Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Tata Kelola dan Mineral Batu Bara Irwandy Arif, mengatakan, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Artinya Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku supply-demand nikel dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Yakni 22 persen di dunia," kata Irwandy saat membuka acara Electic Vehicle (EV) & Battery Conference 2023 mewakili Menteri ESDM Arifin Tasrif, di Hotel Borobudur Jakarta, pada Selasa, 21 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara ini mengangkat berbagai isu strategis di ranah hulu hingga hilir industri nikel. Mulai dari pertambangan nikel, hilirisasi nikel, pengembangan teknologi baterai, hingga membangun ekosistem kendaraan listrik.
Adapun Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian Liliek Widodo saat menyampaikan pemaparan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, mengatakan, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki cadangan nikel besar yaitu 21 juta ton atau 30 persen dari cadangan dunia. Hal ini membuat negara memiliki potensi menjadi pemain strategis dalam industri baterai lithium di dunia.
Apalagi diperkirakan hingga 2030, kebutuhan nikel untuk material baterai pada kendaraan listrik akan terus meningkat. "Kalau dilihat pohon industri, kita sudah mampu mengolah nikel untuk 2 teknologi baik Pyrometallurgy dan Hydrometallurgy. Untuk Pyrometallurgy, kita menghasilkan stainless steel, HRC, dan produk-produk turunannya," kata Liliek.
Namun, untuk Hydrometallurgy, ia berharap dapat mengolah bijih nikel menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) maupun MSP (Mixed Sulphide Precipate). "Dari situ, kita olah menjadi nikel sulphate dan kobalt sulphate hingga turunan-turunannya, sehingga ekosistem baterai listrik bisa kita ciptakan di dalam negeri," ujar Liliek.
Menurutnya, sekarang ini untuk produksi MHP sudah ada sebanyak 4 industri peleburan atau smelter, dua di Sulawesi Tengah dan dua lagi di Maluku Utara. Keempat smelter itu sudah menghasilkan MHP sebanyak 1.8 juta ton per tahun dengan sebagian besar sudah diolah menjadi nikel sulphate.
"Untuk mengolah MHP 1.8 juta tadi diperlukan bahan baku Limonite yang disediakan oleh tambang sebesar 99.4 juta ton per tahun. Kita bisa olah lagi menjadi nickel sulphate 1,2 juta ton dan 162 ribu ton kobalt sulphate. Bila diolah lagi bisa menghasilkan 273 ribu ton nikel dan 34.200 ton kobalt," ujarnya.
Kemenperin juga mendorong dan telah melakukan proyeksi terhadap kebutuhan nikel berdasarkan target kuantitatif di dalam Permenperin No. 6/2022. Berdasarkan studi kasus terhadap baterai kendaraan roda dua dan empat yang beredar di Indonesia, maka bisa diproyeksikan bahwa pada tahun 2025 kebutuhan nikel mencapai sebesar 25 ribu ton, sedangkan pada 2030 mencapai angka 37 ribu ton, dan pada tahun 2035 berada pada kisaran 59 ribu ton.
"Kebutuhan ini kalau dilihat bisa dicukupi dari pengolahan smelter dalam negeri sehingga kami dorong itu bisa diolah di dalam negeri, nanti sisanya bisa diekspor. Semua peraturan berusaha untuk mendorong bagaimana agar konsumen mobil listrik semakin banyak dengan berbagai insentif baik pengurangan pajak, kemudahan pembelian, dan sebagainya," kata Liliek.
Dalam diskusi tersebut, Group CEO CERIA Derian Sakmiwata, mengatakan PT Ceria Nugraha Indotama (CERIA), perusahaannya mengelola Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 6.785 hektar di Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. "Sumber daya dan cadangan mineral dari IUP ini akan dialokasikan dan diolah di smelter dan pabrik pengolahan pemurnian yang kami bangun sendiri," kata Derian.
Jadi, Derian melanjutkan, dalam mengembangkan fasilitas pengolahan dan permunian nikel ini, pihaknya harus memastikan ketersediaan cadangan terlebih dahulu untuk menjamin ketersediaan pasokan bijih yang berkelanjutan. "Nah, sebenarnya jumlah cadangan kami tidak terlalu banyak tetapi cukup untuk menyuplai pabrik kami selama waktu sekitar 20 tahunan," ujarnya. Hal ini mengingat CERIA mengembangkan fasilitas pengolahan dan pemurnian berdasarkan karakteristik sumber daya dan cadangan bijih nikel laterit yang ada di dalam kawasan IUP-nya.
Perusahaan yang dimiliki anak bangsa ini melaksanakan kegiatan pertambangannya mulai dari hulu yaitu eksplorasi dan eksploitasi, hingga hilir yakni pengolahan dan pemurnian bijih nikel. "Di CERIA dari total luasan IUP yang sudah tereksplorasi dari 100 persen luas kawasan IUP, itu hampir 50 persen yang sudah, 50 persen lagi kami masih melakukan eksplorasi," ujar Derian ketika menyampaikan Ceria telah melakukan eksplorasi detail dan mengestimasi sumber daya dan cadangan bijih nikel dari sekitar separuh luasan kawasan IUP dan terus melakukan eksplorasi detail lanjutan, sehingga menyelesaikan seluruh area yang memiliki potensi bijih laterit di dalam kawasan IUP-nya.
Menurut Derian, saat ini sudah saatnya berfokus pada ekosistem kendaraan listrik. Kebutuhan bahan baku baterai terutama nikel akan meningkat, dan hal ini akan sangat menguntungkan posisi Indonesia. Sebab, ekosistem kendaraan listrik ini memerlukan lebih banyak nikel dimana Indonesia memiliki kandungan nikel laterite yang terdiri dari lapisan limonite dan saprolite.
Selama ini smelter yang ada lebih banyak mengolah bijih nikel saprolite yang memiliki kadar nikel tinggi. Untuk mencukupi kebutuhan nikel sebagai bahan baku baterai, pengolahan bijih nikel limonite dengan karakteristik kandungan nikel berkadar rendah namun memiliki kandungan Cobalt yang baik menjadi lebih ekonomis dan sangat diperlukan. "Jadi menurut saya pemerintah atau masyarakat di Indonesia itu sebagai negara yang memiliki deposit terbesar untuk nikel di dunia ini harus bisa mengambil peran di dalam ekosistem mobil listrik ini. Karena kalau tidak, banyak cadangan yang akan terbuang," kata Derian.