Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

tokoh

Peran Baru

GITA Gutawa, 25 tahun, sedang menikmati peran di belakang panggung.

16 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ayahnya, komponis Erwin Gutawa, menunjuk dia sebagai ketua tim kreatif konser Salute to 3 Female Songwriters: Melly Goeslaw, Dewiq, Dee Lestari di Tangerang, Banten, Sabtu dua pekan lalu.

Soprano dengan nama lahir Aluna Sagita Gutawa ini telah malang-melintang di dunia hiburan selama sepuluh tahun. Selain berolah vokal, dia menulis lagu, menjadi produser musik, dan bermain film. Menjadi bagian tim kreatif konser adalah tantangan baru bagi Gita.

Gita bercerita, sejak kecil, dia memang kerap mengikuti ayahnya mondar-mandir mengurus konser. Dia senang melihat proses dari nol menjadi pertunjukan musik yang megah. “Ketika benar-benar terlibat dalam pembuatan sebuah konser besar, rasanya seru banget,” ujarnya di Erwin Gutawa Music Center, Jakarta Selatan, Kamis tiga pekan lalu.

Apalagi, dia melanjutkan, sang ayah memberinya kebebasan menelurkan semua ide kreatifnya. Meski begitu, silang pendapat tetap tak terelakkan, di antaranya soal pemilihan lagu. “Aku merasa lagu Teh Melly yang ini tuh aku banget, mungkin karena lagu angkatan aku. Tapi Papa merasa yang lain lebih pas karena lagu angkatannya. Jadi karena faktor beda generasi,” ucap master lulusan London School of Economics ini.

Meskipun menikmati tugasnya sebagai orang belakang panggung, Gita belum terpikir sepenuhnya berada di balik layar. Disinggung soal lagu baru, Erwin yang buru-buru menjawab. “Tiga bulan lagi bikin album,” katanya, tertawa.


 

TEMPO/Hilman Fathurrahman W

 

Bosan Kritik PSSI

BEKERJA sebagai presenter siaran olahraga kerap Ibnu Jamil manfaatkan untuk menyalurkan kegerahannya terhadap persepakbolaan Indonesia. Dia sering memberikan masukan dan kritik kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. “Bukannya enggak nasionalis, tapi kita harus realistis,” katanya, akhir Januari lalu.

Lama-kelamaan Ibnu, 36 tahun, capek sendiri. Dia menyadari kritiknya tidak direspons dan prestasi sepak bola nasional terus terpuruk. Aktor yang membintangi 15 film layar lebar serta puluhan sinetron dan film televisi ini memilih cara lain. Bersama kawan-kawannya, antara lain Kurniawan Dwi Yulianto dan Supriyono Prima—punggawa tim nasional pada 1990-an—Ibnu mendirikan Yayasan Olahraga Anak Nusantara (YOAN). Yayasan ini berfokus membina anak yang berbakat sepak bola. Harapannya, bibit yang diasah sedari kecil ini akan memperbaiki kualitas sepak bola Indonesia.

Desember tahun lalu, YOAN menjaring 20 pemain cilik dari Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Rencananya, Ibnu melanjutkan, mereka akan dipertandingkan dengan tim dari negara lain di Singapura, April nanti. “Kami akan uji mereka di sana,” ujarnya.

 


 

 

TEMPO/Subekti

 

Kelebihan Sepatu

BIASA mengurus logistik pemungutan suara tidak menjamin logistik pribadi Arief Budiman beres. Ketua Komisi Pemilihan Umum ini mengalami overstock sepatu.

Sehari-hari Arief, 44 tahun, doyan mengenakan sepatu kets saat kerja. Dia kerap memadukannya dengan busana resmi, termasuk batik. Sepatu pantofel dia siapkan di mobil dan hanya ia kenakan dalam acara formal. Pria kelahiran Surabaya ini tidak memusingkan merek. Yang penting warnanya biru atau hitam, supaya mudah dipadupadankan dengan pakaian. Kedua, harus sepatu lari.

Alasannya, kesibukan pemilihan umum membuat agenda olahraganya berantakan. “Satu-satunya kesempatan saya untuk berolahraga adalah berjalan kaki di aktivitas pekerjaan,” ujar Arief kepada Tempo, tiga pekan lalu. Misalnya, saat menuju gerbang keberangkatan di bandar udara, dia memilih berlari kecil ketimbang menggunakan travelator atau mobil golf.

Masalah muncul setelah Arief tak henti membeli sepatu kets. Setiap kali berdinas ke luar negeri, dia pasti mampir ke toko sepatu. Walhasil, koleksinya menumpuk. Lemari sepatunya tak muat lagi, sehingga berbagai kasut dan boks berserakan di sekitar lemari itu. Dia cuma senyum-senyum saat ditanyai jumlahnya. Hatinya miris saat beres-beres dan menemukan sepatunya yang baru satu-dua kali dikenakan keburu rusak karena kelewat usang. Untuk mengatasi kelebihan stok ini, dia merelakan koleksinya berpindah tangan kepada kerabat yang mampir ke rumahnya. “Asal betul-betul dipakai dan dirawat,” kata Arief.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus