Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Putusan Eksekusi Kebakaran Hutan Mangkrak. Kenapa?

Putusan eksekusi sedikitnya Rp 20,7 triliun terhadap pelaku kebakaran hutan mangkrak. Pemerintah siap menyita aset secara paksa.

26 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBUN sagu di belakang rumah Acat sudah rimbun. Batang-batang rumbia setinggi 3-4 meter itu berjajar rapat, beralas tanah yang dipenuhi pakis-pakisan. Rabu sore, 8 Mei 2024, Acat—nama yang tertulis di kartu tanda penduduk miliknya—yang dilantik menjadi Kepala Desa Kepau Baru, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, pada 2019, tengah duduk bersantai dengan istrinya di pelataran rumah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sagu-sagu itu kami tanam lagi pelan-pelan. Dua tahun terakhir sudah mulai ada yang bisa kami panen,” kata Acat kepada Tempo. Dia menjual sagu kepada tengkulak yang secara berkala berkunjung ke kampungnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tepat satu dekade lalu, kebun sagu seluas 3 hektare itu habis terbakar. Acat mewarisi kebun sagu itu dari orang tuanya. Bukan hanya lahan Acat yang gosong, 547 hektare kebun sagu milik warga Desa Kepau Baru lain pun demikian. Kala itu api merambat dari area konsesi perkebunan sagu PT National Sago Prima (NSP)—anak perusahaan PT Sampoerna Agro Tbk—di sisi utara kampung.

Kebun Acat termasuk yang pertama kali ludes dilalap api. Lahan milik pria 45 tahun itu berbatasan langsung dengan Blok K26, unit penanaman di area konsesi NSP yang jadi titik awal kemunculan api.

Ali Amran, 39 tahun, masih ingat suasana mencekam pada 31 Januari 2014 ketika Kepau Baru dilanda kepanikan akibat kebakaran hutan dan lahan. Jumat malam itu, warga semestinya merayakan tahun baru Imlek. Namun sisi utara desa, yang dekat dengan lokasi perkebunan milik PT NSP, telah membara sehari sebelumnya.

Ali tidak mempunyai ladang, hanya menjadi penggarap di salah satu kebun tetangganya. Namun saat itu ia adalah Kepala Desa Kepau Baru. Bersama sejumlah warga dan pekerja perusahaan, Ali berjibaku memadamkan api agar tak merembet ke perkampungan. “Apinya tinggi dan panjang seperti tembok,” tutur Ali. Area ini pernah terbakar pada 2004 sebelum PT NSP beroperasi. “Tak pernah saya melihat api sebesar kebakaran 2014.”

Ali menerangkan, mayoritas warga Desa Kepau Baru yang waktu itu dihuni 415 keluarga bertahan di kampung. Saban hari mereka membasahi rumah dengan air yang diambil dari kanal-kanal kebun agar tak ikut terbakar. “Selama dua bulan saat itu kampung ini penuh asap. Malam hari selalu terang karena api,” ucap Ali.   

Akiat termasuk warga yang bertahan. Rumah pria 47 tahun ini aman karena berada di pesisir sisi selatan, di dekat Pelabuhan Kepau Baru. Namun kebun Akiat seluas 10 hektare, yang menghampar tak jauh dari kebun milik Acat, ludes. Tak ada satu pun tegakan sagu yang selamat dari kobaran api.

Sejak saat itu, kondisi ekonomi Akiat berbalik arah. Kebun sagu yang sebelumnya menyumbang pendapatan keluarga minimal Rp 20 juta per tahun tak bisa lagi dipanen. Sepuluh tahun terakhir, sama seperti Acat, Akiat pelan-pelan menanam lagi sagu di lahannya.

Akiat menuturkan, perusahaan hanya sekali membayar ganti rugi senilai Rp 1 juta atas 10 hektare kebun yang hangus. “Warga sebenarnya minta ganti rugi Rp 15 juta per hektare,” kata bapak empat anak itu. “Tapi mereka (perusahaan) cuma kasih uang segitu dengan alasan tak ada duit dan sebagainya.”       

•••

BUKAN hanya warga Desa Kepau Baru yang menjadi korban dalam tragedi kebakaran hutan dan lahan 2014-2015. Selama dua tahun itu, kebakaran hutan meluas di seantero negeri dengan total luas area terbakar mencapai 4,38 juta hektare—setara dengan sepertiga wilayah Pulau Jawa. Riau menjadi provinsi dengan luas indikasi kebakaran hutan dan lahan terbesar keempat. Urutan pertama sampai ketiga adalah Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua (saat itu belum dimekarkan).

Pemerintah tidak bisa disebut tinggal diam atas peristiwa itu. Nyatanya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Jenderal Penegakan Hukum menyidik dan menggugat secara perdata puluhan perusahaan pemegang izin kehutanan dan perkebunan yang area konsesinya terbakar.

PT National Sago Prima termasuk yang dimintai pertanggungjawaban. KLHK menggugat perdata perseroan atas kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi pada awal 2014. Dalam proses penanganan perkara ini, yang memakan waktu bertahun-tahun, KLHK menang. Pada 2020, Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali PT NSP atas putusan kasasi dua tahun sebelumnya, yang mewajibkan perusahaan membayar ganti rugi kepada negara senilai Rp 319,16 miliar ditambah biaya pemulihan lingkungan Rp 753,75 miliar.

Namun putusan inkracht atau berkekuatan hukum tetap itu tak serta-merta mengakhiri persoalan. Hingga saat ini, putusan tersebut belum dapat dieksekusi. Kewajiban pembayaran ganti rugi dan biaya pemulihan lingkungan senilai total Rp 1,07 triliun masih tertunggak. “Putusan pengadilan dalam kasus kerusakan lingkungan hidup hanya di atas kertas,” kata Manajer Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Boy Jerry Even Sembiring.

Boy menjelaskan, derita warga Desa Kepau Baru satu dasawarsa terakhir merupakan buah tersendatnya eksekusi putusan pengadilan. Celakanya, putusan perdata kasus kebakaran hutan PT NSP bukan satu-satunya yang tertunggak. Boy mencatat ada dua kasus lain di Riau yang putusan perkaranya hingga saat ini tak kunjung bisa dieksekusi, yakni putusan perdata perambahan hutan PT Merbau Pelalawan Lestari di Kabupaten Pelalawan dan PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) di Kabupaten Rokan Hilir.

Tempo dalam sepekan terakhir berupaya meminta penjelasan dari PT NSP. Namun surat yang dikirim ke gedung Sampoerna Strategic Square North Tower Lantai 28, Jakarta Selatan, tak kunjung mendapat respons. Permohonan konfirmasi turut dikirim melalui surat elektronik kepada induk bisnis NSP, yakni PT Sampoerna Agro Tbk, melalui Head of Corporate Affairs and Legal Eris Ariaman.

Eris menjabat Direktur Utama PT NSP ketika perusahaan itu tersandung skandal kebakaran hutan. Pada 2015, dia mengatakan justru korporasinya yang paling menderita karena bencana kebakaran pada awal 2014 di area konsesi. “Sehingga kami justru merupakan pihak yang paling dirugikan dalam hal ini,” tuturnya di Pengadilan Negeri Bengkalis pada 15 Januari 2015.

Bersama sejumlah pejabat PT NSP, Eris pernah menjadi terdakwa karena kasus ini. Pemerintah sebagai penuntut mendakwa orang-orang perusahaan sengaja membakar lahan seluas 21.418 hektare di lima desa di Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti. Namun Pengadilan Negeri Bengkalis membebaskan mereka dari tuduhan tindak pidana.

Bekas Head of Investor Relations PT Sampoerna Agro Tbk, Michael Kusuma, mengatakan bakal menyampaikan pesan permintaan konfirmasi kepada Eris Ariaman sebagai perwakilan induk perusahaan. “Saya ada kontaknya, tapi tidak enak kalau ngasih. Tapi, setahu saya, dari dulu perusahaan comply dan menaati aturan,” ucap Michael sembari berjanji mengirimkan pertanyaan kepada Eris.

•••

PLANG pengumuman setinggi kira-kira 2 meter berdiri di tepi jalan di pusat perkebunan sawit milik PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, pada Sabtu, 11 Mei 2024. Papan itu bertulisan “Monitoring Best Management Practice (BMP)” dengan sematan emblem korporasi. Istilah BMP merujuk pada metode tata kelola budi daya tanaman Elaeis guineensis yang mengacu pada upaya pelestarian lingkungan dan lainnya.

Semua papan berisi informasi produktivitas bulanan di Blok C13F di sepanjang tahun ini. Di dalamnya tertulis identifikasi lokasi, seperti afdeling atau nama kebun; nama blok; luas lahan; juga tahun tanam. Penandaan tahun tanam tertulis sejak 2013. Adapun lokasi plang tertancap pada koordinat 1° 55' 8.256'' Lintang Utara dan 100° 47' 9.312'' Bujur Timur atau berada di Desa Pedamaran, Kecamatan Pekaitan, Rokan Hilir.

Plang informasi aktivitas PT Jatim Jaya Perkasa dalam mengelola perkebunan sawit di Blok C13F, Kabupaten Rokan Hilir, Riau, 11 Mei 2024. Tempo/Richaldo Hariandja

Penanaman sawit oleh PT JJP bertepatan dengan insiden kebakaran hutan hebat yang juga terjadi pada 2013. Pada masa-masa mencekam tersebut, sedikitnya puluhan ribu hektare lahan dan hutan di kabupaten itu terbakar. Kebakaran juga terjadi di area konsesi PT National Sago Prima, yang menghanguskan 1.000 hektare kawasan gambut. Tragedi asap tersebut mengakibatkan 16 ribu warga Rokan Hilir menderita infeksi saluran pernapasan akut dan dua warga dilaporkan meninggal.

Pada 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyeret PT JJP ke meja hijau. Perusahaan milik Ganda Group—korporasi perkebunan sawit yang dimiliki konglomerat Ganda Sitorus—itu digugat secara perdata atas kerusakan lingkungan dan harus bertanggung jawab atas pemulihannya. Pengadilan tingkat pertama menjatuhkan vonis denda ganti rugi Rp 7,1 miliar atas kerugian lingkungan dan Rp 22,2 miliar untuk tanggung jawab pemulihan.

Perusahaan melayangkan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tapi hukumannya justru diperberat. Hakim memerintahkan PT JJP membayar ganti rugi lingkungan senilai Rp 119,8 miliar dan Rp 371,1 miliar sebagai biaya pemulihan. Anak bisnis milik adik Wilmar Martua Sitorus tersebut melawan dengan mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Gugatannya berakhir kalah, tak terkecuali upaya peninjauan kembali.

Sebelas tahun berjalan, perusahaan tak kunjung menjalankan eksekusi secara sukarela dengan membayar denda senilai Rp 491,02 miliar tersebut. Terutama tanggung jawab memulihkan hutan dan lahan gambut yang mereka rusak sehingga memicu kebakaran. Justru yang terjadi perusahaan menyulap lahan bekas terbakar menjadi perkebunan sawit.

Pantauan Tempo di lapangan mendapati masifnya eksploitasi lahan di tepi Sungai Rokan untuk perkebunan sawit oleh PT JJP. Hamparannya membentang tak kurang dari 8.200 ribu hektare atau lebih luas dari zona inti pada Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur yang hanya 6.600 ribu hektare. Wilayah itu menjelma menjadi petak-petak perkebunan dengan sistem kanalisasi untuk mengeringkan area gambut. Di sana bahkan dibangun pabrik crude palm oil—pengolahan tandan buah segar menjadi minyak sawit—yang juga dimiliki PT JJP.

Pemanenan sawit disinyalir telah berlangsung bertahun-tahun di lahan kritis bekas terbakar. Saban hari puluhan truk dua sumbu dan enam roda hilir-mudik mengangkut tandan sawit dari kebun-kebun menuju pabrik. Satu di antaranya adalah dump truck Mitsubishi Canter Heavy Duty 125 Pferdstarke  tanpa pelat nomor yang sepanjang hari itu terlihat sibuk mengangkut buah sawit. Pada bagian bak berwarna hijau terdapat tulisan “JJP2 DT14”.

Setiap kali truk tersebut berhenti, tiga pekerja melompat dari truk. Mereka bertugas memunguti dan melemparkan buah sawit ke dalam bak truk yang berkapasitas 6-8 ton. Butuh setidaknya 10 menit untuk mengangkut sawit-sawit yang dikepul di pinggir jalan itu. Berdasarkan pantauan Tempo, satu ruas jalan memiliki tiga titik pemanenan. “Aktivitas perkebunan ini sangat tertutup, bahkan saya hanya menanam singkong langsung dicabuti,” ucap seorang petani di Desa Pedamaran.

Sumber Tempo di KLHK bercerita, tidak ada cara selain melakukan eksekusi paksa terhadap PT JJP. Belasan perkara lain yang berkekuatan hukum tetap juga demikian. Kementerian ini telah mengajukan permohonan eksekusi untuk menyita aset perusahaan melalui pengadilan negeri. “Saya pernah datang menemui ketua pengadilan. Mereka beralasan sebagai pihak pasif. Padahal kami sudah mengajukan permohonan dan seharusnya mereka aktif mengeksekusi putusan,” kata pejabat ini.

Manajer Eksekutif Walhi Riau Boy Jerry Even Sembiring mendapati PT JJP sama sekali tak berniat menjalankan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta untuk membayar denda senilai Rp 491 miliar. “Padahal, hitung-hitungan kami, perusahaan ini memiliki potensi pendapatan dari perkebunan sawit sebesar Rp 47 miliar per bulan,” ucap Boy.

Potensi pendapatan tersebut muncul dari hitung-hitungan minimum terhadap sawit berumur 3-5 tahun dengan luas lahan 263 hektare. Lahan itu ditaksir bakal menghasilkan Rp 500 juta per bulan. Ini ditambah dengan tanaman sawit berumur 6-14 tahun di kebun seluas 8.347 hektare yang memiliki potensi pendapatan Rp 46,5 miliar. Dari keseluruhan luas keduanya juga ditemukan 586 hektare kebun sawit berusia lebih dari enam tahun yang berada di luar area konsesi perusahaan.

Walhi Riau juga mendeteksi adanya aset lain yang dimiliki perusahaan. Aneh bila PT JJP tak kunjung menjalankan eksekusi pengadilan, kecuali berniat tak patuh pada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Selain masalah itu, Boy menyorot lahan 1.000 hektare lahan terbakar yang menjadi obyek hukum tapi justru ditanami sawit oleh PT JJP.

Permintaan konfirmasi telah dikirim Tempo secara tertulis ke kantor PT JJP di Ganda Auto Building, Jakarta Utara, juga kepada Edwin Armay selaku staf bagian hukum PT Agro Mandiri Semesta Ganda Group (perusahaan induk PT JJP). Hanya, mereka tidak merespons permohonan wawancara hingga laporan ini ditulis pada Kamis petang, 23 Mei 2024.

•••

RASIO Ridho Sani tak memungkiri warta bahwa PT National Sago Prima dan PT Jatim Jaya Perkasa adalah dua dari banyak korporasi yang tak kunjung menjalankan eksekusi pengadilan. “Sudah ada 19 perkara yang telah inkracht. Kemudian, dari jumlah itu, terdapat delapan kasus yang masih berlangsung proses eksekusinya,” ujar Rasio, yang menjabat Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK.

Adapun sebelas perkara sisanya sudah dalam tahap eksekusi dengan catatan. Dari jumlah tersebut, delapan kasus sudah dieksekusi dan tiga perkara lain dalam proses pembayaran. Rasio tak menepis kabar bahwa proses eksekusi membutuhkan waktu yang panjang. Sebab, eksekusi sangat bergantung pada komitmen ketua pengadilan negeri selaku eksekutor.

Tandan buah segar sawit PT Jatim Jaya Perkasa di lokasi yang terbakar pada 2013 sedang diangkut pekerja ke atas truk bernomor badan JJP2 DT14, 11 Mei 2024. Tempo/Richaldo Hariandja

KLHK mendata 13 perusahaan yang telah dijatuhi putusan perdata inkracht. Total nilainya mencapai Rp 19,21 triliun. Denda paling besar diterima oleh PT Merbau Pelalawan lestari dengan nilai Rp 16,2 triliun yang juga belum dieksekusi. Perusahaan berikutnya adalah PT Palmina Utama, PT Arjuna Utama Sawit, PT Kalimantan Lestari Mandiri, PT Kaswari Unggul, PT Kumai Sentosa, PT Rafi Kamajaya Abadi, PT Bintang Warna Mandiri, PT Kamarga Kurnia Textile Industry, PT United Colour Indonesia, PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi, PT Asia Palem Lestari, dan PT JJP.

Di luar itu, Rasio mengaku mendapat komitmen tertulis dari PT NSP. Perusahaan itu berjanji membayar ganti rugi senilai Rp 319 miliar dalam dua tahap. Tahap pertama paling lambat pada 28 Juni 2024 senilai Rp 160 miliar dan sisanya Rp 159 miliar paling lambat 18 Desember 2024. Korporasi juga berjanji memulihkan lingkungan dengan pengawasan KLHK. Jika janji tersebut tidak ditunaikan, Rasio berniat mengajukan permohonan eksekusi paksa atas aset perusahaan untuk dilelang.

Pihak hubungan masyarakat Mahkamah Agung, Suharto, menyatakan kewenangan eksekusi ada di pengadilan tingkat pertama. Dia menyarankan Tempo menanyakan ke pengadilan negeri. “Agar lebih jelas duduk perkaranya, siapa pemohon, siapa termohon, dan apa jenis eksekusinya,” ucap Suharto.

Permohonan wawancara resmi telah dikirim kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Saut Maruli Tua Pasaribu dan pejabat hubungan masyarakat Djuyamto. Namun keduanya belum memberi tanggapan atas perkara PT NSP yang divonis membayar ganti rugi. “Senin (pekan depan) nanti saya cek, ya,” kata Djuyamto. Pihak hubungan masyarakat Pengadilan Negeri Jakarta Utara tak merespons pertanyaan mengenai putusan PT JJP karena membutuhkan waktu untuk mencari informasi pada Senin pekan depan.

KLHK pernah menjabarkan progres ekskusi putusan eksekusi perkara perdata lingkungan hidup. Di antaranya terdapat eksekusi putusan ganti rugi senilai Rp 17 triliun dan pemulihan lingkungan Rp 284 miliar yang masih dalam proses terhadap delapan korporasi. Kemudian ada proses persiapan ekskusi terhadap 10 perusahaan dengan putusan ganti rugi senilai Rp 993 miliar dan pemulihan Rp 1,6 triliun. Adapun putusan perkara yang selesai dieksekusi hanya atas delapan perusahaan, yaitu berupa ganti rugi senilai Rp 251 miliar dan pemulihan Rp 284 miliar.


Paragraf terakhir artikel ini diubah pada Ahad, 26 Mei 2024, untuk memperbaiki kekeliruan informasi. Sebelumnya dituliskan sebagai data Walhi Riau dan Indonesia Center for Environmental Law. Beberapa nilai eksekusi putusan juga diperbaiki untuk kepentingan akurasi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Agoeng Wijaya dari Jakarta dan Richaldo Hariandja dari Pekanbaru berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sulitnya Eksekusi Pembakar Hutan".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus