Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH lebih dari 20 tahun Juju Juriah, 53 tahun, beternak unggas di sepetak lahan kosong di dekat rumahnya di Kelurahan Kukusan, Depok, Jawa Barat. Hanya, lantaran ini bukan peternakan besar, tak ada perawatan khusus bagi unggas-unggas itu. Jangankan dilakukan vaksinasi berkala, unggas yang terdiri atas ayam dan bebek itu pun dibiarkan berkeliaran bebas mencari makan sendiri.
Pada April lalu, puluhan ayam dan bebek milik Juju itu dibakar oleh Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok. Sebab, sebulan sebelumnya, tersiar kabar bahwa sejumlah unggas itu mati mendadak. Setelah diperiksa, unggas-unggas itu ternyata positif terjangkit flu burung. Tapi, bagi perempuan paruh baya itu, kejadian ini dianggap biasa saja. "Setiap tahun juga begitu," katanya enteng saat ditemui pekan lalu.
Flu burung (avian influenza) jelas tak bisa dipandang sebelah mata. Penyakit yang disebabkan oleh virus ini dapat menyebabkan kematian massal pada unggas dalam waktu singkat. Penyakit ini juga berbahaya karena bisa menyebar ke peternakan lain dengan cepat dan membunuh manusia yang terinfeksi.
Ada dua tipe virus flu burung: galur patogenik tinggi dan rendah. Keduanya dibedakan atas kemampuan menciptakan wabah pada ternak. Mikroorganisme ini memiliki subtipe virus berdasarkan protein haemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Ada 16 tipe protein H dan 9 tipe protein N yang dikenali.
Menurut Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), virus jenis H5 dan H7 memiliki beberapa tipe virus patogenik tinggi. Yang paling terkenal adalah virus H5N1. Tingkat kematian unggas yang terinfeksi virus ini mencapai 100 persen dalam waktu kurang dari 48 jam.
Virus ini memicu wabah flu burung global pada akhir 2003. Sekitar 250 juta unggas dimusnahkan di seluruh dunia untuk memutus rantai penularannya. Menurut laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 440 orang di 16 negara tewas setelah terinfeksi H5N1 tahun lalu.
Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengendalikan wabah flu burung. FAO menyebutkan kasus flu burung masih kerap ditemukan di sebagian wilayah Cina, Mesir, dan Nigeria. Diduga virus flu burung ini mulai bermutasi dari bentuk aslinya.
Di Indonesia, flu burung terdeteksi pertama kali pada 2003. Sumbernya diperkirakan dari unggas yang berasal dari Cina dan Vietnam. Indonesia sempat didera ribuan kasus flu burung yang berakibat bisnis peternakan rugi besar. Bukan hanya itu, dilaporkan 167 orang yang terinfeksi meninggal.
Kementerian Pertanian mencatat jumlah kasus flu burung di Indonesia tahun ini meningkat pesat. Hingga akhir April lalu saja sudah terdeteksi 148 kasus flu burung. Angka ini cukup mengerikan dan menjadi lampu kuning. Bandingkan dengan tahun lalu, yang hanya terdapat 123 kasus sepanjang tahun.
Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita mengatakan penyakit flu burung kembali terjadi di daerah yang pernah mengalami kasus serupa tahun lalu. Daerah dengan jumlah peternakan dan populasi unggas tinggi menjadi wilayah paling berisiko. "Pulau Jawa, terutama Jawa Barat, adalah sumber utama letupan penyakit flu burung," kata Diarmita dalam konferensi pers di Kementerian pada pertengahan Mei lalu.
Di Jawa Barat, sudah terjadi 56 kasus flu burung atau hampir sepertiga dari total kasus secara nasional pada triwulan pertama ini. Padahal tahun lalu hanya ada 35 kasus. Serangan terjadi di Depok, Bekasi, Subang, Indramayu, Majalengka, Tasikmalaya, Purwakarta, dan Kuningan. Sekitar 16 ribu unggas mati.
Empat kecamatan di Depok, yaitu Tapos, Sawangan, Cipayung, dan Bojongsari, ditetapkan sebagai wilayah endemis flu burung. "Unggas yang mati itu semua yang dipelihara di rumah warga. Di peternakan malah belum terjadi," ucap Tinte Rosmiati, Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok.
Daerah rawan lain adalah Lampung, Sulawesi Selatan, Kalimantan Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. Di Lumajang, Jawa Timur, ada sekitar 9.000 itik mati akibat flu burung pada April lalu. "Wilayah Jawa ini biang kerok avian influenza," kata Diarmita. "Jika jalur distribusi tak dijaga ketat, virus itu bisa menyebar ke mana-mana."
Perawatan unggas dan peternakan, Diarmita menambahkan, menjadi kunci penting untuk memperkecil risiko terinfeksi. Kementerian, bekerja sama dengan FAO, terus berupaya mensosialisasi panduan sederhana tentang keamanan biologis sistem tiga zona: hijau, kuning, dan merah.
Zona hijau adalah daerah kandang unggas yang seharusnya paling bersih. Zona kuning adalah pembatas antara kandang dan bagian luar peternakan yang merupakan zona merah. Tiap zona dilengkapi dengan bak cuci kaki berisi air yang dicampur cairan disinfektan. Para pekerja peternakan wajib membersihkan kontaminasi kotoran dari luar peternakan dan mengganti pakaian serta alas kerja di setiap zona.
James McGrane, Team Leader FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases, mengatakan Indonesia harus terus waspada terhadap penyakit flu burung. Sebab, virus ini masih berkeliaran. Sistem keamanan biologis tiga zona harus ditingkatkan. "Metode ini terbukti bisa menurunkan risiko penularan virus burung," ujar McGrane.
Tim Kementerian sebenarnya telah membuat prediksi perkembangan virus avian dan pola kasusnya. Para peternak unggas pun sudah diingatkan agar meningkatkan sistem keamanan biologis tiga zona. "Yang sulit itu mengawasi unggas rumahan di daerah rawan flu burung. Mereka biasanya dibiarkan berkeliaran, sementara potensi tertularnya tinggi," ucap Diarmita.
Faktor eksternal, seperti perubahan cuaca ekstrem, turut mempengaruhi lonjakan kasus flu burung di Indonesia. Periode "gawat" ini berlangsung antara Maret dan April, kemudian berulang pada periode sama pada tahun berikutnya. "Ini berkaitan dengan pola peralihan musim kering ke musim hujan," kata M. Azhar, Koordinator Unit Respons Cepat Penyakit Hewan Menular Strategis Kementerian Pertanian.
Virus avian influenza biasanya berada dalam kondisi dorman saat cuaca relatif stabil. Mereka bereaksi dan berkembang biak secara masif ketika terjadi perubahan cuaca ekstrem, seperti ketika Indonesia dilanda El Nino pada awal tahun ini. "Waktunya ketika panas terik tiba-tiba hujan lebat dan waktu yang singkat serta temperatur menurun," ujarnya.
Fenomena La Nina, penurunan suhu muka laut di Samudra Pasifik yang membuat curah hujan di Indonesia meninggi, juga bisa mempengaruhi perkembangan virus flu burung. Badan Meteorologi, Geofisika, dan Klimatologi memprediksi La Nina berlangsung mulai Juli hingga September, bersamaan dengan musim kemarau. "Saya berharap tidak ada kasus lagi. Tapi para pemilik unggas dan peternakan harus lebih waspada," ujar Azhar.
Di Indonesia, peternak unggas rumahan seperti Juju Juriah jumlahnya cukup banyak dan tersebar luas. Sayangnya, kesadaran mereka akan bahaya virus flu burung justru sangat rendah.
Gabriel Wahyu Titiyoga, Imam Hamdi (Depok), Ahmad Fikri (Bandung), David Priyasidharta (Lumajang)
Kasus Flu Burung pada Unggas di Indonesia
Tahun | Jumlah |
2007 | 2.751 |
2008 | 1.413 |
2009 | 2.293 |
2010 | 1.502 |
2011 | 1.390 |
2012 | 546 |
2013 | 470 |
2014 | 343 |
2015 | 123 |
2016* | 148 |
Unggas Mati Akibat Flu Burung 2016*
Itik/bebek | 29.611 |
Layer | 21.111 |
Puyuh | 15.916 |
Ayam kampung | 8.406 |
Broiler | 2.167 |
*hingga 30 April 2016
Kasus Flu Burung pada Manusia di Indonesia
Tahun | Kasus | Meninggal |
2005 | 20 | 13 |
2006 | 55 | 45 |
2007 | 42 | 37 |
2008 | 24 | 20 |
2009 | 21 | 19 |
2010 | 9 | 7 |
2011 | 12 | 10 |
2012 | 9 | 9 |
2013 | 3 | 3 |
2014 | 2 | 2 |
2015 | 2 | 2 |
SUMBER: Kementerian Pertanian, FAO, WHO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo