Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Desakan moratorium kepailitan dan PKPU menarik perhatian para bankir.
Ada kekhawatiran moratorium PKPU melahirkan penyimpangan oleh debitor.
Otoritas Jasa Keuangan fokus ke pelonggaran kebijakan restrukturisasi kredit.
PERSAMUHAN antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan pelaku industri perbankan, medio Agustus lalu, sebenarnya pertemuan biasa tiga bulanan. Dalam acara rutin ini, OJK biasanya menyampaikan berbagai arah kebijakan, juga mendengarkan ekspektasi para bankir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Begitu agenda rapat pada Agustus itu adalah membicarakan pelonggaran kebijakan restrukturisasi kredit, OJK menggagas kemungkinan memperpanjang program yang digulirkan untuk meredam dampak buruk pandemi Covid-19 terhadap ekonomi nasional tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi isi diskusi merembet ke topik yang tengah hangat dibicarakan pelaku industri lintas sektor: tuntutan kalangan pebisnis agar pemerintah memberlakukan moratorium gugatan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Desakan itu disuarakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Sejumlah pejabat bank milik negara, yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, hadir dalam pertemuan dengan OJK. Begitu pula pengurus asosiasi bank, seperti Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) dan Perhimpunan Bank-bank Internasional Indonesia. “Pak Tiko juga hadir,” kata Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo, Jumat, 10 September lalu.
Tiko adalah panggilan Kartika Wirjoatmodjo, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara. Mantan bos Bank Mandiri ini juga mengampu jabatan Komisaris Utama BRI dan Ketua Perbanas.
Menurut Anto, perbankan berkepentingan dengan wacana moratorium kepailitan dan PKPU. Isu ini dinilai berkaitan dengan program relaksasi restrukturisasi kredit yang tengah berlangsung. Dia menilai PKPU tak akan jadi masalah jika berujung pada homologasi atau pengesahan perdamaian oleh pengadilan atas kesepakatan debitor dan kreditor untuk mengakhiri kepailitan. “Tapi, kalau PKPU akhirnya menyebabkan debitor default, ini kan artinya program restrukturisasi yang sedang kami jalankan enggak ada artinya,” ucap Anto.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Beberapa hari setelah bertemu dengan para pemimpin industri perbankan, petinggi OJK menggelar audiensi dengan kalangan pengusaha. OJK juga berdiskusi dengan Sekretariat Kabinet mengenai masalah kepailitan dan PKPU, yang jumlah perkaranya di pengadilan meningkat di masa pandemi, di antaranya menyeret debitor perbankan.
Pada awal September lalu, arah kebijakan OJK tentang restrukturisasi kredit baru terang. Rapat Dewan Komisioner OJK, Kamis, 2 September lalu, memutuskan untuk memperpanjang masa pelonggaran kebijakan restrukturisasi selama satu tahun. Tenggat yang semula ditetapkan pada 31 Maret 2022 mundur menjadi 31 Maret 2023.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan, keputusan itu bertujuan memberi kepastian kepada para pelaku usaha di masa pandemi. Dengan pelonggaran restrukturisasi kredit, pengusaha dapat mengatur likuiditasnya di tengah kondisi perekonomian yang belum pulih. "Ini sejalan dengan stimulus kami, yang diharapkan pada 2023 sudah normal kembali semuanya, sehingga perpanjangan menjadi 2023 sangat relevan," tutur Wimboh kepada awak media, Rabu, 8 September lalu.
•••
KETIKA program restrukturisasi kredit sudah jelas diperpanjang setahun, wacana moratorium penundaan kewajiban pembayaran utang dan kepailitan masih menjadi bola liar di kalangan bankir. Perbanas, menurut Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Aviliani, belum menentukan sikap terhadap gagasan ini.
Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Royke Tumilaar punya pandangan lebih terang. Bankir kawakan dalam urusan penyelesaian kredit dan pengelolaan aset ini memilih tak ada moratorium. Alasannya, Undang-Undang Kepailitan dan PKPU merupakan instrumen hukum yang selama ini diperlukan perbankan sebagai daya paksa terhadap debitor yang tak kooperatif.
Royke Tumilaar. Tempo/Tony Hartawan
Royke menegaskan, permohonan kepailitan dan PKPU adalah opsi terakhir, harus diambil secara selektif. Upaya ini hanya diterapkan terhadap debitor yang enggan bekerja sama menyelesaikan kewajiban melalui jalur bilateral, seperti penjualan jaminan secara sukarela atau penyelesaian melalui lelang jaminan. BNI, dia menuturkan, selama ini mengedepankan skema restrukturisasi dan penyelesaian sukarela lain untuk melayani debitor yang masih memiliki prospek usaha.
Walau begitu, bila moratorium gugatan kepailitan dan PKPU diberlakukan, Royke berharap kebijakan itu diterapkan secara parsial atau bersyarat. Dia mencontohkan, moratorium dapat diberlakukan dengan membuat ketentuan ambang batas (threshold) nilai tagihan kreditor yang boleh menjadi pemohon pailit dan PKPU. Ambang batas lain bisa berupa aturan bahwa permohonan kepailitan dan PKPU tidak boleh diajukan terhadap debitor yang nilai asetnya jauh lebih besar dari nilai kewajibannya. “Penerapannya pun dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama,” ujarnya, Jumat, 10 September lalu.
Royke mewanti-wanti ihwal pentingnya antisipasi terhadap potensi moral hazard oleh debitor di masa moratorium. “Bagaimana perlindungan bagi kreditor, termasuk perbankan, jika upaya penagihan yang dilakukan berkali-kali tidak direspons oleh debitor?” katanya. “Bagaimana kepastian hukum bagi kreditor yang akan menagih utang?”
Ketua Satuan Tugas Moratorium Kepailitan dan PKPU Apindo, Sutrisno Iwantono, mengatakan potensi moral hazard tidak hanya ada pada debitor, tapi juga pada kreditor dan pengadilan, termasuk kurator atau pengurus yang ditunjuk dalam proses pailit dan PKPU. Karena itu, sementara regulasi diperbaiki melalui revisi Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, Sutrisno menilai perlu ada moratorium. “Jangan sampai perusahaan yang semula sehat malah jadi pailit. Proses PKPU sangat cepat. Terkadang tidak mengindahkan fairness dalam prosesnya,” ucapnya.
Saat ini beberapa bank tercatat sebagai pemohon gugatan kepailitan atau PKPU. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, misalnya, mencatat tujuh lembaga jasa keuangan dari total 423 perkara gugatan kepailitan dan PKPU yang terdaftar hingga 10 September 2021.
Para pemohon itu adalah PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank Maybank Indonesia Tbk, PT Bank CTBC Indonesia, PT Bank QNB Indonesia Tbk, PT Bank Permata Tbk, PT Bank OCBC NISP Tbk, dan PT Trust Finance Indonesia Tbk. Gugatan PKPU yang diajukan Lembaga Penjamin Simpanan, lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah bank di Indonesia, juga masih disidangkan.
Kuasa hukum Bank QNB Indonesia, Swandi Halim, mempertanyakan dasar rencana moratorium. “Katanya ekonomi sudah rebound, tumbuh 7 persen, kok, moratorium? Ini kan sinyal yang jelek ke pasar. Ada apa?” ujar Swandi.
Swandi khawatir kebijakan moratorium akan mempengaruhi kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit, juga berpotensi menaikkan biaya dana (cost of fund), yang bisa mengerek suku bunga kredit. “Karena risiko bagi perbankan atau lembaga pembiayaan menjadi tinggi,” tuturnya.
Pekerja membersihkan papan reklame Bank Rakyat Indonesia di Cililitan, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Sejauh ini, belum jelas berapa total tagihan perbankan, terutama anggota Himpunan Bank Milik Negara, dalam kasus kepailitan dan PKPU yang tengah berjalan. Royke Tumilaar mencatat, nilai tagihan BNI terhadap perkara pailit dan PKPU yang sedang berproses sekitar Rp 4,06 triliun dan US$ 298,7 juta.
Adapun Otoritas Jasa Keuangan memilih berfokus menggeber program relaksasi restrukturisasi kredit bagi debitor yang terkena dampak pandemi. Hingga Juli lalu, bank-bank pelat merah telah merestrukturisasi kredit senilai Rp 403,99 triliun. BRI menjadi bank dengan nilai restrukturisasi kredit terbesar, diikuti Bank Mandiri, BNI, dan BTN.
OJK berharap perpanjangan program relaksasi restrukturisasi tersebut memberi kepastian bagi perbankan ataupun pelaku usaha dalam menyusun rencana bisnis 2022, terutama penanganan debitor restrukturisasi dan skema pencadangan. Perbankan diminta menerapkan manajemen risiko sebaik-baiknya untuk membentuk cadangan kerugian penurunan nilai. “Ukurlah dengan manajemen risiko yang ketat, dan atur pembentukan cadangan supaya tidak menumpuk di ujung atau akhir tahun,” kata Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo