Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Keadilan Setengah Hati

Mantan petinggi Khmer Merah, Nuon Chea dan Khieu Samphan, dihukum penjara seumur hidup. Banyak korban kekejaman rezim masih marah.

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Norng Chan Phal sedikit lega. Di luar pengadilan di pinggiran Kota Phnom Penh, Kamis dua pekan lalu, ia mendengar Nuon Chea, 88 tahun, dan Khieu Samphan, 83 tahun, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. "Kami telah menunggu putusan ini selama lebih dari 30 tahun," katanya. Masih bocah ketika rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot berkuasa, ia telah merasakan derita penjara, dan menyaksikan orang tuanya disiksa kemudian dieksekusi.

Oleh hakim, Nuon Chea, orang kedua Khmer Merah, dan Khieu Samphan, presiden periode 1976-1979, dinyatakan sebagai bagian dari "rezim penjahat" Khmer Merah yang terbukti melakukan serangan meluas dan sistemik terhadap warga sipil Kamboja selama berkuasa, 1975-1979. Keduanya juga dinyatakan bersalah atas: "Pembunuhan, penyiksaan politis, dan tindakan tidak manusiawi lainnya, di antaranya pemindahan paksa, penghilangan, dan serangan terhadap kehormatan manusia," kata ketua hakim, Nill Nong. Saat Khmer Merah berkuasa, hampir 2 juta rakyat Kamboja menjadi korban.

Nuon Chea dan Khieu Samphan yang sudah sakit-sakitan akan meminta banding. "Dia tidak tahu atau tidak melakukan kejahatan-kejahatan tersebut," kata Son Arun, pengacara Nuon Chea.

Vonis atas dua mantan pejabat Khmer Merah oleh majelis pengadilan luar biasa Kamboja itu belum memuaskan harapan para korban yang telah lama menunggu keadilan. "Kemarahan masih membakar di hati saya," kata Suon Mom, perempuan 75 tahun yang suami dan empat anaknya mati akibat kekejaman Khmer Merah, kepada Associated Press.

Proses pengadilan yang dimulai pada 2006 dan melibatkan jaksa serta hakim Kamboja dan internasional itu memang dikeluhkan banyak pihak tidak maksimal. "Penolakan pejabat Kamboja untuk memberikan bukti, juga intervensi politis ke kasus-kasus ECCC, memang menyulitkan dan menimbulkan pertanyaan mengenai kejujuran proses dan penghargaan terhadap hak-hak korban untuk mendengarkan kebenaran sepenuhnya atas kejahatan yang dituduhkan," kata Deputi Direktur Asia-Pasifik Amnesty International Rupert Abott.

Campur tangan pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen yang begitu kentara menunjukkan mereka setengah hati mendukung pengadilan yang berlangsung berkat sumbangan US$ 200 juta (sekitar Rp 2,3 triliun) dari 35 negara ini. Hun Sen, kader Khmer Merah yang membelot pada 1977, bersama pejabat pemerintah lainnya menolak pengadilan kasus-kasus berikutnya dilanjutkan. Menurut dia, pengadilan tambahan hanya akan merusak rekonsiliasi dengan gerilyawan Khmer Merah yang bisa memicu perang saudara lagi.

Akhirnya, selama delapan tahun ECCC bekerja, hanya lima orang yang diadili. Pada 2012, pengadilan menyelesaikan kasus 001, menghukum penjara seumur hidup kepala penjara S-21, Kaing Guek Eav, yang populer dengan nama Duch. Tahun sebelumnya pengadilan mendakwa Noun Chea, Khieu Samphan, serta Ieng Sary (deputi perdana menteri dan menteri luar negeri Khmer Merah) dan istrinya, Ieng Thirith (menteri sosial) dalam kasus 002. Tapi hanya Noun Chea dan Khieu Samphan yang divonis. Ieng Sary telah meninggal, sementara Ieng Thirit dinyatakan secara mental tak bisa menjalani proses pengadilan. Kasus 003 dan 004 "dihalangi".

Tak hanya itu. Phnom Penh juga melarang saksi penting memberikan kesaksian. Di antaranya Presiden Senat Chea Sim dan Ketua Dewan Nasional Heng Samrin. Akibatnya, ada hakim internasional yang tak tahan dan mengundurkan diri.

Hal lain yang juga "mengganggu" kredibilitas pengadilan adalah korupsi. "Staf pengadilan Kamboja mengeluh mereka dipaksa membayar suap kepada atasannya kalau ingin tetap bekerja," kata mantan utusan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kamboja, Yash Gai, pada 2009.

Meski pengadilan seolah-olah setengah hati, toh banyak korban Khmer Merah pasrah. "Kami tahu pengadilan tidak menyelesaikan segalanya," kata Youk Chhang, pendiri Pusat Dokumentasi Kamboja. "Yang penting, tetap ada proses pengadilan."

Purwani Diyah Prabandari (The New York Times, BBC, The Diplomat, The Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus