utamanya sebagai pelabuhan yang mengangkut hasil komoditas dari Jawa Tengah. Nilai penting Tegal justru muncul saat Jepang menjadi penguasa.
Bagi Jepang, kedudukan Indonesia menjadi pangkalan depan dalam perang pasifik. Alhasil, Jepang membuka kesempatan kepada pemuda Indonesia untuk dididik dalam bidang kemaritiman.
Jepang kemudian membuka sejumlah sekolah seperti Sekolah Pelayaran Tinggi (Koto Sen-In Joseiho), Sekolah Perikanan (Suisan Semmon Gakko), Sekolah Pelayaran Rendah (Kai-Un Gakko), Sekolah Bangunan Kapal (Zosen Gakko) dan Latihan Pelayaran untuk pembantu Kaigun dan Butai (Sen In Kunrensjo) di Makasar dan Singapura. Adapun Koto Sen-In Joseiho terbagi dua juruan yaitu jurusan Dek (Kokaika) dan jurusan Mesin (Kakinka). Sekolahnya ada di Jakarta, Semarang, Tegal, Cilacap, dan Surabaya.
Dari sekolah-sekolah inilah bibit tentara angkatan laut Indonesia bermunculan, dan perannya semakin penting setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekannya. Pada 10 September 1945, di Jakarta terbentuk Badan Keamanan Rakyat Bagian Laut atau disingkat BKR Laut. Pemerintah menunjuk Mas Pardi sebagai Pimpinan Tertinggi BKR Laut yang dibantu oleh anggota staf lainnya.
Mas Pardi lahir di Ambarawa pada 1 Oktober 1901. Setelah lulus dari HIS dan MULO, ia melanjutkan ke sekolah pelayaran di Zeevaartschool tahun 1922. Lulus di tahun berikutnya, ia langsung bertugas di Angkatan Laut Hindia Belanda (Gouvernement Marine). Pada 1925 Mas Pardi kembali mengikuti pelatihan Mualim II dan berlanjut ke Mualim I pada 1929. Setelah itu kariernya justru berlanjut di kapal penumpang SS Fomalhaut yang sering berlayar di wilayah Indonesia bagian timur, termasuk ke Boven Digoel (Papua).
Di masa pendudukan Jepang, sejumlah pegawai eks Hindia Belanda direkrut oleh Jepang, salah satunya Mas Pardi. Karena pengetahuan dan pengalamannya, ia ditempatkan di kantor Jawa Unko Kaisya (Perusahaan Pelayaran Jepang di Jawa) Jakarta di bagian penerangan. Saat Pemerintah Jepang kemudian membentuk sekolah pelayaran, Mas Pardi yang berpengalaman di bidang kebaharian turut membantu dalam menyusun organisasi sekolah, kurikulum dan sarana praktek siswa. Sehingga di kalangan pegawai, pelaut dan siswa sekolah pelayaran, sosok Mas Pardi sangat menonjol serta disegani.
Setelah Jepang kalah perang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Belanda membonceng pasukan Sekutu kembali ke Indonesia. Situasi Jakarta yang memanas memaksa markas besar BKR Laut Pusat pindah ke Yogyakarta. Seluruh kapal-kapal diungsikan ke Cirebon dan Lampung, sedangkan materi pelajaran dan buku-buku pengetahuan kebaharian ke Tegal.
Di Yogyakarta, Mas Pardi mengumumkan perubahan BKR Laut menjadi TKR Laut pada tanggal 15 November 1945. Pada tanggal 11 Desember 1945 dibentuklah Markas Besar Tertinggi TKR Laut dan Mas Pardi diangkat sebagai Kepala Staf Umum dengan pangkat Laksamana III.
Pada bulan Januari 1946 TKR Laut berubah menjadi TRI Laut. Kemudian pada Konferensi ALRI di Lawang pada tanggal 19 Juli 1946 diresmikan penggunaan nama ALRI. Dalam konferensi tersebut, Presiden Soekarno mengangkat Laksamana Muda Moh. Nazir Isa sebagai Panglima ALRI dan Kepala Staf Umum dijabat oleh Laksamana Muda Mas Pardi.
Pangkalan Tegal Kian Kuat
Saat Mas Pardi membentuk BKR di Jakarta pada 10 September 1945, 20 hari kemudian siswa Sekolah Pelayaran Tinggi saat itu bersama pekerja di bidang maritim dan para pelajar juga membentuk BKR. Para pemuda itu antara lain Sapingi, Chris Moy, Jatidjan, dan Moch. Junus, dari SPT Tegal, kemudian Jl. Mangunkusumo bekas anggota Jawatan Pelbuhan (Kaiji Syohoku), Adikusumo dari Pesindo, serta Kusnan dan Hardjono dari golongan pelajar.
Mereka menempati gedung bekas Jawatan Pelabuhan sebagai markasnya, dan langsung berupaya melucuti senjata tentara Jepang dan mengambil alih kapal yang ada di Pelabuhan Tegal. Kegiatan ini mendapat apresiasi BKR Laut Pusat yang akhirnya mempercayakan kepada BKR Laut Tegal untuk menyiap kan ekspedisi keluar Jawa yang pelaksanaannya dimulai pada awal tahun 1946. Dengan terbentuknya BKR Laut Pusat maka BKR Laut Tegal diresmikan menjadi Resimen TKR Laut Tegal.
Peran Tegal sebagai pangkalan Angkatan Laut kian besar ketika perang besar terjadi di Semarang dan memaksa TKR Laut Semarang mundur ke arah barat. Achmad Dipo dan pasukannya menuju Pekalongan untuk membantu pembentuk Pangkalan dan pasukan Corps Mariniers, sedangkan Agoes Soebekti dan OB. Sjaaf meneruskan perjalanannya ke Tegal untuk mendirikan Pangkalan di kota Tegal.
Setelah pasukan TKR Laut Semarang tiba di Tegal dan bergabung dengan BKR Laut Tegal, mereka menyusun organisasi TKR Laut yang kemudian berkembang menjadi ALRI Komando Pangkalan IV Tegal. Kekuatan ini bertambah seturut datangnya pasukan dari Jakarta yang dipimpin oleh Ali Sadikin.
“Ali Sadikin sebelum akhirnya jadi Gubernur DKI Jakarta menjadi bagian dalam sejarah Tegal. Saat menjadi TKR Laut, Tegal menjadi medan gerilya bagi Ali Sadikin. Saat Agresi Militer Belanda membuat TKR Laut juga bergerilya sehingga mereka pun ada di gunung,” ucap Wijanarto.
Seperti diulas sebelumnya, Tegal merupakan kota pesisir yang memiliki beragam komoditas, Pangkalan IV ALRI Tegal dalam perkembangannya akhirnya mewujud sebagai Pangkalan ALRI yang besar dan lengkap pada 1945-1950. Ini dipertegas oleh Paspotmar Lanal Tegal, Kapten Amat Syafi’I kepada Tempo. “Pada prinsipnya Tegal sangat strategis. Di sini ada sejumlah jalur yang dapat dilewati, baik ke selatan yakni Purwokerto, ke barat ke Cirebon, dan ke timur yakni Semarang. Sehingga untuk mobilitas bisa mudah terjangkau,” ujarnya.
Selama periode ini, markas ALRI di Tegal juga mendirikan pusat pendidikan baik untuk pendidikan Calon Tamtama, Calon Bintara maupun Perwira. Lembaga pendidikan yang dibentuk yakni Sekolah Angkatan Laut Tegal, Latihan Opsir Kalibukang, dan Kursus Kesatuan Corps Mariniers. Bahan ajar didapat saat Pimpinan Tertinggi BKR Laut Mas Pardi mengungsikan buku-buku pelajaran kemaritiman ke Tegal karena suasana di Jakarta semakin panas oleh perang.
Sekolah Angkatan Laut ini menanamkan nilai-nilai luhur kebangsaan. Azas patuh dan taat, menghormati atasan dan petugas serta kejujuran dan kehormatan diri yang sejak tahun 1950 lebih dikenal dengan TRISILA TNI AL "Disiplin - Hirarki-Kehormatan Prajurit", menjadi ciri khas pelajar, siswa dan prajurit matra laut.
Prinsip menjiwai setiap generasi prajurit TNI AL berikutnya. Mereka berpegang teguh pada pedoman "JALESVEVA JAYAMAHE"; guna mewujudkan TNI Angkatan Laut yang jaya dan mampu menjaga, menegakkan kedaulatan serta hukum diperairan Indonesia, baik sebagai kekuatan pertahanan keamanan nasional maupun kekuatan sosial politik dalam pembangunan nasional Indonesia selanjutnya.
Hal ini menunjukkan bahwa Pangkalan IV ALRI Tegal dengan segala aktivitas dan para pelakunya telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi sejarah bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dan perkembangan TNI AL. (*)