Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIREKTORAT Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi national focal point (penanggung jawab) dalam pengendalian perubahan iklim untuk Indonesia melalui penurunan emisi gas rumah kaca. Dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-28 (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, proposal penurunan emisi itu akan dipaparkan di depan negara-negara lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam wawancara dengan Abdul Manan dari Tempo, Kamis, 16 November lalu, Direktur Jenderal PPI Laksmi Dhewanthi menjelaskan agenda yang diusung dan menjadi perhatian Indonesia dalam COP28 tahun ini. Iwan Kurniawan menyuntingnya untuk alur dan konteks.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa agenda paling krusial dalam COP28 bagi Indonesia?
Salah satu yang penting adalah menyelesaikan global stocktake (evaluasi kemajuan dunia dalam mengurangi emisi karbon) yang pertama. Ini untuk melihat bagaimana perjalanan implementasi Perjanjian Paris. Global stocktake akan menjadi titik balik bagi semua negara untuk melihat bagaimana aksi mitigasi iklim selama ini dilakukan. Nanti hasil global stocktake bisa menunjukkan apa saja yang masih dibutuhkan oleh para pihak untuk memastikan aksi iklim bisa mencapai target Perjanjian Paris.
Apa yang dibawa Indonesia?
Di program mitigasi, kami tetap akan menyampaikan contoh leading by example Indonesia, baik untuk sektor kehutanan dan lahan (FOLU), energi, maupun yang lainnya. Kalau bicara isu krusial, kami akan mencermati hasil global stocktake pertama tadi. Kami berharap hasilnya bisa bermakna untuk menjadi basis penyusunan dan pembaruan aksi-aksi mitigasi.
Indonesia akan merevisi nationally determined contribution (NDC) lagi?
Mandat menyampaikan NDC yang baru sebelum 2025. Itu sudah keputusan COP dan Indonesia tidak menunggu COP28. Kami bahkan saat ini sedang menyusun NDC kedua.
Targetnya naik?
Target tidak boleh mundur. Kami tentu saja akan meningkatkan target dari yang sudah disampaikan di enhanced NDC. Indonesia sudah menaikkan dari NDC pertama. Kami mulai menyusun NDC kedua untuk persiapan 2025. Mudah-mudahan sebelum 2025 sudah bisa kita masukkan.
Apa agenda kedua setelah global stocktake?
Tentu saja mitigasi. Dalam COP27 ada putusan tentang Sharm el-Sheikh Mitigation Ambition and Implementation Work Programme. Kami berharap di COP28 bisa dibahas secara lebih detail. Karena di bawah program kerja mitigasi, sasarannya meningkatkan ambisi dan implementasi. Tapi kami juga harus mendesak agar komitmen atau janji menyediakan dukungan finansial, teknologi, peningkatan kapasitas untuk percepatan aksi mitigasi oleh negara berkembang harus ada.
Tahun ini memang ada mandat membicarakan transisi energi yang adil. Agenda ini penting untuk menjadi kata kunci, bukan hanya untuk energi, tapi juga konteks mitigasi secara keseluruhan. Harus ada program kerja yang memang nanti akan mendorong transformasi atau peralihan yang berkeadilan. Yang pasti, banyak negara menyampaikan agenda-agenda perubahan iklim ini tidak boleh menggantikan agenda-agenda pembangunan, misalnya penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan, karena penciptaan pekerjaan yang layak, pengurangan kemiskinan, dan sebagainya itu merupakan bagian yang tidak boleh dinomorduakan.
Dalam soal adaptasi, apa agendanya?
Di NDC kami meletakkan aspek adaptasi sama pentingnya dengan mitigasi. Di dalam agenda perundingan, terutama dalam Global Goal on Adaptation, ini akan difokuskan untuk menyusun kerangka kerja global tujuan adaptasi yang diharapkan nanti bisa diadopsi di Dubai. Kami berharap ada kejelasan target, indikator, ukuran, dan prioritas di setiap negara. Sebab, enggak mungkin kita hanya menentukan target tapi tidak tahu nanti indikator keberhasilannya seperti apa dan bagaimana dukungan menuju ke sana.
Termasuk pendanaan?
Ya. Bagi negara berkembang, kecukupan pendanaan itu faktor pemungkin.
Soal dana kerugian dan kerusakan iklim?
Pada COP27 sudah ditetapkan perjanjian pendanaannya, kemudian pendanaannya. Mandat COP28 adalah bagaimana membentuk komisi transisi yang akan melakukan koordinasi operasionalisasinya.
Indonesia akan melobi dana itu?
Harus ada kecukupan dulu dari sumber pendanaannya. Pendanaan ini sifatnya harus baru dan tambahan, jadi tidak mengganggu agenda yang lain.
Kenapa negara maju perlu menyediakan dana ini?
Mereka punya janji yang belum dipenuhi karena negara maju punya kewajiban mendukung negara-negara berkembang. Kami berharap ini dari dana publik, bukan dari dana swasta.
Apa proposal Indonesia?
Kalau kita bicara berdasarkan praktik, sebetulnya sejak COP26 dan COP27 kami selalu datang dengan semangat memimpin dengan memberi contoh. Jadi kami selalu memberikan contoh-contoh dan itu mungkin bisa terlihat di agenda-agenda di paviliun bagaimana kami menampilkan aksi-aksi mitigasi dan adaptasi para pemangku kepentingan, baik pemerintah, pemerintah daerah, swasta, maupun komunitas. Saat ini kami punya beberapa contoh, misalnya FOLU Net Sink 2030. Kami juga akan ada praktik di sektor energi. Satu yang baru diluncurkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Cirata dan ada upaya-upaya lain. Kami juga mungkin akan melaporkan kemajuan Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP).
Organisasi lingkungan menilai target NDC Indonesia masih konservatif. Apa tanggapan Anda?
Kenyataannya, Indonesia meningkatkan target menurunkan emisi tanpa menunggu bantuan-bantuan luar negeri.
Regulasi seperti Undang-Undang Cipta Kerja juga dikritik karena kurang sejalan dengan komitmen Perjanjian Paris....
Sebagai national focal point, kami enggak melakukan analisis itu. Saya tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Tapi saya cuma ingin menginformasikan, saat ini kami punya proses bagaimana penyusunan regulasi dan kebijakan ada penilaian dampak regulasi. Bahkan sekarang peraturan menteri sekalipun harus diharmoniskan antarkementerian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Indonesia Menurunkan Emisi tanpa Menunggu Bantuan Luar Negeri"