Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Terbuka bagi Siapa Saja

Ath Thaariq membuka pintu bagi komunitas agama lain yang ingin mengenal Islam. Agar pesantren menjadi rahmat bagi alam semesta.

30 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ath Thaariq di benak seorang teolog Katolik.

  • Bersama-sama menghayati ekologi berbekal Quran dan hadis.

ROMO Gregorius Soetomo SJ masih menyimpan potret dirinya saat memanggul jerami di sawah milik Pondok Pesantren Ekologi Ath Thaariq, Garut, Jawa Barat, lima tahun lalu. Berkaus biru, Romo Greg—begitu pengajar pada Ateneo de Manila University, Filipina, itu biasa disapa—melinting celananya sampai paha agar leluasa bergerak di sawah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Paha Romo selamat dari lumpur, tapi tidak dengan kedua betisnya. “Waktu kami ke sana, Teh Nissa (Nissa Wargadipura) dan Kang Ibang (Kiai Haji Ibang Lukman Nurdin) habis panenan,” kata Romo Greg lewat sambungan telepon dari Manila pada Selasa, 26 April lalu. Dia mengenang kunjungannya ke Ath Thaariq pada 2017.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seingat Romo Greg, dua kali dia mengajak puluhan frater—calon imam—Yesuit di Wisma Dewanto, kawasan Kramat VII, Jakarta Pusat, ke Ath Thaariq. Mereka datang pertama kali pada 2016. Teolog kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, 58 tahun lalu itu mulanya mengetahui keberadaan Ath Thaariq dari seorang kawan di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan, Banten. Kala itu, sang kawan sedang menulis tentang feminisme dan ekologi dalam Islam dengan Ath Thaariq sebagai obyek kajian. “Saya kontak Teh Nissa dan Kang Ibang, dan kami diterima dengan sangat baik,” tutur Romo Greg.

Romo Greg sebetulnya juga tidak asing dengan pesantren. Padri Katolik pertama yang lulus dari UIN Syarif Hidayatullah ini pernah tiga kali menginap dalam waktu cukup lama di Tebuireng, pesantren di Jombang, Jawa Timur, yang dibangun Kiai Haji Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.

Dia juga bolak-balik mengajak para frater menengok laku pembelajaran Islam di pesantren lain, seperti di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Semarang, pada 2009 dan Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, pada 2013. “Kami ingin mengenal komunitas muslim lewat tindakan, lewat kerja, lewat aksi, secara langsung,” ujar Romo Greg.

Nah, Ath Thaariq menjadi pesantren pertama di tanah Sunda yang mereka kunjungi. “Beberapa frater dari Thailand dan Myanmar itu kulturnya sangat Jawa,” tutur Romo Greg. “Jadi sebaiknya tidak bertemu dengan ‘Jawa’ lagi, coba dengan kultur Sunda di Garut.”

Selain itu, tentu saja, alasannya adalah Ath Thaariq mau dikunjungi. Tidak semua pesantren mau didatangi hingga diinapi berlama-lama oleh komunitas agama lain. Romo Greg sadar akan hal itu. “Kami selalu survei dulu,” ujarnya.

Dan alasan paling utama memilih Ath Thaariq, menurut Romo Greg, adalah Kang Ibang dan Teh Nissa, suami-istri pengasuh pesantren, menyandingkan pengetahuan agama dengan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan. “Kami tertarik karena isu lingkungan itu isu yang sangat kuat, di mana pun (termasuk di Katolik),” kata Romo Greg. “Ada keputusan Paus Fransiskus tentang ‘On Care for Our Common Home’.”

“On Care for Our Common Home” atau “Dalam Kepedulian untuk Rumah Kita Bersama” adalah subjudul ensiklik kedua Paus Fransiskus—pemimpin Gereja Katolik—yang berjudul Laudato Si’ (Puji Bagi-Mu). Dalam surat amanat tersebut, Paus mengkritik konsumerisme dan pembangunan oleh manusia yang tak terkendali, menyesalkan kerusakan lingkungan dan pemanasan global, juga mengajak semua orang mengambil aksi global yang terpadu dan segera untuk menyelamatkan bumi. “Kita (Katolik dan Islam) punya kesamaan yang besar sekali tentang perjuangan merawat alam,” ucap Romo Greg. “Dan Teh Nissa pernah membaca ini, Laudato Si’.”

Karena itu, selama tinggal di Ath Thaariq, Romo Greg dan para frater tidur berdempetan dengan para santri di malam hari. Subuhnya, mereka ikut mendengarkan pengajian. Ketika hari terang, mereka berladang, berkebun, nyawah, dan setelah itu berdiskusi tentang Islam. Para santri, kata Romo Greg, belajar tentang Islam dan lingkungan di Ath Thaariq, lalu mempelajari pendidikan formal di luar pondok. “Ini pondok pesantren yang mau mengkaji dan menghayati keislaman dalam perspektif ekologi,” tuturnya.

Ath Thaariq, Romo Greg menambahkan, mau menerangkan mengapa Islam atau komunitas muslim perlu menghayati perspektif ekologi. Penjelasan itu berasal dari ayat-ayat Al-Quran dan hadis. “Yang tentu saja saya tidak hafal sama sekali kutipan-kutipannya,” ujarnya.

Sebenarnya banyak yang menentang keputusan Ibang Lukman Nurdin dan Nissa Wargadipura membuka pintu Ath Thaariq bagi pemeluk agama lain. “Saya bilang, pesantren ekologi ini berbasis rahmatan lil alamin,” kata Nissa. “Ular, cacing, burung hantu, saja diberi rumah, masak, manusia enggak?”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus