Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Merlinda Dessy Arantji Adoe: Permainan Lapisan Emosi Orpha

Merlinda Dessy Arantji Adoe berhasil membawakan peran dengan kedalaman yang sulit dimainkan. Pendatang baru yang cemerlang.

28 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEUSAI pemutaran film Women from Rote Island di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2023, November tahun lalu, Merlinda Dessy Arantji Adoe dihampiri seorang penonton yang sesenggukan. Merlinda, pemeran utama film tersebut, pun terheran-heran. “Ternyata dia terbawa emosi saat melihat masalah beruntun yang dialami Orpha. Kok, bisa ada orang yang hidupnya begitu?” kata Merlinda kepada Tempo, 8 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Merlinda, kehidupan tokoh yang ia perankan dalam film Women from Rote Island memang penuh kemalangan. Belum lama ditinggalkan suaminya yang wafat, Orpha—perempuan Rote yang diperankan Merlinda—dihadapkan pada kondisi serba buruk. Putri sulungnya, Martha (Irma Novita Rihi), menjadi korban pelecehan seksual, tapi ia malah harus membayar ganti rugi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum selesai di situ, putri bungsunya, Bertha (Keziallum Ratu Ke), yang selama ini menemaninya untuk membayar ganti rugi juga mendampingi sang kakak yang dilanda depresi dan kembali mengalami kekerasan seksual, tiba-tiba menghilang. Dia ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. “Memang sangat malang, tapi ia tetap harus berjuang mencari keadilan bagi anak-anaknya,” tutur Merlinda.

Tradisi adat yang berlaku seakan-akan tak berpihak sama sekali kepada Orpha dan kedua putrinya. Bahkan, begitu rentetan musibah menimpanya, orang di sekelilingnya menyebutnya mendapat petaka akibat melanggar adat karena ke luar rumah saat mendiang suaminya belum dimakamkan. Belum lagi pemakaman suaminya ia tunda karena menunggu kepulangan Martha yang bekerja sebagai tenaga kerja ilegal di negeri jiran.

Dengan alur cerita seperti itu, nyaris tak pernah ada segurat pun senyum terlukis di wajah Orpha. Sepanjang film, Orpha cenderung menunjukkan wajah sedih yang di dalamnya turut berkecamuk amarah dan penyesalan. “Mungkin ada 75 persen menangis atau bersedih. Atau menangis karena marah,” ucap perempuan 44 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai aparatur sipil negara di Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, ini.

Bahkan, saat pertama kali menjalani pengambilan gambar untuk teaser film tersebut, ia diminta sang sutradara, Jeremias Nyangoen, untuk menangis. “Itu pertama kalinya saya harus beradegan di depan kamera,” kata Merlinda.

Saat berlatih membangun karakter dan suasana, Merlinda mengaku sudah bisa menangis. Namun, begitu pengambilan gambar dimulai, semua yang telah ia latih buyar begitu saja. “Begitu berhadapan dengan kamera, hilang total. Sampai aku tuh sempat bertengkar sama sutradara,” ujarnya. Bahkan, Merlinda menambahkan, ia sampai meminta sutradara mengganti pemeran utamanya.

Jeremias kemudian meminta Merlinda mengingat pengalaman masa lalu. Kebetulan, Merlinda bercerita, memang ada beberapa kisah hidupnya yang mirip dengan yang dialami Orpha, walau tak sepelik dan seberat Orpha. “Sutradara menyuruh saya mengingat masa lalu dan pengalaman pernah disakiti. Tapi kan itu sudah selesai. Saya sudah berdamai dengan masa lalu saya,” tuturnya, kemudian tertawa. “Saat itu saya benar-benar tak punya alasan untuk menangis.”

Merlinda Dessy Arantji Adoe di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 10 Januari 2024. Rizal Saputra Djaha

Hingga akhirnya Merlinda menemukan caranya sendiri. Sebagai seorang ibu, ia membayangkan bagaimana jadinya kalau nasib yang dialami kedua putri Orpha itu menimpa anak-anaknya sendiri. Ia pun batal mundur dari film produksi perdana PH Langit Terang Sinema tersebut.

Merlinda terlibat dalam film perdana karya Jeremias ini atas dorongan pimpinannya di kantor Kecamatan Rote Timur. Saat itu tersiar kabar dari Dinas Pariwisata soal open casting untuk film yang akan syuting di Rote. “Saya diminta mendaftar dan ikut casting sampai didatangi ke rumah,” kata Merlinda. Akhirnya Merlinda pun mau mencoba.

Siapa sangka, peran itu menjadi milik Merlinda. Ia pun mengikuti proses persiapan syuting bersama pemain lain dan kru film tersebut. Mereka tinggal bersama di sebuah rumah susun selama tiga bulan. “Selama di sana, saya sudah bukan Linda lagi. Saya adalah Orpha. Begitu pula pemain yang lain.”
Karena keterlibatannya di film ini didukung atasannya sendiri, Merlinda yang saat itu pegawai di bagian umum kepegawaian di kantor Kecamatan Rote Timur mendapat dispensasi. Hampir semua pemain di film Women from Rote Island adalah warga lokal di sekitar Pulau Rote dan Kupang. Sebagian besar, menurut Merlinda, sama seperti dia, baru pertama kali bermain peran untuk sebuah film panjang. Namun kesempatan untuk berlatih bersama dan terus-menerus membuat semua aktor bisa mendalami peran dengan baik.

Syuting film Women from Rote Island berlokasi di Batu Termanu, Kecamatan Rote Tengah, Kabupaten Rote Ndao. Sepanjang masa persiapan syuting, Merlinda kerap berlatih mengeksplorasi lapisan emosi Orpha. Ia belajar untuk bersedih tanpa mengeluarkan air mata. Atau bersedih yang sebetulnya menekan amarah.

Ia juga kerap menghabiskan banyak waktu dengan Irma Novita Rihi dan Keziallum Ratu Ke (pemeran Martha dan Bertha). Di waktu lain, Merlinda memilih menarik diri agar bisa mendalami emosi Orpha. “Orpha ini tidak emosional. Jadi kalau marah, sedih, dia banyak menekan itu semua.”

Hampir dalam tiap pengambilan gambar, adegan yang diambil dari Merlinda adalah menangis dan bermain mimik. Ada momen ia harus merenung dan mengalami kesulitan karena diminta tidak mengerutkan dahi. “Ini kan suka otomatis, ya. Saya saja enggak sadar kalau dahi berkerut,” ujarnya. “Itu saja take-nya bisa berulang-ulang.”

Salah satu juri menilai peran yang dimainkan Merlinda dalam film tersebut sangat sulit. Terutama dengan pengalaman peran yang belum pernah ia mainkan. Belum lagi perannya menggambarkan dan menekankan lamentasi ratapan-ratapan yang menunjukkan bagaimana sulitnya perempuan bersuara dan membela diri di tengah tradisi adat.

Karena itu, tak ada waktu bagi Orpha untuk menangis meratapi nasib buruk yang ia dan kedua putrinya hadapi. Ia harus tegar dan mencari jalan membela diri dan memperjuangkan keadilan bagi anak-anaknya yang menjadi korban kejahatan seksual. 

Untuk perannya itu, para juri Film Pilihan Tempo menobatkan Merlinda Dessy Arantji Adoe sebagai Aktris Pilihan Tempo 2023. Dalam proses seleksi, Merlinda bersaing ketat dengan sejumlah aktris lain, seperti Sha Ine Febriyanti yang memerankan Bu Prani dalam film Budi Pekerti, Nirina Zubir yang berperan sebagai Hana dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-film, dan Asha Smara Darra sebagai Sara dalam film Sara.

Women from Rote Island berjaya dalam Festival Film Indonesia 2023 dengan memenangi semua kategori yang mencatatnya sebagai nomine, yaitu Film Cerita Panjang Terbaik, Sutradara Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik, dan Pengarah Sinematografi Terbaik. Film ini tayang perdana secara global di Busan International Film Festival, Korea Selatan, 7 Oktober 2023. Film Women from Rote Island juga diputar di Jakarta Film Week 2023 dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2023.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus