Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

tokoh

Rumah Empat Dekade

Akibat pandemi Covid-19, seniman ludruk Kartolo memutuskan menjual rumahnya. Demi masa depan lima cucunya.

18 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kartolo menawarkan rumahnya seharga Rp 8 miliar.

  • Rumah dua lantai milik Kartolo dibangun bertahap sejak 1984 di atas tanah seluas 440 meter persegi.

  • Meski tak separah teman-temannya, Kartolo ikut terdampak pandemi Covid-19 dan sempat ikut antre BLT.

KARTOLO sudah membulatkan niat. Setelah menimbang sejak 2010, pelawak dan pemain ludruk legendaris Jawa Timur itu memutuskan menjual rumahnya. Uang hasil penjualan akan ia gunakan untuk membelikan rumah bagi kelima cucunya. Kartolo, 76 tahun, ingin mulai menata masa depan para cucunya. “Mumpung saya masih hidup, supaya nantinya tidak gegeran (bertengkar),” tutur Kartolo kepada Tempo, Senin, 13 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak ada perabotan mahal di ruang tamu rumah Kartolo di Jalan Kupang Jaya I, Surabaya, itu. Ruangan yang cukup lapang tersebut hanya berisi seperangkat kursi serta rak kaca dengan berbagai penghargaan di dalamnya. Pada dindingnya yang dilapisi wallpaper putih bermotif bunga terpajang foto-foto Kartolo, sebagian ketika dia masih aktif bermain ludruk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdiri di atas lahan seluas 440 meter persegi, rumah dua lantai itu dibangun secara bertahap sejak 1984. Menurut Kartolo, lahan itu pemberian mertuanya setelah ia menikahi Kastini pada 1976. Waktu itu harga tanah per meter hanya Rp 30 ribu. Mula-mula Kartolo mendirikan rumah kecil di lahan sisi timur. “Namun setelah terpotong untuk pelebaran jalan, akhirnya saya membuat rumah yang lebih besar,” ujarnya.

Kartolo membiayai pembangunan rumah itu dari honor manggung dan rekaman. Pada awal 1980-an, ia berada di puncak kejayaan bersama grup lawaknya, Sawunggaling. Selain pertunjukan di panggung, ia keluar-masuk dapur rekaman Nirwana Record. Kartolo mengatakan bisa menerima sedikitnya 17 tawaran melawak dalam satu bulan. Adapun dari rekaman kaset ia melahirkan 90 album sepanjang 1980-1995.

Kartolo sedang berada di rumahnya. ANTARA/Hanif Nashrullah

Setelah mendiaminya hampir empat dekade, Kartolo memutuskan menjual rumah itu. Ia membuka harga jual Rp 8 miliar. Alasannya, selain bangunannya sudah bersertifikat hak milik, rumahnya jarang terkena banjir. “Sudah ada yang mengajukan penawaran Rp 6 miliar, tapi masih saya timbang-timbang,” ucapnya.

Kartolo dikaruniai tiga anak dari perkawinannya dengan Kastini. Anak sulung laki-lakinya meninggal saat masih kecil. Anak keduanya, Gristianingsih, juga meninggal pada 2017 karena sakit lambung. Anak bungsunya, Dewi Triyanti, tinggal bersama Kartolo. Gristianingsih memiliki tiga anak, sedangkan Dewi Triyanti memiliki dua anak. "Cucu saya yang tertua sudah mulai kuliah, yang paling kecil masuk sekolah menengah pertama," kata Kartolo.

Ia mengatakan banyak kenalannya yang tak percaya ia menjual rumah. Mereka mengira ia hanya guyon. Namun Kartolo meyakinkan ia sedang serius. Istrinya pun sudah setuju rumah itu dijual. “Dikira awak dhewe lagi ludrukan (dikiranya saya sedang bermain ludruk),” ujarnya, diikuti derai tawa.

Seperti para seniman lain di Surabaya, Kartolo tak memungkiri merasakan juga dampak pandemi Covid-19. Ia bahkan sudah tidak pernah mendapat tawaran manggung sejak awal 2020. Padahal sebelumnya ia masih menerima satu-dua pekerjaan melawak dalam satu bulan di Surabaya dan sekitarnya. Anak-anaknya melarang Kartolo manggung jauh ke luar kota karena alasan kesehatan.

Karena tak berpenghasilan, Kartolo dicatat oleh ketua rukun tetangga setempat sebagai penerima bantuan langsung tunai (BLT). Kartolo mengaku awalnya tidak mengetahui ia didata sebagai penerima bantuan, hingga akhirnya ketua rukun tetangga mendatangi rumahnya dan meminta Kartolo mengambil jatah bantuan tersebut ke kantor pos. “Kalau enggak salah, saya mengambil BLT itu empat kali, tapi tidak antre. Wong pas sepi,” tuturnya.

Untuk mengisi kekosongan pendapatan itu, Kartolo dan tim kreatifnya sejak dua bulan lalu membuat konten lawakan pendek untuk ditayangkan di kanal YouTube Cak Kartolo Channel. Menurut dia, pembuatan tayangan itu sebenarnya terlambat karena sudah banyak orang yang mengunggah isi kaset-kaset lawakannya ke YouTube dan menerima keuntungan dari situ. “Nama saya banyak dijual orang di medsos (media sosial), tapi saya baru bikin sendiri sekarang,” ujarnya.

Kartolo berharap ada sponsor yang melirik konten berdurasi 15-25 menit buatannya sehingga bisa memberikan pemasukan. Meski sudah mengunggah hampir 30 tayangan, sejauh ini belum ada sepeser pun yang diterimanya dari kanal YouTube-nya tersebut. Jumlah pengikut di saluran berbagi video yang mencapai lebih dari 9.000 tersebut ternyata juga tak banyak membantunya.

Kolega Kartolo sesama seniman ludruk, Lupus Arboyo, tidak kaget mendengar Kartolo ingin menjual rumah untuk para cucunya. Menurut dia, Kartolo dalam berkesenian memang tidak punya keinginan selain mencari nafkah untuk anak-istri. Jadi, sejak awal, ia meyakini tujuan Kartolo menjual rumah bukan karena alasan terpuruk akibat tidak ada tawaran pentas.

Lupus mengatakan Kartolo tetap pelawak tradisional nomor satu di Surabaya walaupun sudah senior. Ukurannya, order pentas masih ada kendati tidak seramai dulu. Nama besar Kartolo masih menjual. Ini berbeda dengan seniman-seniman ludruk yang sudah tidak manggung karena memang tidak ada tawaran sama sekali selama bertahun-tahun. “Kalau Kartolo sebagai maestro saja menjual rumah karena alasan tidak punya uang akibat pandemi, lha terus nasib seniman-seniman tradisional di bawah Kartolo kayak apa? Kan, lebih parah,” Lupus berujar.

Kartolo mengatakan sebenarnya merasa berat menjual rumahnya. Apalagi bila ia mengingat sejumlah mendiang koleganya sesama seniman ludruk yang dulu sering berkumpul di rumahnya, seperti Markeso, Basman, Munawar, dan Sokran. Bahkan seniman luar kota yang mendapat tawaran manggung di Surabaya pun beberapa kali menginap di rumah Kartolo untuk menghemat ongkos.

Kartolo sudah memantapkan hatinya. Masa depan cucu-cucunya menjadi pertimbangan utama. Bagi Kartolo, ia hanya hanya ingin membahagiakan cucu. “Kalau sudah jadi simbah (kakek) pasti tahu rasanya,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus