Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Jabatan Kosong Bintang Empat

Sejak lulus dari pendidikan kepolisian, Hoegeng dekat dengan Sukarno. Hubungannya dengan Soeharto diwarnai berbagai konflik.

14 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sukarno meminta Hoegeng membantu meloloskan barang impor dari Jepang.

  • Soeharto tak mendukung Hoegeng mengusut kasus Sum Kuning.

  • Soeharto menolak kehadiran Hoegeng di pernikahan putrinya.

BERHADAPAN dengan anak muda kurus di hadapannya, Presiden Sukarno langsung mengajukan protes suatu waktu pada 1952. Berdiri di depannya perwira kepolisian bernama Hoegeng Iman Santoso yang baru lulus dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian atau PTIK. “Bung Karno bilang nama orang Jawa seharusnya ‘Sugeng’,” kata Aditya Susanto, anak kedua Hoegeng, kepada Tempo, akhir Juli lalu. Aditya mendapat cerita tentang pertemuan itu langsung dari ayahnya.

Hari itu, presiden pertama Indonesia tersebut sedang menyapa satu per satu lulusan angkatan pertama PTIK. Hoegeng satu di antaranya. Sukarno meminta laki-laki 31 tahun itu mengganti namanya agar lebih njawani. Namun Hoegeng menolak permintaan tersebut karena nama itu pemberian orang tuanya.

Presiden akhirnya mengusulkan Hoegeng mengubah namanya sekalian menjadi Sukarno. Ia kembali menolak. Hoegeng menyatakan nama Sukarno sudah dipakai oleh orang di rumahnya. Sukarno lantas menanyakan siapa pengguna nama yang sama dengannya. “Mohon maaf, pembantu kami di rumah,” jawab Hoegeng. Sukarno tergelak.

Aditya meyakini pertemuan itu membuat hubungan keduanya menjadi dekat. Setelah perkenalan itu, Hoegeng dan istrinya, Meriyati, beberapa kali diundang Sukarno untuk minum teh di Istana Bogor, Jawa Barat. Dalam satu perjamuan, Sukarno meminta bantuan Hoegeng, yang menjabat Kepala Jawatan Imigrasi periode 1960-1965, meloloskan barang dari Jepang di kepabeanan. Barang itu milik Naoko Nemoto—dikenal sebagai Ratna Sari Dewi, istri kelima Sukarno.

Hoegeng lalu menawarkan dua cara kepada Bung Karno. Pertama, Sukarno membuat surat dengan kop Presiden RI kepada Hoegeng untuk meloloskan barang tersebut. Kedua, mengubah undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat. Mendengar jawaban itu, Sukarno menyerah dan memilih mengeluarkan biaya sendiri untuk urusan bea masuk.

Soeharto (kiri) dan Hoegeng Iman Santoso, tahun 1968. Dok. Keluarga Hoegeng

Pada Juni 1965, Presiden Sukarno mengundang Hoegeng dan istrinya ke Istana Bogor untuk perjamuan makan. Seusai acara, Bung Karno mengambil selembar kertas karbon yang warnanya memudar. “Ini karbon. Saya bilang ini hitam. Kalau Hoegeng bilang apa?” tanya Sukarno seperti tertulis dalam buku autobiografi. Yang ditanyai membenarkan bahwa kertas itu karbon. Namun, “Maaf Pak, tapi saya ragu apakah warnanya betul-betul hitam,” jawab Hoegeng.

Jawaban itu cukup memuaskan Sukarno. Hoegeng masuk barisan Kabinet Dwikora II atau kabinet seratus menteri sebagai Menteri Iuran Negara. Mantan ajudan Sukarno, Sidharto Danusubroto, mengatakan Bung Karno sangat mempercayai Hoegeng. “Bung Karno melihat dia punya keteladanan dan kejujuran,” tutur Sidharto—kini anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

Anak-anak Hoegeng pun dekat dengan keluarga Bung Karno. Putri pertamanya, Reniyanti Hoegeng, sahabat sekaligus teman seangkatan Megawati Soekarnoputri di Perguruan Cikini, Jakarta. Adapun adik Reniyanti, Aditya Sutanto, satu angkatan dengan Rachmawati Soekarnoputri.

Ketika Megawati menjadi presiden, Hoegeng yang sedang sakit keras ngotot menyambangi rumahnya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, meski sedang sakit keras. Di Teuku Umar, Megawati menyambut mereka dengan pakaian santai. Saat bersalaman, Hoegeng berkata, “Dis (Adis, nama kecil Megawati), ingat pesan bapakmu,” ucap Aditya menirukan ucapan ayahnya. Penasaran, Megawati menanyakan maksud Hoegeng. Tapi ia tak mendapat jawaban.

Megawati kemudian meminta Hoegeng membuatkan lukisan seorang pria gagah untuk ditaruh di ruang kerjanya. Hoegeng menyanggupi permintaan tersebut. Dua minggu berselang, lukisan itu rampung. Alih-alih menggambar sosok pria gagah, Hoegeng justru melukis seorang lelaki tua renta. Pada lukisan itu ia menuliskan “Dis, ingat pesan bapakmu”. Aditya langsung mengirim lukisan itu kepada Megawati dan diterima oleh ajudannya, Pramono Edhie Wibowo.

Hingga akhir hayatnya, Hoegeng tak pernah bersua lagi dengan Megawati. Saat pemakaman Hoegeng, Megawati pun absen. Sampai sekarang, Aditya tak pernah mengetahui maksud lukisan yang dibuat ayahnya. “Arti pesan itu juga tidak terpecahkan,” ujar Didit—panggilan Aditya.

•••

AKRAB dengan Sukarno, hubungan Hoegeng Iman Santoso dengan Presiden Soeharto justru tak harmonis. Menurut Aditya Sutanto, ketidakcocokan itu terjadi sejak Soeharto menjadi Panglima Daerah Militer Diponegoro pada 1956-1959. Saat itu Hoegeng, yang masih bertugas di Direktorat 2 Markas Besar Angkatan Kepolisian, menangani kasus dugaan penyelundupan tekstil oleh warga negara India. Nama istri Soeharto, Siti Hartinah alias Tien, disebut-sebut dalam kasus tersebut.

Kepada Aditya, Hoegeng bercerita bahwa Soeharto meminta tersangka dibebaskan. Bahkan ia menjanjikan pembayaran pajak barang-barang selundupan oleh tersangka. “Fine, bagus. Tapi saya minta bukti dia sudah membayar dan uangnya masuk ke kas negara, baru saya lepaskan,” kata Hoegeng seperti ditirukan Aditya. Soeharto diduga tersinggung oleh jawaban Hoegeng.

Meski demikian, Soeharto melantik Hoegeng sebagai Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia pada 15 Mei 1968. Namun relasi keduanya tetap naik-turun, termasuk dalam soal penuntasan kasus kejahatan. Hubungan yang tidak klop antara Hoegeng dan Soeharto terlihat dalam kasus pemerkosaan Sumaridjem, penjual telur asal Yogyakarta. Peristiwa nahas itu kerap disebut sebagai kasus Sum Kuning. Pelaku pemerkosaan diduga keluarga militer dan kerabat kepala daerah. Tapi Sumaridjem malah dituntut tiga bulan bui, meski hakim membebaskannya.

Dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa yang ditulis Aris Santoso dan kawan-kawan disebutkan, Hoegeng membentuk tim khusus kasus Sum Kuning. Pada akhir Januari 1971, Jenderal Hoegeng melaporkan kasus tersebut kepada Soeharto di Istana. Alih-alih mendukung anak buahnya, Soeharto malah memerintahkan perkara itu ditangani Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu)/Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, lembaga yang menangani kasus politik.

Hoegeng Iman Santoso dan Megawati Soekarnoputri (kanan). Dok. Keluarga Hoegeng

Setelah ditangani Teperpu, kasus Sum Kuning pun perlahan menguap. Dalam buku Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan, Hoegeng menyatakan kasus tersebut menunjukkan harapannya bahwa kepolisian tak dicampuri pihak lain masih jauh panggang dari api. “Penanganan kasus itu menjadi pertanda buruk bahwa mustahil dalam waktu dekat semua fungsi polisional diserahkan kepada Polri,” tulis Hoegeng.

Puncak kerenggangan keduanya terjadi saat kepolisian menyelidiki kasus penyelundupan mobil mewah dari luar negeri yang diduga dilakukan oleh pengusaha asal Surakarta, Jawa Tengah, Robby Tjahjadi. Rencana Hoegeng melaporkan kasus itu kepada Soeharto batal setelah ia menyaksikan Robby keluar dari ruang tamu rumah Soeharto. Setelah peristiwa itu, Soeharto menawari Hoegeng posisi duta besar untuk Belgia.

Merasa tak bisa menjadi diplomat, Hoegeng menolak. Namun ia siap diberi posisi apa pun di dalam negeri. Soeharto menyatakan tak ada jabatan kosong untuk jenderal bintang empat itu. “Kalau begitu, saya keluar saja,” ucap Hoegeng sebagaimana dimuat di majalah D&R edisi 12 Juli 1997. Soeharto lalu meminta Hoegeng memberi tahu sekitar 20 wartawan yang menunggu di luar rumahnya bahwa serah-terima jabatan Kepala Polri sedang diurus. Pada 2 Oktober 1971, 12 hari sebelum peringatan ulang tahunnya yang ke-50, Hoegeng lengser dari kursi nakhoda Polri.

Setelah pensiun, Hoegeng tak pernah lagi diundang ke acara Soeharto. Saat presiden menikahkan putrinya, Siti Hediati Harijadi alias Titik Soeharto, dengan Prabowo Subianto, Hoegeng tak diperkenankan datang. Dalam buku Pak Hoegeng: Polisi Profesional dan Bermartabat disebutkan bahwa ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, yang juga kawan Hoegeng, meminta dia tidak datang. Padahal Hoegeng bakal menjadi saksi dari keluarga Sumitro. Menurut Sumitro, Soeharto tak ingin Hoegeng ada di acara itu.

•••

SAAT pemerintah Orde Baru mengasingkan Sukarno ke Wisma Yaso—kini Museum Satriamandala—di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, hubungan Hoegeng dan Sukarno terus berjalan. Aditya Sutanto, anak kedua Hoegeng, bercerita, ayahnya, yang masih menjadi Kepala Polri, biasa mengobrol dengan Sukarno di teras wisma pada sore hari. “Bung Karno biasanya hanya pakai kaus oblong dan sarung,” tutur Aditya. Pertemuan itu kerap berlangsung dua-tiga jam dengan cangkir kopi bolak-balik diisi.

Menurut Aditya, Sukarno meminta Jenderal Hoegeng menyampaikan kepada pemerintah agar dia diizinkan dikubur di bawah salah satu pohon rindang di Istana Bogor. Itu adalah tempat favorit Sukarno semasa menjabat presiden. Saat Sukarno wafat pada 21 Juni 1970, permintaan itu tak juga dikabulkan.

Aditya tak pernah tahu isi pembicaraan ayahnya dengan Sukarno di Wisma Yaso. Ia hanya mengingat Hoegeng mengatakan satu hal kepadanya sepulang dari sana. “Mesakke, yo, Bung Karno (Kasihan, ya, Bung Karno),” kata Aditya menirukan ucapan Hoegeng.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus