Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada libur panjang buat Wachid Usman pada akhir tahun lalu. Saat kebanyakan orang mengambil cuti dan menikmati kegembiraan pergantian tahun, Direktur Utama PT Timah Tbk itu datang ke kantornya di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta. Sabtu siang dua pekan lalu, Wachid bertemu dengan Ketua Asosiasi Timah Indonesia Hidayat Arsani.
Kendati berlangsung santai, topik pembicaraan keduanya sangat serius. Selama dua jam lebih Wachid dan Hidayat membahas Indonesia Tin Market (Inatin) alias pasar fisik timah Indonesia. ”Kami bicara dari hati ke hati,” ujar Wachid kepada Tempo di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Inatin diluncurkan pada 15 Desember lalu di Jakarta. Pasar komoditas itu terbentuk setelah Asosiasi Timah meneken nota kesepahaman (MoU) dengan PT Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia. Namun jalan terjal menghambat pasar timah ini. Inatin terancam layu sebelum berkembang lantaran produsen-produsen timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memboikotnya.
Anggota asosiasi ada 28 perusahaan peleburan (smelter) timah. Namun baru Grup Timah—PT Timah dan anak usahanya, PT Tambang Timah—yang bergabung dengan Inatin. Perdagangan timah di bursa bakal tak optimal bila pemainnya perusahaan milik negara itu saja.
Hidayat termasuk yang ogah berhimpun dalam Inatin. Direktur PT Unibros Mandiri dan Komisaris PT ATD Makmur Mandiri ini menginginkan Babel Tin Market, bukan Inatin. Langkah Hidayat didukung Sekretaris Jenderal Asosiasi Timah Indonesia Johan Murod. Direktur PT Bangka Belitung Timah Sejahtera itu mengungkapkan ada 10 perusahaan lain menolak Inatin. Alasannya sama dengan argumentasi Hidayat.
Inatin, kata Johan, sulit menyaingi London Metal Exchange (LME)—bursa logam di Inggris. Dalam bayangan produsen-produsen timah, setelah ada Inatin, harga timah akan naik lagi mendekati US$ 20 ribuan per ton. Ternyata, saat Inatin diluncurkan, harga timah dunia malah meluncur ke level US$ 18 ribu per ton. ”Itu artinya Inatin tak bisa berbuat apa-apa,” ujar dia.
Wachid menganggap Hidayat tokoh kunci dan punya pengaruh besar menentukan nasib Inatin. Tak aneh bila Wachid rela ngantor menjelang pergantian tahun. Bos PT Timah itu berusaha keras membujuk Hidayat agar mau berpartisipasi dalam Inatin. Wachid mengklaim pendekatannya menampakkan hasil. ”Hidayat sudah sekapal (sama visinya) dengan saya,” ujarnya.
Pertengahan Desember tahun lalu, Hidayat, Wachid, R. Rudy Irawan, serta Direktur Utama Bursa Komoditas dan Derivatif Megan Wijaya membubuhkan tanda tangan di atas kertas nota kesepahaman kerja sama. Mewakili Asosiasi Timah, ketiganya sepakat menyelenggarakan pasar timah alias Inatin di bursa yang terletak di Jalan S. Parman, Jakarta Barat, tersebut.
Ikut hadir dalam pertemuan itu Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi dan Kepala Badan Pengawas Pasar Berjangka Komoditas (Bappebti) Syahrul Sempurnajaya. Gubernur Bangka Belitung Eko Maulana Ali tersenyum menyaksikan penekenan nota kerja sama.
Seusai tos bersama dan berfoto-foto, Bayu, Eko, dan Syahrul pulang. Adapun pengurus Asosiasi Timah dan manajemen bursa menggelar jumpa pers di aula gedung Bursa Komoditas. Setelah tanya-jawab dengan para juru warta selesai, Wachid, Rudy, dan manajemen Bursa Komoditas berbincang santai. Hidayat juga masih di situ. Di tengah ramah tamah itu terjadi insiden memalukan. Di sudut aula, ajudan-ajudan Hidayat bersitegang dengan sejumlah karyawan Bursa Komoditas.
Menurut sumber Tempo, para ajudan Hidayat meminta nota kesepahaman asli—bermeterai—yang dipegang staf Bursa Komoditas. Karyawan Bursa menolak memberi lantaran merasa tak ada perintah dari atasan. Terjadi tarik-menarik kertas nota kesepahaman. Nyaris pecah perkelahian sampai akhirnya ajudan-ajudan Hidayat berhasil merebut nota kesepahaman asli dari tangan staf Bursa Komoditas. ”Petugas Bursa hanya memegang salinan nota kesepahaman itu,” ujar si sumber.
Direktur Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia Arwadi J. Setiabudi kepada Tempo pekan lalu membenarkan insiden saling rebut nota kesepahaman tersebut. ”Saya tak tahu apa motifnya (Hidayat),” kata dia. Yang jelas, kata dia, banyak pegawai Bursa Komoditas menyaksikan insiden tersebut. Hidayat tak menampik cerita itu. ”Saya memang meminta nota kesepahaman asli,” ujarnya kepada Tempo pekan lalu.
Hidayat mengatakan tak tahu maksud penandatanganan nota kesepahaman tersebut. Dia mengaku baru menyadari pasar timah di Bursa Komoditas ternyata Inatin, bukan Babel Tin Market. Dalam benak Asosiasi Timah, selain nama, mekanisme pasar timah yang diinginkan tak seperti di Bursa Komoditas—ditentukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran.
Konsep yang diinginkan Asosiasi adalah perusahaan-perusahaan di Bangka Belitung menetapkan sepihak atau sendiri harga timah dan jumlahnya kepada para pembeli—importir timah atau konsumen timah di luar negeri. ”Kalau di Inatin nanti yang menentukan harga timah tetap saja hedge fund dan spekulan,” ujar Hidayat.
Perseteruan segera meruncing di antara para juragan timah itu. Telunjuk Hidayat mengarah kepada Rudy Irawan, Ketua Harian Asosiasi Timah. Dia menilai Direktur Utama PT Mitra Stania Prima itu tak berkoordinasi dengan anggota Asosiasi dan mengubah namanya menjadi Inatin.
Rudy membantah keras tudingan Hidayat. Dia menegaskan selalu mengajak anggota Asosiasi membicarakan pembentukan pasar timah sendiri. ”Saya juga selalu ngomong dan berkomunikasi dengan Hidayat,” ujarnya kepada Tempo pekan lalu.
Sebagai ketua harian, kata Rudy, ia selalu mengajak Hidayat ikut membahas rencana pasar timah bentukan perhimpunan. Namun Hidayat kerap menolak hadir dengan alasan sibuk mengurus kebun. Rudy heran Hidayat menolak Inatin, padahal ikut meneken nota kesepahaman di depan Wakil Menteri Perdagangan dan Kepala Bappebti.
Di mata Wachid Usman, penolakan produsen-produsen timah di Bangka Belitung terhadap Inatin cuma lantaran perbedaan persepsi semata. Inatin, kata dia, sesungguhnya akan mengarah kepada pembentukan Babel Tin Market. Dalam Inatin, perusahaan-perusahaan timah di Indonesia, termasuk di Bangka Belitung, nantinya bisa berperan besar menentukan harga jual timah sendiri.
Wachid mengingatkan rendahnya daya tawar produsen Indonesia meski statusnya eksportir timah terbesar di dunia. Di Bursa Logam London atau Bursa Logam Kuala Lumpur, produsen-produsen timah Indonesia justru tak bisa menentukan harga, tapi hanya sebagai penerima harga. Harga timah ditentukan spekulan atau pedagang. ”Dengan Inatin, produsen timah kita bisa menentukan harga wajar sendiri,” katanya.
Sumber Tempo menyatakan tak kaget melihat banyak perusahaan peleburan timah di Bangka Belitung menolak Inatin. Penyebabnya tak semua produsen timah di daerah itu milik warga negara Indonesia. Sebanyak 28 perusahaan, kata dia, hanya dimiliki oleh 8-10 orang.
Mereka umumnya sudah mendapat suntikan modal dari perusahaan-perusahaan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sejak dulu perusahaan-perusahaan negeri tetangga itu menikmati pasokan timah dari sana. ”Mereka khawatir akan menderita kerugian bila Asosiasi membentuk pasar timah di Indonesia,” ujar si sumber.
Langkah sudah diayun. Kendati baru Grup Timah yang ikut Inatin, Wachid dan Rudy jalan terus. Dukungan datang pula dari manajemen Bursa Komoditas. Menurut Arwadi, Kamis pekan ini, manajemen bursa akan mengundang semua pemangku kepentingan, termasuk 28 perusahaan di Bangka Belitung, untuk menentukan perdagangan perdana komoditas timah.
Manajemen Bursa juga akan mengundang pembeli, seperti Toyota, Hanwa, dan Mitsubishi, untuk ikut pasar timah di Indonesia. ”Prinsipnya mereka mau membeli timah di sini,” kata Arwadi.
Padjar Iswara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo