Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARAPAN bagi Indonesia yang lebih baik pernah meluap-luap menjelang Reformasi 1998. Tapi harapan itu memudar dengan cepat. Apa yang salah atau kurang? Apakah yang salah bisa dihindarkan dan yang kurang diatasi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekecewaan menyusul ledakan sosial sudah berkali-kali terjadi dalam sejarah Indonesia ataupun di banyak negara lain. Sebelum Reformasi 1998, pernah ada dua gejolak sosial yang lebih dahsyat: revolusi kemerdekaan (1945-1949) dan alih kuasa dari otoritarianisme progresif kekiri-kirian ke otoritarianisme garis keras kanan (1965-1967). Tiap peristiwa memakan korban rakyat dalam jumlah besar. Luka bangsa dari masa itu tak pernah benar-benar pulih. Di balik kisah pilu itu, mereka yang mendukung perubahan berharap tercipta keadaan dan masyarakat yang lebih baik. Sayang, dalam waktu singkat harapan itu rontok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah serupa sering terjadi di negara-negara Asia. Harapan menggebu akan perubahan dan kekecewaan. Pada 1980-an, militansi gerakan mahasiswa Korea Selatan pernah memukau rekan-rekannya di Asia. Kini masa itu nyaris lenyap dalam ingatan publik. People's Power Filipina 1986 berhasil menjatuhkan Marcos. Dinasti Marcos lalu merebut kembali istana negara melalui pemilihan umum 2022. Reformasi Malaysia terseok-seok ketika reformasi Indonesia gegap gempita. Hingga hari ini rakyat Myanmar masih sulit melawan rezim militer hasil kudeta. Pada pertengahan Mei lalu, rakyat Thailand memberikan mandat besar kepada koalisi partai yang menolak pemerintah hasil kudeta militer. Wajar harapan rakyat melambung, tapi belum jelas apakah dan kapan harapan itu terwujud.
Berbagai kisah itu memberi dua pelajaran penting. Pertama, perjuangan kerakyatan demokratis di mana pun merupakan proses panjang dan berliku. Jarang proses itu berjalan mulus, dengan hasil berusia panjang. Sesekali perjuangan itu diselingi keberhasilan memukau yang dirayakan besar-besaran. Yang lebih sering terjadi, peristiwa memukau itu hanya membawa dua atau tiga langkah perbaikan, lalu terpukul mundur lagi satu atau dua langkah ke belakang. Jika kemudian disusul kemajuan satu-dua langkah lagi, ia lalu terdesak mundur dua atau tiga langkah ke belakang.
Maka, tidak adil jika kita menuntut Reformasi 1998 membuahkan hasil "sekali jadi" untuk selamanya. Bukan masalah jika perubahan Indonesia pasca-1998 sangat terbatas pada tahun pertama atau kedua. Yang jadi masalah jika hasil awal itu tidak kunjung bertambah pada belasan atau puluhan tahun selanjutnya, sedangkan hasil awal yang pernah ada keburu layu. Butuh kesiapan, kesigapan, dan kemampuan mempertahankan apa yang pernah dicapai, betapapun kecilnya, dan menapaki langkah-langkah strategis berjangka panjang untuk mencapai hasil yang lebih jauh pada tahun-tahun selanjutnya. Tanpa semua itu, hiruk-pikuk Reformasi 1998 hanya letupan sesaat, walau gegap gempita.
Pelajaran kedua terkait dengan yang pertama tadi. Karena perjuangan kerakyatan menuntut napas panjang, butuh kerja kolektif banyak pihak yang terorganisasi dengan strategi dan visi jauh ke depan. Ledakan militansi massa yang spontan dan tidak terorganisasi sering kali memberikan sumbangan penting pada masa kritis. Begitu juga pesona karismatik tokoh-tokoh individual. Tapi semua itu tidak dapat diandalkan dalam perjuangan berjangka panjang yang meletihkan sesudah hiruk-pikuk pergolakan sosial mereda dan kehidupan masyarakat kembali ke dalam rutinitas.
Setelah Reformasi 1998, banyak aktivis prodemokrasi kemudian menjadi bagian dari kekuasaan pasca-Orde Baru. Hampir semuanya dicemooh publik setelah mereka masuk struktur kekuasaan negara. Posisi mereka dipertanyakan, juga fasilitas mewah yang mereka terima, seiring dengan menguatnya kembali gejala otoritarianisme pra-1998. Kritik yang sama sudah banyak ditujukan kepada sebagian tokoh mahasiswa Angkatan 66 yang ikut bergabung dalam struktur kekuasaan Orde Baru.
Baca: Mundurnya Cita-cita Reformasi 1998 di Era Jokowi
Sampai kapan siklus kekecewaan dan olok-olok seperti itu akan berulang? Apakah aktivis prodemokrasi perlu masuk struktur kekuasaan yang baru ketika yang lama bisa ditumbangkan? Ataukah sebaiknya mereka tetap menjaga jarak dari penguasa dan meneruskan perjuangan di luar lingkar kekuasaan?
Pertanyaan seperti itu mungkin salah, meski telanjur populer.
Paling tidak, secara teori, para aktivis perlu berbagi tugas baik di dalam maupun di luar struktur kekuasaan. Masing-masing punya peran, peluang, dan jasa yang berbeda serta saling melengkapi. Kemerdekaan penuh Indonesia tercapai berkat perpaduan antara konfrontasi gerilyawan melawan pasukan Belanda dan kemahiran diplomasi para politikus RI yang berpuncak pada Konferensi Meja Bundar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (1949). Kisah sukses perjuangan rakyat Timor Leste tidak terlepas dari kombinasi gerilya perang pimpinan Xanana Gusmão di hutan dan kampanye diplomasi di forum internasional, terutama oleh José Ramos-Horta.
Jadi yang bermasalah bukan adanya aktivis yang masuk lingkar kekuasaan atau gaya hidup mereka lebih mentereng, sedangkan tutur kata dan sikap mereka melunak. Masalah utamanya adalah selama ini tidak ada atau sangat kurang kerja sama terorganisasi yang strategis di antara mereka yang masuk lingkar kekuasaan dan mereka yang bergiat di luar dan meresapi kehidupan sehari-hari warga jelata. Yang sering terjadi, para aktivis berjalan sendiri-sendiri secara otonom, tanpa ikatan kerja yang terorganisasi dan strategi yang jelas. Akibatnya, sumbangan masing-masing di berbagai medan itu tidak saling terpantau, dipertanggungjawabkan, dan berpadu untuk menciptakan sinergi.
Kekecewaan pada hasil Reformasi pernah populer dalam ejekan "Reformasi Dibajak" atau “Reformasi Dikorupsi”. Ejekan itu tidak keliru, tapi sepihak dan agak berlebihan. Ambruknya Orde Baru membuka peluang lebar bagi perubahan sosial besar-besaran, baik di lingkar kekuasaan negara maupun dalam berbagai bidang kehidupan sosial. Sayangnya, peluang itu bertahun-tahun berlalu sia-sia karena gagapnya para pendukung prodemokrasi sendiri. Mereka tidak siap mengisi kevakuman politik yang ditinggalkan Orde Baru. Ketika Orde Baru runtuh, sebagian elitenya mendadak bergaya pro-Reformasi. Tapi, karena kevakuman pasca-Orde Baru lama dibiarkan telantar dan tersia-sia, mereka merebut kesempatan mengisi lowongan itu demi kepentingan mereka sendiri.
Membangun jaringan organisasi prodemokrasi tidak mudah, bahkan bagi yang memiliki kesadaran, keterampilan, dan komitmen kuat. Organisasi yang kuat juga sering menciptakan sejumlah masalah internal di antara para aktivis sendiri. Yang lebih parah, jika upaya untuk berorganisasi itu langka karena kesadaran akan perlunya organisasi sangat minim. Mengapa itu bisa terjadi? Selama berpuluh tahun masyarakat kita terbiasa meromantisasi spontanitas gerakan massa dan mengidolakan sosok individual ketimbang menghargai pentingnya jejaring sosial yang melembaga. Berikut ini beberapa contohnya.
Jatuhnya rezim Orde Baru bisa ditengok dari berbagai sisi dengan analisis berbeda tentang mengapa dan bagaimana rezim yang semula tampak kokoh ternyata bisa ambruk. Ada yang menekankan faktor terbelahnya elite Orde Baru itu sendiri. Ada juga yang menilik hubungan internasional. Kelahiran Orde Baru disponsori negara-negara Barat dengan tugas utama membasmi komunis dan Sukarno yang kekiri-kirian. Setelah pembasmian itu tuntas, Perang Dingin usai, berakhir pula relevansi rezim militer pimpinan Soeharto di mata Barat. Ada lagi teori yang menekankan faktor nonmanusia: teknologi digital dalam bidang finansial memudahkan migrasi keuangan besar-besaran lintas benua dengan beberapa klik. Akibatnya terjadi krisis ekonomi berkepanjangan sejak 1997 yang melumpuhkan Orde Baru.
Semua faktor itu penting. Tapi, di dalam negeri sendiri, versi yang paling dominan dalam wacana Reformasi 1998 meromantisasi demonstran jalanan yang maskulin serta beberapa tokoh aktivis dari masa itu.
Baca: Layang-layang Putus Anak Soeharto
Romantisisme gerakan massa yang spontan dalam alih kuasa negara sudah berpuluh tahun dibina Orde Baru untuk menggambarkan apa yang terjadi pada 1965-1966. Padahal, di balik semua itu, ada operasi militer yang terpadu secara organisatoris dengan garis komando jelas. Kisah kepahlawanan yang romantis di antara mahasiswa anti-Sukarno dibesar-besarkan sehingga tercipta sosok legendaris Soe Hok Gie dalam berbagai versi, termasuk film. Berkat kuatnya wacana itu, peralihan kekuasaan 1965-1966 tidak dibayangkan publik sebagai kudeta militer.
Setelah lama mereda, arus massa prodemokrasi bangkit lagi pada 2014 mengawal tokoh legenda baru bernama Joko Widodo. Ternyata nasib dan ruang gerak Jokowi tidak berbeda jauh dari para aktivis yang tak berkarier sebagai bagian integral dari kekuatan organisasi politik, tapi mendadak masuk lingkar kekuasaan. Menyambut Pemilihan Umum 2024, kini publik dibombardir berita dan debat tentang individu calon presiden dan wakil presiden. Tentang warna rambutnya, keturunannya, atau kesalehan beragamanya, bukan adu strategi, visi, atau rancangan kerja bagi Indonesia lima tahun mendatang. Apalagi membuat rancangan untuk memenuhi tuntutan Reformasi 1998 yang wujudnya masih samar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo