Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Bagaimana Grup Djarum Membesarkan Klub Como 1907 hingga Masuk Seri A

Como 1907 bangkit dari kebangkrutan jadi penghuni Seri A setelah dibeli Grup Djarum. Mengandalkan pemasukan dari luar lapangan.

3 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Grup Djarum milik keluarga Hartono mengangkat Como 1907 dari kebangkrutan di Seri C ke Seri A, kasta tertinggi liga sepak bola Italia, hanya dalam lima tahun.

  • Akuisisi itu pada awalnya dilakukan hanya untuk materi konten tayangan televisi tentang dokumentasi pengelolaan klub sepak bola.

  • Sementara Cesc Fàbregas memimpin pasukan Como 1907 di Seri A, manajemen terus mengembangkan bisnis di luar lapangan.

POTONGAN Roberto Radaelli tidak seperti anggota ultras. Ultras adalah sebutan bagi kelompok pendukung garis keras klub atau tim sepak bola. Mengenakan jins robek dan sweter Como 1907 lawas, pria 46 tahun ini mengayuh sepeda gunung untuk pergi ke stadion. Dari kejauhan, dia melambaikan tangan kepada saya yang telah menunggunya di parkiran supermarket di seberang Stadio Giuseppe Sinigaglia, Como, Italia. “Saya sekarang lebih suka naik sepeda ke kota. Lebih gesit,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senyum Radaelli seperti tertahan. Dia berusaha menyembunyikan hasil pertandingan beberapa jam sebelumnya. Hari itu, Sabtu, 14 September 2024, Como 1907 menyia-nyiakan peluang menang atas Bologna. Unggul 2-0 hingga menit ke-76, klub milik Grup Djarum itu harus puas dengan skor imbang 2-2. Padahal itu bisa menjadi kemenangan perdana mereka di Seri A setelah 21 tahun absen. Como 1907 baru memetik poin penuh di kandang Atalanta pada pekan berikutnya dan kini menempati papan tengah liga sepak bola nomor wahid Italia tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari itu saya berkesempatan menyaksikan pertandingan Como, klub yang dibeli keluarga Hartono pada 2019. Editor media Como 1907, Rahadyan “Adit” Amandita, mengenalkan saya kepada Radaelli. “Dia bisa bahasa Inggris,” tutur Adit, pria asal Malang, Jawa Timur, yang bekerja untuk Como Calcio sejak 2022. Kendati Italia berpredikat negara maju dengan produk domestik bruto urutan kesembilan di dunia, hanya sedikit orang-orangnya yang bisa berbahasa Inggris, termasuk generasi muda mereka.  

Kami berjanji bertemu seusai pertandingan. Radaelli tinggal di Orsenigo, 30 menit dari pusat Kota Como. Dia melanjutkan bisnis tanaman warisan keluarganya yang punya pasar cukup besar di seluruh Italia. Radaelli lalu mengajak saya ke bar langganan suporter kawak Como, Il Birratrovo. Jarak tempuhnya setengah jam berjalan kaki dari stadion.

Para suporter memperlihatkan gelas berisi bir La Comasca milik klub Como, di Italia. Rahadyan Amandita/Como 1907

Kami melewati Como Duomo (Katedral Como). Inilah ikon Como, kota di tepi Danau Como, Italia bagian utara, yang berbatasan dengan Swiss dan Pegunungan Alpen. Secara geografis, kota itu masuk Provinsi Lombardia.

Di plaza katedral itu berdiri gagah patung Alessandro Giuseppe Anastasio Volta, fisikawan Italia penemu baterai listrik pada 1799 yang lahir di Como. Beberapa jam setelah pertandingan Como versus Bologna pada pertengahan September itu, restoran, kafe, dan bar di kawasan tersebut masih tampak penuh pengunjung yang kebanyakan turis. 

Dalam perjalanan menuju bar, Radaelli bercerita tentang klub kebanggaannya itu. Dia rutin menonton Como berlaga di stadion sejak berumur lima tahun, diajak ayahnya. Kendati klub jagoannya gagal menang sore itu, dia tetap girang. Sebab, Como akhirnya kembali ke liga teratas di Italia setelah terakhir kali tampil pada 2003, saat dia masih berusia 25 tahun. “Pada November tahun lalu, Mirwan (Mirwan Suwarso, Presiden Como) bilang mereka ingin membawa Como ke Seri A. Waktu itu saya masih belum percaya,” ujar Radaelli, yang akrab disapa Robi, mengenang gala dinner yang digelar klub tersebut ketika masih berada di Seri B. 

Beberapa orang menyapa Radaelli di sepanjang jalan menuju bar. Seorang pria berkostum prajurit Abad Pertengahan bernyanyi dengan lantang dan lalu tersenyum melirik Radaelli. Dia bersama “prajurit-prajurit” lain baru selesai mengikuti Palio del Baradello, pawai bersejarah yang digelar setiap akhir Agustus hingga pertengahan September. Dia menggambarkan masuknya Kaisar Friedrich I “Barbarossa” dari Swabia—daerah barat daya Jerman era Kekaisaran Romawi Suci—ke Como pada 1159 untuk membebaskan kota itu dari penguasaan Liga Lombard (aliansi kota-kota Italia utara) yang berpusat di Milan. 

Il Birratrovo sudah penuh pengunjung ketika Radaelli dan saya tiba di bar itu. Dia kemudian menuju meja bartender, memesan dua gelas bir lokal berjenis India pale ale alias IPA. “Kami ngumpul sebelum dan setelah pertandingan,” ucap Radaelli. 

“Tapi kami sebetulnya bukan ultras,” kata Daniel, suporter lain, menimbrung. Pria berusia akhir 30-an tahun itu menunjukkan fotonya di tribun stadion. Dia menunjuk posisi regulernya di tribun, yaitu pojok atas belakang gawang. Para suporter garis keras biasa menempati barisan kursi di belakang gawang.

Di usia paruh baya, Radaelli mengaku tak sekeras dulu dalam mendukung Como. Kendati tak pernah melewatkan satu pun laga, dia kini selalu menghindari keributan dengan suporter lawan. “Saya kehilangan lisensi mengemudi karena dia,” ujar Radaelli menunjuk ke arah Daniela, perempuan yang juga suporter Como. Rupanya, ini alasan sebenarnya dia bersepeda ke stadion. 

Radaelli dan Daniela pernah berpacaran. Kini mereka tetap berteman karena disatukan oleh Como 1907. “Sejujurnya, saya lebih suka ketika Como masih di Seri C,” tutur Daniela. “Sebab, setelah masuk Seri A, butuh dua jam untuk sampai ke stadion.”

Radaelli langsung menyergah. “Dia belum lama mendukung Como. Dulu dia mendukung Inter Milan. Sama seperti pacarnya sekarang. Sama seperti kamu juga,” kata Radaelli, yang tahu saya pendukung Inter Milan, klub raksasa Italia yang sama-sama berlokasi di Lombardia dan berjarak tempuh kurang dari satu jam perjalanan mobil. Kami terbahak bersama.

Keakraban pengunjung bar tua itu menjadi gambaran kebersamaan suporter Como. Pada awal Oktober 2024, foto Radaelli dan Daniela berjalan-jalan menikmati sudut Kota Napoli saat mendukung Como yang bertandang ke kandang SSC Napoli diunggah Mirwan Suwarso di akun Instagram-nya.

Begitulah cara Grup Djarum mengelola Como 1907: melibatkan orang lokal sebanyak-banyaknya. “Banyak ultras yang gue hire jadi karyawan. Banyak yang bantu jualin tiket hingga bantu promosi,” ucap Mirwan, perwakilan Djarum di Como 1907, kepada Tempo di kantor Como pada Sabtu, 14 September 2024. 

Setelah berhasil membawa Como kembali ke Seri A, Djarum punya rencana yang lebih besar untuk klub kecil yang mereka beli dalam kondisi bangkrut itu. Menargetkan valuasi klub hingga US$ 1 miliar, Mirwan mengungkapkan, Djarum berancang-ancang membangun stadion baru di lokasi stadion saat ini. 

Stadion anyar itu, dia melanjutkan, bakal punya belasan restoran yang menghadap langsung ke Danau Como. Deretan unit usaha itu akan membuat stadion mereka bisa beroperasi selama 365 hari dalam setahun, meski tidak ada pertandingan. Di kota pariwisata tersebut, Djarum akan membangun klub sepak bola dengan cara yang tidak konvensional, yaitu tidak hanya mengandalkan pemasukan dari aktivitas olahraga, tapi juga dari pariwisata dan fashion

•••

MIRWAN Suwarso berkeliling Stadio Giuseppe Sinigaglia, sehari sebelum laga Como versus Bologna, Sabtu, 14 September 2024. Laga melawan Bologna itu adalah pertandingan kandang perdana mereka di Seri A musim 2024-2025. Terakhir kali Como menjadi tuan rumah laga Seri A adalah pada 24 Mei 2003 atau 21 tahun silam.

Bangku-bangku di tribun naratama (VIP) masih terbungkus plastik. Ruang makan belum selesai didekorasi. Tirai dan kursi-kursinya berwarna merah marun. Ada lukisan besar di langit-langit. Rencananya, Mirwan menjelaskan, ruangan itu kelak dipakai untuk menjamu penonton atau tetamu naratetama (VVIP). Salah satunya partner Djarum di Como, Rhuigi Villaseñor, pendiri Rhude, produk fashion asal Los Angeles, Amerika Serikat. “Rhuigi mau masuk jadi pemegang saham. Ruang VIP ini akan jadi tempat buat tamunya. David Beckham juga pasti datang jika sudah begitu,” kata Mirwan. 

Setelah Como meraih promosi ke Seri A pada musim ini, Mirwan mengungkapkan, Djarum bersama mitra-mitranya langsung berinvestasi besar-besaran. Ihwal skuad, ada sepuluh pemain baru. Pembelian termahalnya adalah Alberto Dossena, bek yang didatangkan dari Cagliari dengan mahar 8 juta euro—sekitar Rp 136 miliar. Mereka juga menebus pemain muda Real Madrid, Nicolás Paz, senilai 6 juta euro atau Rp 102 miliar dan Emil Audero Mulyadi, kiper keturunan Indonesia, dari Sampdoria dengan harga kurang-lebih sama.

Seorang suporter Como mencegat Mirwan Suwarso (kanan) di depan Stadio G. Sinigaglia, Como, Italia, Jumat, 14 September. Tempo/Khairul Anam

Hadir pula mantan bintang Barcelona, Sergi Roberto. Meski berstatus bebas transfer, dia bergaji gemuk dan dikontrak dua tahun. “Gap Seri B dengan Seri A itu tinggi banget. Jadi kami harus overspend di tahun ini,” ujar Mirwan. 

Banyaknya muka baru menghadirkan tantangan tersendiri. Menurut Direktur Olahraga Como Carlalberto Ludi, sebagai tim promosi, mereka membutuhkan waktu lima-tujuh pekan untuk beradaptasi dengan ekosistem Seri A. Ludi punya pengalaman promosi ke Seri A sebagai pemain Novara pada musim 2011-2012. Menurut dia, Seri B dan Seri A tidak hanya berbeda dalam soal kualitas permainan, tapi juga banyak hal di luar lapangan. Di antaranya sorotan media. 

“Segalanya berbeda,” tutur Ludi ketika ditemui Tempo di ruang kerjanya di stadion Como, Jumat, 13 September 2024. “Dalam urusan teknik, ada enam-tujuh klub di Seri A yang punya level berbeda. Tapi, sisanya, kami bisa bersaing. Apalagi Cesc adalah pelatih yang sangat bagus.” Cesc Fàbregas, mantan bintang Arsenal dan Barcelona, adalah pelatih kepala Como 1907. 

Investasi besar-besaran juga menjalar ke tim muda. Menurut Dani Suryadi, asisten pelatih Kurniawan Dwi Yulianto di tim usia di bawah 17 tahun (U-17), Como membeli banyak pemain muda dari sejumlah klub di dalam dan luar Italia. Satu talenta baru mereka adalah Najemedine Razi, 17 tahun, yang direkrut dari Shamrock Rovers asal Irlandia. “Banyak banget yang baru,” ucap pria asal Bandung itu di apartemennya yang jembar di pusat Kota Como. 

Selain untuk gaji dan belanja pemain, pengeluaran terbesar Como beberapa tahun ini adalah biaya mendandani infrastruktur klub. Satu proyek terpenting mereka adalah pembelian lahan untuk pusat latihan klub di Mozzate. “Tidak jauh dari tempat latihan Inter Milan di Appiano Gentile, Como,” kata Mirwan. “Kami mau beli lagi buat tim junior. Nanti digabung.”

Mirwan masih tak menyangka dia menjadi orang kepercayaan Djarum untuk mengendalikan satu bisnis terpenting keluarga tersebut di luar negeri, SENT Entertainment. Djarum mulanya menebus Como pada 2019 hanya untuk kebutuhan konten Mola TV. Mereka hendak membuat program dokumenter tentang pengelolaan klub sepak bola dari level terendah. Waktu itu mereka menebus Como 1907 yang bangkrut seharga euro 850 ribu atau sekitar Rp 14,4 miliar.

Dua musim di Seri C, Como naik kasta ke Seri B pada 2021. Baru pada musim kedua Como di Seri B, pada 2022, Mirwan sadar bahwa kiprah klub itu tak bisa lagi dianggap sebagai tayangan televisi belaka. “Biayanya sudah terlalu besar hanya untuk konten,” ujar Mirwan. 

Cesc Fabregas dalam sesi wawancara sebelum laga Como vs Bologna di Como, Italia, 15 September 2024. Tempo/Khairul Anam

Mereka mengontrak Cesc Fàbregas pada Agustus 2022. Skemanya menarik. Datang dari Monaco di liga Prancis, dia tidak hanya menjadi pemain, tapi juga menanam saham di Como. Dia sempat menjabat pelatih sementara menggantikan Moreno Longo pada Oktober 2023, lalu menjadi asisten pelatih Osian Roberts yang memimpin Como menempati posisi kedua Seri B musim 2023-2024 sehingga mendapatkan jatah promosi langsung ke Seri A. 

Menurut Mirwan, keberhasilan Como menembus Seri A tak lepas dari upaya manajemen mengelola klub dari hal terkecil. Manajemen mula-mula membenahi sumber daya manusianya.  

Ketika Djarum datang, klub itu hanya punya lima karyawan. Kini jumlah pekerjanya sekitar 200. Di antara mereka, ada orang Indonesia seperti Rahadyan Amandita dan Hudi Sukarma sebagai editor media, Carvey Sando (produser), Dani Suryadi (pelatih tim muda), juga eks penyerang tim nasional, Kurniawan Dwi Yulianto (pelatih kepala U-17). 

Banyaknya orang Indonesia itu memantik pertanyaan: kapan Como 1907 merekrut pemain Indonesia? Soal ini, ada ganjalan, yaitu kuota pemain non-Uni Eropa. Setiap klub di liga profesional negara-negara Uni Eropa hanya boleh mengontrak tiga pemain non-Uni Eropa. Aturan ini berlaku di semua kelompok umur. Di Como, kuota itu telah terpenuhi. “Kalau ada pemain Indonesia yang sudah layak dan bagus, dengan senang hati kami ambil,” ucap Mirwan.

•••

KETIKA membeli Como lima tahun lalu, Djarum tahu potensi klub ini bukanlah sejarah prestasi olahraga atau jumlah penonton mereka. Como bukanlah klub besar. Total penduduk kotanya hanya 85 ribu pada 2024. Angka itu hampir sama dengan jumlah penonton yang memadati Stadion San Siro untuk mendukung Inter Milan atau AC Milan setiap pekan.

Potensi terbesar klub ini, Mirwan Suwarso melanjutkan, ada di utara Stadio Giuseppe Sinigaglia, yaitu Danau Como. “Lo bisa beli klub bola mana pun,” kata Mirwan. “Tapi lo enggak bisa beli danau, taruh di sebelah stadion, lalu menjadikannya obyek penghasilan klub.”

Kendati tak sebesar Danau Garda di sebelah timur, Danau Como adalah danau terpopuler di Italia—bahkan di Eropa. Letaknya strategis, di jalur utama yang menghubungkan Italia dengan Swiss, Jerman, dan Prancis. Kombinasi keindahan danau, bangunan bersejarah, dan akses yang mudah—didukung jaringan kereta api yang memadai—membuat Como menjadi salah satu tujuan wisata utama Italia. 

Sepanjang tahun lalu, Como menjadi kota ketiga yang paling banyak dikunjungi di Provinsi Lombardia. Jumlah pengunjung menginap (overnight) kota itu mencapai 4,6 juta orang. Como hanya kalah dari Brescia yang mencatatkan 13,1 juta pengunjung dan Milan dengan 18,8 juta pengunjung. Milan adalah kota kedua di Italia yang paling banyak dikunjungi turis setelah Roma. “Como sekarang penuh sesak, terutama setelah George Clooney membeli properti di sini,” ucap Roberto Radaelli. Aktor besar dari Amerika Serikat itu membeli Villa Oleandra, rumah abad ke-18 di tepi danau, dari keluarga Heinz seharga 7 juta euro atau sekitar Rp 119 miliar pada 2002.

Namun potensi besar itu belum tergarap oleh pemilik lama Como 1907, Comune di Como atau Pemerintah Kota Como. Stadio Giuseppe Sinigaglia, misalnya, tak pernah tersentuh pengembangan berarti sejak rampung dibangun pada 1927 di era Benito Mussolini. 

Mirwan mengatakan manajemen telah mengajukan permohonan izin untuk mendapatkan hak pengelolaan kawasan stadion tersebut dengan skema bangun-operasi-serah (BOT) selama 99 tahun. Pemerintah kota, dia mengungkapkan, sudah menyetujui permohonan tersebut. 

Nantinya, keluarga Hartono membangun stadion dengan 14 restoran di lokasi tersebut tanpa menghancurkan fasad lama yang sudah menjadi situs sejarah. Grup Djarum, Mirwan melanjutkan, bakal mengandalkan pemasukan dari rumah-rumah makan itu buat klub di luar hasil penjualan tiket dan hak siar televisi. “Ini akan jadi tempat hangout paling trendi di Como,” ujar Mirwan. “Pemandangannya langsung ke danau.” 

•••

COMO mengawali kiprahnya di Seri A musim 2024-2025 dengan mendatangkan bek bintang Prancis, Raphaël Varane, yang tidak memperpanjang kontraknya di Manchester United. Ini transfer yang mengejutkan karena usia Varane belum uzur, masih 31 tahun. 

Namun nasib nahas menimpa peraih medali juara Piala Dunia bersama Prancis pada 2018 dan empat Liga Champions bareng Real Madrid itu. Tampil dalam laga persahabatan melawan Sampdoria pada 12 Agustus 2024, Varane harus menepi di menit ke-23 karena cedera lutut. Namanya kemudian tak masuk daftar skuad klub untuk musim 2024-2025.

Pada 25 September 2024, Varane mengumumkan gantung sepatu. Tapi dia tidak ke mana-mana. Seperti halnya Cesc Fàbregas, Varane datang bukan hanya sebagai pemain, tapi juga investor. “Varane ingin terlibat di proyek kami yang lain,” kata Mirwan Suwarso.

Pemain Como 1907, Nico Paz, saat bertanding melawan Parma dalam Liga Seri A Italia di Giuseppe Sinigaglia stadium di Como, Italia, 19 Oktober 2024. Antonio Saia/LaPresse

Menurut Mirwan, Como kini punya sepuluh lini usaha dan terus berkembang. Di bidang mode, mereka punya empat merek. Ada pula bisnis digital, platform pemasaran, analisis data, sekolah sepak bola internasional, properti stadion, media, dan pabrik bir. “Kami baru mengakuisisi bir lokal, La Comasca, tahun lalu,” ujar Mirwan. 

Merek ini kemudian menjadi bir satu-satunya yang dijual di stadion dalam pertandingan kandang Como. Harganya 5 euro per gelas. Di Italia, seperti kebanyakan negara Eropa lain, bir adalah minuman favorit penonton selama di gelanggang. Bir yang filtrasinya menggunakan kain sutra itu juga menyasar pasar ekspor, terutama Amerika Serikat. 

Model bisnis aneka pemasukan inilah, Mirwan melanjutkan, yang menarik banyak pesohor sepak bola, mode, dan lainnya untuk ikut menanamkan modal di Como bersama keluarga Hartono. Di antaranya Thierry Henry, mantan penyerang legendaris Arsenal dan Prancis; Rhuigi Villaseñor; serta Daniel Ek, co-founder dan Chief Executive Officer Spotify. 

Menurut Mirwan, sulit bagi sebuah klub sepak bola jika semata mengandalkan pemasukan dari lapangan. “Klub bola itu fluktuatif. Mungkin hanya Manchester United yang prestasinya naik-turun tapi pemasukannya jalan terus,” ucapnya. 

Roberto Radaelli, Daniel, dan Daniela sudah paham akan rencana manajemen dalam mengelola klub kesayangan mereka, Como 1907. Menurut Radaelli, manajemen kerap berkomunikasi dengan kelompok suporter untuk menjelaskan agenda kerja mereka. “Kami tahu mereka (keluarga Hartono) orang terkaya di negaramu,” katanya. “Jadi kami percayakan kepada mereka. Yang penting, kalau mau bikin stadion, harus di sini, di tengah kota kami. Tidak di mana-mana.” 

Menurut Mirwan, Djarum pun sudah menyampaikan rencana mereka kepada para pemegang saham minoritas, termasuk Henry, Fàbregas, dan Varane. Komunikasi itu mencakup perihal skema penambahan modal jika perlu tanpa menarik utang. Namun Mirwan hanya menggeleng saat ditanyai sampai kapan keluarga Hartono menetap di Como 1907. “Di Djarum, setahu saya, kalau bisnisnya menguntungkan, pasti enggak dijual lagi.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Agenda Panjang Keluarga Hartono di Como"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus