Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pabrik tekstil besar seperti PT Pan Brothers juga sedang mencari berbagai opsi untuk membayar utang.
Lesunya permintaan pasar lebih dulu menggulung industri tekstil kelas usaha kecil menengah.
HINGGA Kamis malam, 29 April lalu, Anne Patricia masih berkutat dengan berkas materi pelatihan tentang transformasi digital. Anne, Wakil Direktur Utama PT Pan Brothers Tbk, sedang mengikuti kursus singkat yang dipandu sejumlah ahli dari perguruan tinggi ternama, seperti Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat; dan Tsinghua University, Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pan Brothers sedang menggeber digitalisasi mesin pabrik. Produsen tekstil dan pakaian jadi (garmen) ini menerapkan sistem otomatisasi berbasis komputer. “Kami pionir industri 4.0. Harus bisa, the next, menjadi pioneer 5.0,” kata Anne kepada Tempo malam itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun ini, Pan Brothers mengalokasikan belanja modal otomatisasi, digitalisasi, dan penambahan mesin sebesar US$ 10 juta atau sekitar Rp 140,5 miliar untuk pengembangan bisnis perseroan. Menurut Anne, dengan penerapan industri berbasis 4.0, produktivitas Pan Brothers meningkat. Efisiensi juga bisa berjalan tanpa pemutusan hubungan kerja massal, yang terjadi di kebanyakan industri yang tertekan pada masa pandemi Covid-19.
Sampai Sabtu, 1 Mei lalu, PBRX—kode Pan Brothers di Bursa Efek Indonesia—memang belum melaporkan kinerja keuangan sepanjang 2020. Namun, per September 2020, perseroan mencatat laba US$ 18,3 juta atau sekitar Rp 265,6 miliar, naik 9 persen dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Tapi capaian positif itu tidak serta-merta menjamin urusan dengan perbankan lancar. Pengucuran kredit untuk Pan Brothers ini tak mulus. Fasilitas modal kerja bilateral, menurut Anne, justru terus berkurang. “Dari total fasilitas US$ 250 juta dikurangi terus, sampai US$ 70 juta. Bisa bayangin enggak?” ujarnya.
Tak cukup di situ, salah satu bank besar—Anne enggan menyebutkan detailnya—membekukan fasilitas pinjaman dengan alasan pasar turun karena terkena dampak pandemi. “Saya bilang, permintaan turun secara makro. Secara mikro, Pan Brothers enggak ada penurunan,” tutur Anne. “Kami social compliance, environment compliment, sehingga banyak demand dialihkan dari negara lain. Kami terima banyak.”
Pekerja menjalankan mesin tenun di industri tekstil rakyat SML, Desa Padamulya, Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, April 2014. TEMPO/Prima Mulia
Pengurangan plafon pinjaman itu membuat keuangan perusahaan ikut goyang. PBRX pun mengupayakan pembiayaan ulang (refinancing), antara lain untuk menutup utang jangka panjang senilai US$ 133 juta atau sekitar Rp 1,9 triliun yang jatuh tempo pada 1 Februari 2021.
Diteken pada 9 Oktober 2015, perjanjian kredit tersebut melibatkan tujuh bank asing. PT Bank ANZ Indonesia menjadi mandated lead arranger and bookrunner, The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC) menjadi agen fasilitas, dan PT Bank UOB Indonesia menjadi security agent. Selain diawaki ketiga bank tersebut, sindikasi beranggotakan PT Bank CIMB Niaga Tbk, Citibank NA, Standard Chartered Bank, dan PT Bank Maybank Indonesia Tbk.
Semula total plafon pinjaman sindikasi itu senilai USS 270 juta. Namun, pada 27 September 2017, perjanjian diubah. Plafon pinjaman dipangkas menjadi tinggal US$ 110 juta dengan opsi penambahan (accordion) hingga US$ 40 juta. Tapi, pada November 2018, perusahaan hanya mendapat penambahan US$ 28,5 juta sehingga total plafon menjadi US$ 138,5 juta.
PBRX juga menerbitkan global note senilai US$ 200 juta pada 26 Januari 2017. Surat utang ini dibanjiri peminat hingga terkumpul US$ 800 juta dari 106 investor. Didaftarkan di Singapura Stock Exchange, surat utang dengan suku bunga 7,625 persen per tahun dan jatuh tempo pada 26 Januari 2022 ini dipakai untuk melunasi fasilitas utang jangka pendek dan membiayai ekspansi.
Dua pinjaman bernilai jumbo yang jatuh tempo pada 1 Februari 2021 dan 26 Januari 2022 itulah yang kini memicu kekhawatiran, terutama dari kalangan kreditor. Pada awal Februari lalu, PBRX mendapat persetujuan perpanjangan penghentian sementara pembayaran bunga (standstill agreement) selama dua pekan, yakni dari 27 Januari 2021 menjadi 12 Februari 2021. Kondisi ini membuat Fitch Ratings menurunkan peringkat utang perusahaan dari CC menjadi C, yang mencerminkan potensi default awal.
Fitch menilai negosiasi panjang dan periode standstill yang pendek merefleksikan lemahnya posisi likuiditas perusahaan. Akses perseroan ke sumber pendanaan alternatif juga dinilai terbatas. Perpanjangan standstill yang terjadi beberapa kali juga menjadi sorotan. Fitch menilai resolusi terhadap struktur modal perusahaan hanya bisa dilakukan lewat restrukturisasi.
Manajemen Pan Brothers sebenarnya telah mengantongi restu dari rapat umum pemegang saham luar biasa, 26 Januari lalu, untuk menerbitkan surat utang global senilai US$ 350 juta. Global bond ini akan dicatatkan di Bursa Efek Singapura dan jatuh tempo pada 2026. Dananya akan dipakai untuk melunasi pinjaman perseroan dan anak usaha senilai US$ 171,08 juta yang jatuh tempo pada Januari 2022, juga refinancing utang sindikasi senilai US$ 138,5 juta tersebut. Sisanya buat modal kerja.
Di sisi lain, negosiasi refinancing berlanjut sampai perjanjian baru disepakati bersama sindikasi perbankan. Pan Brothers mengajukan permintaan perpanjangan tenggat dari Januari 2021 menjadi akhir Januari 2023. “Sudah hampir dikabulkan. Saya melapor ke Otoritas Jasa Keuangan supaya bisa diproteksi,” kata Anne.
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I Otoritas Jasa Keuangan Teguh Supangkat mengatakan, secara prinsip, lembaganya telah mengatur pembiayaan di era pandemi. Aturan tersebut berupa Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019, yang telah diperbarui dengan Peraturan OJK Nomor 48 Tahun 2020. Pada 29 Maret lalu, OJK juga melayangkan surat kepada bank umum konvensional dan bank umum syariah sebagai pedoman bagi perbankan untuk mengimplementasikan peraturan tersebut.
Menurut Teguh, ketentuan ini bertujuan membantu sektor riil supaya bisa terus bergerak dalam kondisi pandemi. “Juga agar bank terbantu,” tutur Teguh, Jumat, 30 April lalu.
Kementerian Perindustrian khawatir akan adanya stigma negatif di lingkungan perbankan ketika berhubungan dengan industri tekstil dan produk tekstil yang dianggap sebagai sunset industry. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Muhammad Khayam mengatakan faktanya tidak begitu. Sampai saat ini, dia menjelaskan, kinerja industri tekstil cukup baik sekalipun di tengah pandemi. “Sektor ini masih menjadi salah satu solusi sebagai penyerap tenaga kerja, dan sumber devisa.”
Berbeda dengan pemain besar, industri tekstil kelas usaha kecil dan menengah memang ngos-ngosan mengejar turunnya permintaan di tengah pelemahan ekonomi dan pandemi Covid-19. Bagi kebanyakan pabrik di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, misalnya, buka-tutup operasi sudah menjadi pemandangan biasa. Padahal kawasan sentra sarung ini dulu selalu ramai, terutama menjelang Ramadan dan Lebaran.
Direktur PT Citra Sandang Textile (Cisatex) Agus Ruslan kini bahkan ikut memasarkan sarung. Cisatex sebenarnya merupakan pabrik kain. Tapi permintaan yang minim membuat pabriknya tak setiap hari beroperasi. Semula Agus bisa menjual 500 kodi sarung dalam sehari. “Pas semobil itu. Sekarang cuma 5-10 kodi, dikirim pakai Gojek saja,” ujarnya.
Hampir tiga pekan ini mesin-mesin Cisatex dingin. Agus sama sekali tak menjalankannya. Perusahaan hanya mendapat pesanan 50 ribu meter kain, separuh dari kapasitas pabrik.
Bagi Agus, kondisi ini penuh dilema. Bila dipenuhi sekarang, permintaan itu tak akan masuk perhitungan bisnis. Sebab, selain ada ongkos operasi yang tinggi, perusahaan harus membayar tunjangan hari raya para pekerja. Makanya ia memilih menunda produksi sampai Lebaran terlewati.
Agus berkisah, Cisatex pernah sama sekali tak mendapat pembeli. Kala itu, beberapa bulan setelah wabah Covid-19 menyerang Indonesia, pabrik mandek. Perseroan tak mampu lagi membayar tagihan listrik, sampai PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) memutus sambungan setrum. Listrik menyala lagi setelah Agus menerima order. Dia membayar tunggakan tagihan dari duit hasil pembayaran awal pesanan.
Agus, yang juga Wakil Ketua Asosiasi Usaha Kecil Menengah Tekstil dan Produk Tekstil Majalaya, justru mempertanyakan berbagai program bantuan pemerintah kepada UKM yang banyak diberitakan di media massa. Pasalnya, tak satu pun bantuan yang sampai ke industri kecil di Majalaya. Ia mengaku pernah mengumpulkan sejumlah pelaku UKM untuk bersama-sama mengajukan proposal kepada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. “Tidak ada jawaban sampai hari ini,” ucap Agus.
Menurut Muhammad Khayam, Kementerian Perindustrian kini sedang berupaya menjaga pasar dalam negeri. Penyelamatan industri tekstil dan produk tekstil juga dilakukan terhadap permintaan pasar yang beberapa tahun terakhir tertekan oleh serangan produk impor. Opsi yang disiapkan berupa instrumen pengamanan perdagangan, khususnya safeguard, serta pengendalian melalui tata niaga impor.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo