Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

iklan

Minim Internet di Tengah Kebun

Proses belajar mengajar di SD Swasta Delima Makmur, Aceh Singkil, minim internet. 

10 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syafruddin berkali-kali menarik napas panjang. Masalah bertubi membebani pikirannya. Pertama, upahnya sebagai guru honorer SD Swasta Delima Sintuban Makmur sudah dua bulan belum dibayar. Kemudian, aplikasi data pokok pendidikan (dapodik) belum sinkron. Terakhir, sinyal internet sama sekali tidak ada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal sekitar 100 meter tempatnya mengajar di Jalan Sipara Para, Kecamatan Danau Paris, Aceh Singkil, berdiri kokoh base transceiver station (BTS) setinggi 32 meter. Pemancar seluler itu dibangun oleh BAKTI Kominfo, beberapa tahun lalu. “Awal beroperasi, saya lupa tahun berapa, sinyalnya kencang. Kemudian rusak, datang teknisi dibetulkan. Setelah itu, hancur sinyalnya,” ujar Wali Kelas IV kepada Tim Info Tempo, Kamis, 7 Desember 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan untuk mencapai SD Delta Sintuban Makmur yang berada di tengah kebun sawit sekitar 24 kilometer dari Jalan Singkil-Rimo. Jalan menuju sekolah berupa tanah keras berpasir dan berbatu. Beberapa kali mobil yang dikendarai Tim Info Tempo harus berhenti untuk mengecek kaki-kaki dan ban. Sesekali truk pengangkut sawit dan motor pekerja perkebunan melintas.

“Entah, mungkin karena lokasi kami di tengah perkebunan, susah sinyal,” ucap Syafruddin yang mendapat tugas tambahan sebagai operator sekolah. 

Tugas Syafruddin sebagai operator adalah mengisi data siswa dan membuat laporan ke aplikasi dapodik. Dia mengaku baru bertugas dua bulan menggantikan petugas sebelumnya yang tidak pernah ke sekolah. 

Dalam data dapodik tertera SD Delita Sintuban Makmur memiliki 16 bangunan, 15 kelas, 573 siswa dari kelas I-VI dan 18 tenaga pendidik. “Dari 18 guru, sembilan guru honorer,” kata dia. 

Perkaranya, kata Syafruddin, dapodik di sekolah tersebut belum sinkrondengan Dinas Pendidikan Aceh Singkil. Data terbaru belum dapat dilaporkan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi di pusat. “Ada 56 murid yang belum diperbarui datanya”.

Data yang belum masuk aplikasi, ditulis manual oleh Syafruddin. Dia kumpulkan dan ketika kembali ke rumah di Rimou, data baru dikirim melalui internet. 

Syafruddin pulang ke rumah satu kali dalam sepekan. Saban hari dia berjualan makanan dan minuman instan di samping sekolah untuk menambah pendapatan. “Gaji saya belum dibayar selama dua bulan ini, November dan Desember,” ucapnya. Upahnya sebagai guru honorer Rp 900 ribu per bulan. 

Dia mengungkapkan pembayaran honor telat karena kepala sekolah tak pernah datang ke sekolah. “Mungkin sudah 6 bulan. Sempat datang bulan lalu karena ada kunjungan inspektorat, setelah itu tidak pernah datang lagi,” ujarnya. 

Di depan meja Syafruddin menumpuk kayu dan asbes. Menurut dia, material bangunan tersebut bantuan dari PT Delima Makmur untuk mengganti atap di ruang Tata Usaha yang harus diganti agar tak terjadi kebocoran saat hujan deras. “Perusahaan juga memberi bantuan cat tembok. Belum lama ini kami sudah cat semua bangunan sekolah,” kata guru kelahiran Aceh Singkil itu.

Dia bersama guru lainnya sudah sering melaporkan kerusakan sekolah agar segera diperbaiki kepada kepala sekolah. Tapi, hasilnya nihil. Perbaikan sekolah tak kunjung datang. “Kalau tak ada bantuan dari perusahaan (PT Delima Makmur”) saya tidak tahu seperti apa kondisi sekolah ini,” ucapnya.

Kesulitan mendapatkan bahan ajar dari pemerintah pusat juga dialami Wali Kelas VI SD Delita Sintuban Makmur, Malahayati. Padahal bahan-bahan ajar dalam program Merdeka Belajar harus diunduh. Sedangkan akses internet di sekolah hampir tak ada. Susah untuk mengunduh bahan ajar dari Kemendikbudristek,” kata dia. 

Para para guru mengandalkan bahan ajar dari buku-buku pelajaran yang tersedia di sekolah. Selama persiapan ujian, setiap wali kelas membuat soal dan kemudian di cetak di kantor perkebunan. “Kami sangat bersyukur, perusahaan banyak memberi bantuan,” sebut Malahayati.

Dia bercerita tentang perjuangan mendapatkan sinyal internet. Selepas sekolah, Malahayi kembali ke rumah di area perkebunan yang tak jauh dari sekolah. Kemudian dia mengambil tiang dari kayu atau bambu. Satu ponsel digantung di tiang sebagai hotspot. “Ponsel yang lain digunakan sebagai wifi,” ujarnya. 

Aisah, murid Kelas VI, membenarkan ucapan gurunya. “Iya, harus pakai dua hape, yang satu gantung di tiang dan yang satu lagi bisa untuk main game,” ucap Aisah. 

Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Aceh Singkil, Endi Putra, mengatakan proses pembangunan BTS dilakukan dalam dua tahap. Pertama, pemkab mengusulkan pembangunan dan kedua, melakukan negosiasi lahan dengan masyarakat. “Setelah itu pusat yang urus semua. Kalau ada kerusakan atau masalah koneksi pada tower, kami tidak tahu apa-apa,” kata Endi. 

Saat ini terdapat lima BTS BAKTI Kominfo yang sudah on air di Kabupaten Aceh Singkil, yakni di Kelurahan Sintuban Makmur di Kecamatan Danau Paris; Kelurahan Ujung Sialit dan Kelurahan Suka Makmur di Kecamatan Pulau Banyak Barat; Kelurahan Sumber Mukti dan Kelurahan Mukti Lincir di Kecamatan Kota Baharu. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus