Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Taman Nasional Ujung Kulon mengidentifikasi badak Jawa dengan pengolahan data pemantauan melalui klip video dari kamera jebak.
Terdapat 130 kamera jebak yang tersebar di kawasan konservasi seluas 38 ribu hektare, dari luas total Taman Nasional Ujung Kulon yang 45 ribu hektare.
Taman Nasional Ujung Kulon mengkonservasi badak Jawa bersama mitra dan melibatkan masyarakat untuk mengawasi kawasan konservasi.
SALAH seorang yang paling bertanggung jawab dalam mengidentifikasi badak Jawa di habitat Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) adalah Asep Yayus Firdaus. Pengendali ekosistem hutan TNUK ini mengatakan proses identifikasi badak dilakukan dengan pengolahan data pemantauan melalui klip video dari kamera jebak. "Mengidentifikasi tiap individu dan melakukan analisis serta pemetaan dengan ciri-ciri morfologi tiap badak," ujar Yayus saat ditemui Tempo di Kantor Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Kabupaten Pandeglang, Banten, Jumat, 5 Mei lalu.
Yayus mengatakan pemantauan satwa bercula satu di sisi barat Pulau Jawa ini dilakukan sejak 2013. Kini terdapat 130 kamera jebak yang tersebar di kawasan konservasi seluas 38 ribu hektare (dari luas total Taman Nasional Ujung Kulon yang 45 ribu hektare) itu. "Sebelumnya pemantauan dilakukan secara tidak langsung dengan mengidentifikasi jejak ataupun kotoran badak Jawa," katanya. “Ketika mulai menggunakan kamera, jumlah individu yang bisa dideteksi pun meningkat.”
Untuk memudahkan proses identifikasi, menurut Yayus, pemberian nama dilakukan kepada setiap individu badak yang terdeteksi. Pemberian nama dilakukan sejak 2011 dengan nomor ID pertama diberikan kepada individu badak bernama Kujang. "Hingga 2022, ada 91 badak yang telah diberi ID, tapi dua individu belum diberi nama karena baru terdeteksi pada 2022," ucap Yayus.
Dalam proses identifikasi, Yayus menerapkan delapan parameter untuk membedakan setiap individu satwa yang oleh Uni Internasional untuk Konservasi dan Sumber Daya Alam (IUCN) pada 2006 ditetapkan status konservasinya sebagai kritis (critically endangered) tersebut. Kedelapan parameter itu berdasarkan analisis rekaman kamera dengan melihat kondisi cula, mata, kerutan mata, telinga, lipatan leher, lipatan kaki, ekor, dan warna kulit yang terakhir. "Tapi yang menguntungkan saya untuk membedakan badak adalah bekas cacatnya. Contohnya, badak Shinta ada bekas luka di lipatan lehernya," tuturnya.
Untuk mendeteksi adanya individu baru, Yayus bersama tim pemantau rutin mengecek kamera jebak. Setiap kamera bakal dipantau rutin dua bulan sekali untuk memastikan kondisi memori dan ketahanan baterai. Wilayah tim pemantau itu terbagi atas lima resor, seperti di Semenanjung Ujung Kulon, Panaitan, dan Gunung Honje. "Ditarget satu kali trip memasang 20 kamera. Ada juga yang 15 kamera, ada 25 kamera, tergantung luasan habitat badak," katanya.
Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) berhasil diabadikan menggunakan camera trap saat berkubang di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten/Antara/ Muhammad Adimaja
Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Anggodo menyebutkan, dalam konservasi badak bercula satu, mereka menggandeng mitra seperti Yayasan Badak Indonesia (Yabi) dan Aliansi Lestari Rimba Terpadu (ALeRT). Dalam pemantauan badak, Anggodo mengatakan, mereka banyak mendapat bantuan dari AleRT. "Untuk pembiayaan penuh oleh kami sebagai pengelola kawasan. NGO (lembaga swadaya) hanya membantu yang tidak terkover oleh APBN," ujar Anggodo saat ditemui di Kantor Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Jumat, 5 Mei lalu.
Adapun bantuan dari Yabi, menurut Anggodo, pada keterlibatan mengedukasi masyarakat sekitar sebagai bagian dari tim patroli. Ada tujuh regu yang bertugas menjadi tim patroli yang mengawasi kawasan konservasi satwa bercula satu yang mendiami habitat Semenanjung Ujung Kulon. "Ada sekitar 40 warga yang ikut mengawasi melalui pembiayaan dari Yayasan Badak Indonesia. Nanti setiap regu itu melibatkan lima anggota dengan dipimpin oleh PNS (pegawai negeri sipil) yang membawa senapan buat berjaga," ucapnya.
Bantuan lain yang diberikan oleh Yabi, menurut Anggodo, adalah pembangunan pagar pembatas agar badak hanya bisa berkeliaran di kawasan Semenanjung Ujung Kulon, yang merupakan zona inti konservasi. Pembangunan pagar itu dilakukan sejak 2008 dengan panjang sekitar 15 kilometer menggunakan tali sling. "Dalam dua tahun terakhir ini kami juga sudah membangun pagar sepanjang 3 kilometer yang dilengkapi pintu otomatis yang bakal menghubungkan wilayah Semenanjung Ujung Kulon dengan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA)," tuturnya.
Kerja sama lain yang pernah dilakukan oleh Taman Nasional Ujung Kulon dengan Yabi, kata Anggodo, adalah pemberian ganti untung bagi sawah warga yang berada di zona inti. Selanjutnya, pembangunan tiga kandang kerbau bagi warga sehingga nanti hewan ternak itu tidak satu kubangan dengan badak. "Ini untuk menghindari penyakit zoonosis berupa penyebaran penyakit mulut dan kuku kerbau kepada badak Jawa," ujar Anggodo.
Keseriusan pemerintah dalam mengkonservasi badak, menurut Anggodo, tertuang dalam surat edaran Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor SE.3/2023 pada 21 Maret 2023. Surat itu ditujukan kepada Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon dan mitranya dalam bentuk pedoman pelaksanaan kegiatan prioritas 2023-2029. "Kami sudah ada langkah strategis melalui surat edaran Dirjen. Salah satunya dengan menjadikan JRSCA sebagai lokasi breeding conservation seperti di Taman Nasional Way Kambas untuk badak Sumatera," ujarnya.
Linda Fitria dari Yayasan Badak Indonesia mengatakan pada dasarnya Yabi adalah mitra Balai Taman Nasional Ujung Kulon serta Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, sehingga informasi mengenai konservasi badak Jawa bisa melalui mitra. "Karena pekerjaan kami untuk program perlindungan badak Jawa di TNUK melalui tim Rhino Protection Unit (RPU) dan JRSCA, secara reguler sudah terlaporkan dan dilakukan bersama-sama dengan pihak Balai TNUK," ucap Linda melalui keterangan tertulis, Jumat, 5 Mei lalu.
Koordinator Tim Komunikasi dan Edukasi WWF Indonesia Diah R. Sulistyowati mengatakan lembaganya membantu upaya konservasi badak Jawa sejak 1962 hingga 2019. Ia menyebutkan WWF Indonesia mulai beroperasi di Ujung Kulon pada 1962, bekerja sama dengan pemerintah dengan proyek perdana konservasi badak. "Saat itu, berdasarkan hasil studi, terdapat 20-29 individu badak Jawa di Ujung Kulon," kata Diah melalui jawaban tertulis, Jumat, 5 Mei lalu. “WWF Indonesia ikut dilibatkan dalam penyusunan dokumen pertama Rencana Strategi Konservasi.”
Pelaksana Lanjutan Pengidentifikasi Badak Jawa TNUK, Asep Yayus Firdaus di kantor Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Labuan, Pandeglang, Banten, 5 Mei 2023/Tempo/M Taufan Rengganis
Berdasarkan pengalaman pendampingan yang dilakukan WWF Indonesia di Ujung Kulon, ia menyebutkan, sejak 1990-an tidak ditemukan kasus perburuan liar badak Jawa karena penegakan hukum yang efektif oleh TNUK yang diiringi inisiatif-inisiatif seperti Rhino Monitoring and Protection Unit serta patroli pantai. Namun, menurut dia, akhir-akhir ini ada indikasi terjadinya perburuan terhadap badak Jawa.
Menurut Diah, ancaman terbesar bagi populasi badak Jawa adalah berkurangnya keberagaman genetik. "Populasi badak Jawa yang sedikit menyebabkan rendahnya keberagaman genetik. Hal ini dapat memperlemah kemampuan spesies ini dalam menghadapi wabah penyakit atau bencana alam, seperti erupsi gunung api dan gempa," tuturnya. Permasalahan lain, kata Diah, adalah degradasi dan hilangnya habitat karena meningkatnya kebutuhan lahan sebagai akibat langsung pertumbuhan populasi manusia. Menurut dia, terdapat pembukaan hutan untuk pertanian dan penebangan kayu komersial di sekitar dan di dalam kawasan lindung.
Diah mengatakan pemerintah dan mitra konservasi, termasuk para praktisi dan ahli yang bekerja pada konservasi badak Jawa, berada di posisi yang sama dalam upaya penyelamatan badak Jawa. "Sebagai satu-satunya populasi badak Jawa di dunia, tentunya terus diperlukan kolaborasi dan konservasi yang inklusif dalam penyelamatan populasinya," ujarnya. “Apalagi badak Jawa masuk kategori kritis dalam Daftar Merah yang dikeluarkan IUCN serta Apendiks I Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna Liar yang Terancam Punah (CITES).”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak di bawah judul "Menjaga Satwa Bercula Satu"