Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Batu-batu di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, bukanlah batu biasa. Batu-batu itu mengungkap cerita sekaligus misteri yang terjadi pada masa sebelum penanggalan kalender masehi. Adalah Albertus Christian Kruyt dan Nicolas Adriani, dua peneliti dari Belanda dan Amerika yang pertama kali melaporkan peninggalan budaya megalitik ini dalam buku “Van Poso naar Parigi en Lindoe” pada 1898.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuh tahun kemudian, peneliti berkebangsaan Swiss, Paul Benedict Sarasin dan Fritz Sarasin, menerbitkan buku “Reisen in Celebes” yang berisi hasil catatan perjalanan mereka ke wilayah Lore sekitar 1893-1903. Sejak itu riset dan publikasi tentang temuan batu zaman megalit di Sulawesi Tengah kian populer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang peneliti dari Amerika Serikat, Harry C. Raven, mempublikasikan buku berjudul “The Stone Images and Vats of Central Sulawesi” pada 1926. Lalu peneliti asal Swedia, Walter Kaudern, membuat buku berjudul “Ethnographical Studies in Celebes” yang terdiri atas enam seri dan dipublikasikan sepanjang 1925-1944. Dan peneliti Indonesia mulai menginventarisasi peninggalan megalitik di Kawasan Lore Lindu pada 1975-1976.
Tak hanya lewat laporan riset dan buku, salah satu patung batu megalitik, yakni patung Palindo di Lembah Bada menjadi Ikon Budaya Megalitik Indonesia. Ikon itu dicetak dalam seri perangko bersama gambar Batu Gajah dari Sumatera Selatan dan Sarkafagus dari Bali pada Pameran Filateli Internasional di London, Inggris, 1980.
Begitu pentingnya keberadaan Kawasan Megalitik Lore Lindu, maka sejak 2019 UNESCO menerbitkan rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk mempersiapkan Kawasan Megalitik Lore Lindu dalam pengusulan menjadi warisan dunia atau World Heritage hingga 2029.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah berperan aktif dalam persiapan pencanangan Sulawesi Tengah Negeri Seribu Megalit pada Oktober 2023. Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura, mengatakan, patung batu Megalith berusia 3.000 tahun sebelum masehi ini merupakan warisan dunia yang harus diperkenalkan secara global. “Kami semua harus bersama-sama mengangkat daya tarik Negeri Seribu Megalit ini,” kata dia.
Negeri Seribu Megalit merupakan rencana besar Gubernur Rusdy Mastura penjenamaan Sulawesi Tengah dalam promosi pariwisata. Semangat ini selaras dengan arahan Presiden Joko Widodo yang mendorong setiap pemerintah daerah menyusun rencana induk penataan dan penajaman keunggulan masing-masing.
Negeri Seribu Megalit memiliki potensi yang begitu besar karena termasuk situs megalit tertua. Hanya ada dua situs megalit tertua di dunia, yakni di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah dan di Pulau Paskah, Samudera Pasifik.
Gubernur Rusdy Mastura juga mengarahkan agar setiap organisasi perangkat daerah mulai mempublikasikan dan mempromosikan keberadaan situs- situs megalit tersebut di setiap kegiatan Pemprov, serta membuat desain kain tenun motif patung megalit sebagai ciri khas Sulawesi Tengah. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah juga akan menggelar seminar tentang nilai sejarah, budaya, dan potensi pariwisata dari keberadaan patung yang berusia ribuan tahun tersebut.
Guna menunjang program Sulawesi Tengah Negeri Seribu Megalit, saat ini pemerintah sedang mengerjakan peningkatan jalan ruas Biromaro Palolo sepanjang 9 kilometer. Upaya peningkatan jalan ini untuk mempermudah akses dari Palu, ibu kota Sulawesi Tengah ke tempat pencanangan program Sulawesi Tengah Negeri Seribu Megalit di Kabupaten Poso. Dinas Pariwisata Prov Sulteng bersama Dinas PMPTSP serta Taman Nasional Lore Lindu juga ikut menjadi exhibitors dalam kegiatan ITIF di Bali untuk menggaet investor khususnya jasa akomodasi, transportasi, atraksi, dan adventure untuk kawasan negeri seribu megalit.
Antropolog, Martin Gray, dalam tulisannya bertajuk “Megaliths Bada, Besoa dan lembah Napu, Pulau Sulawesi,” mengakui betapa menariknya situs megalit di Provinsi Sulawesi Tengah ini.
“Salah satu misteri arkeologi terhebat di dunia,” ujarnya, karena masih sulitnya mendedah muasal batu-batu misterius itu. Jika menilik sejarah peradaban manusia di Asia Tenggara, ada kemungkinan manusia pertama datang ke Pulau Sulawesi sekitar 50.000 atau 30.000 tahun lalu.
Namun, pulau tersebut kemudian menjadi terpencil di masa Glacial Maximum Terakhir sekitar 19.000 tahun lalu, ketika terjadi pemanasan global yang menyebabkan permukaan laut naik dan kawasan daratan yang luas tergenang.
Hanya ada dua situs megalit tertua di dunia, yakni di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah dan di Pulau Paskah.
Selama periode tersebut, Pulau Sulawesi terbentuk dan budaya yang ada di sana menjadi terpencil dari seluruh Asia Tenggara. “Kemudian datang kumpulan Austronesia ke pulau-pulau di Asia Tenggara (Indonesia Timur) sekitar 4500-6300 tahun yang lalu ketika permukaan laut sama dengan masa sekarang dan sudah ada teknologi untuk pelayaran laut. Walau demikian, asal-usul megalit di Sulawesi berasal dari masa sebelum ini,” tutur Martin.
Martin menyebut, ada sekitar 400 artifak megalitik yang tersebar di Lembah Napu, Besoa dan Bada di Taman Nasional Lore Lindu. Ada yang berbentuk silinder patung, silinder yang kebanyakannya padat, dan batu yang rata dengan tanda cawan. Semua bentuk patung dari ketinggian dari 2 kaki hingga lebih dari 15 kaki adalah gambaran minimalis dari antropomorfik dan angka zoomorphic.
Tidak ada patung yang mempunyai kaki, kebanyakan mempunyai kepala yang besar dan berbentuk aneh, dan ada yang mempunyai alat kelamin besar atau hiasan geometri abstrak.
“Gaya ukiran patung-patung itu benar- benar unik di dunia, dengan kemiripan yang paling dekat adalah ukiran yang sama- sama penuh teka-teki yang terdapat di San Augustin, Colombia. Tidak ada penyelidikan mitologi, antropologi, arkeologi, etnologi atau sejarah yang memberikan gambaran mengenai usia, asal usul atau tujuan patung-
patung ini,” kata dia.
Kawasan Megalitik Lore Lindu meliputi Lembah Bada, Lembah Behoa, Lembah Napu di Kabupaten Poso, dan Danau Lindu di Kabupaten Sigi. Danau Lindu yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu terbentuk dari aktivitas tektonik yang membentuk cekungan seluas 34,88 kilometer persegi dengan kedalaman sekitar 30-70 meter.
Selain pesona batu megalit, kawasan di Lembah Bada juga memiliki budaya unik berupa kain dari kulit kayu. Menurut peneliti kain kulit kayu Prof. Isamu Sakamoto dari Surugadai & Kibi University Jepang, tradisi pembuatan kain kulit kayu di Lembah Bada muncul pada zaman Neolitikum, sekitar 3.600 tahun lalu sebelum zaman megalitikum.