Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Belum Maksimal di Ranah Digital

28 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketut Sukanada adalah contoh betapa digitalisasi tak hanya membuat pekerjaan lebih mudah, tapi juga hemat. Dua bulan belakangan, Manajer Operasional Samaja Villa-perusahaan jasa penginapan, spa, dan restoran di Seminyak, Bali-itu menggunakan aplikasi wireless fidelity (Wi-Fi) yang sekaligus jadi kolektor data. Selain membuat para tamunya bisa menikmati akses Internet gratis, Sukanada mengambil untung dengan memangkas anggaran promosinya.

Sasaran iklannya pun kini lebih terarah, berkat penghimpunan informasi yang otomatis dijaring dari setiap pengguna akses Wi-Fi yang ia pasang: akun Facebook, Twitter, Linkedln, Google+, Instagram, nomor telepon, dan sebagainya. Tak ada lagi promosi serampangan lewat media sosial dengan metode acak dan kerap salah sasaran seperti sebelumnya. "Kami bisa memangkas biaya promosi hingga 50 persen," kata Sukanada, Rabu pekan lalu.

Dari hari ke hari, semakin banyak kemudahan ditawarkan teknologi digital. Pada awal 2015, dunia e-commerce diramaikan oleh layanan sektor transportasi, seperti Go-Jek, GrabBike, dan Uber, yang memberi masyarakat lebih banyak pilihan transportasi umum. "Digital ekonomi menawarkan layanan kemudahan, yang tadinya rantainya panjang menjadi lebih pendek," ucap Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.

Ini pula yang membuat transaksi digital terus-menerus menunjukkan tren meroket. Dalam hitungan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), transaksi e-commerce mencapai US$ 12 miliar atau setara dengan Rp 168 triliun pada 2014 (nilai tukar per dolar Rp 14 ribu). Angka ini meningkat sekitar US$ 4 miliar dari transaksi tahun sebelumnya.

Besarnya transaksi itu berbanding lurus dengan animo masyarakat dalam berselancar di dunia maya. Riset Google Indonesia bersama GFK Indonesia pada November 2014-Februari 2015 terhadap 2.500 responden mendapatkan data jumlah pengguna Internet mencapai 61 persen di kota besar, seperti Jabodetabek, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Angka ini lebih besar dari penetrasi Internet tingkat nasional yang mencapai 30 persen.

Iyan Muhsinin, Managing Director Consumer Experiences GFK Indonesia, mengatakan tingginya penggunaan Internet didorong oleh membanjirnya telepon pintar (smartphone). Smartphone juga menjadi alat favorit untuk berbelanja secara online. "Sebanyak 78 persen orang berbelanja online lewat smartphone," ujarnya. Inilah salah satu sebab semakin lajunya pertumbuhan transaksi e-commerce.

Menurut Rudiantara, Presiden Joko Widodo tahu betul potensi ekonomi digital tersebut. Masalahnya, besarnya transaksi dan beragam kelebihan digital ini dianggap belum memberi kontribusi dalam perekonomian dan penerimaan pajak negara. Karena itu, dalam sidang kabinet pada akhir 2014, Jokowi meminta Rudiantara menyiapkan strategi. Bagaimana memperbesar manfaat teknologi ini bagi ekonomi sekaligus menemukan cara agar sumbangan bagi penerimaan negara bisa digenjot.

****

CO-Founder Wifimu, Ahmad Zakiy, mengatakan lahirnya aplikasi seperti yang digunakan Sukanada berawal dari keresahan pengusaha kelas menengah dan kecil yang kesulitan mempublikasikan bisnisnya kepada calon konsumen. Mereka yang kesulitan di antaranya pengusaha kafe, restoran, dan bisnis perhotelan dengan merek lokal.

Mayoritas pengusaha di bisnis tersebut menyediakan layanan Wi-Fi gratis untuk menarik minat pengunjung. Pengunjung memang datang, tapi, menurut Zakiy, Wi-Fi gratis malah menjadi beban bagi sebagian pengusaha. Ia mencontohkan sebuah kafe yang dikunjungi pelanggan yang hanya membeli secangkir cappuccino, tapi duduk berlama-lama karena asyik mengakses Wi-Fi gratis. Bagi pemilik kafe, pelanggan seperti ini merugikan karena menguras jatah lebar pita (bandwidth). Sedangkan pengunjung baru tak mendapat tempat. Peluang pendapatan tambahan bagi pemilik kafe pun tertahan.

Observasi terhadap perilaku pengguna Wi-Fi dilakukan Zakiy bersama rekan-rekannya pada Agustus tahun lalu. Jalan keluar dicari agar Wi-Fi bisa disulap: dari semula beban berubah menjadi aset yang menguntungkan pemiliknya. Pemuda 27 tahun itu menilai pemilik sangat senang bila tempat usahanya dipublikasikan. Maka dicarikanlah cara agar pengunjung otomatis bisa mempublikasikan tempat usaha melalui Wi-Fi. Berbekal ini, Zakiy dan timnya menciptakan sebuah aplikasi yang dinamai Wifimu. "Dengan publikasi dari pelanggan, Wi-Fi gratis bukan lagi beban."

Rudiantara mengatakan terobosan Wifimu dengan memberi kemudahan bagi masyarakat merupakan salah satu prinsip ekonomi digital, dan ujungnya menciptakan peluang transaksi keuangan atau e-commerce. Saat ini model bisnis itu bak cendawan selepas hujan. Belasan startup, seperti Wifimu, muncul di Indonesia.

Rudiantara membagi tiga tahap sebuah aplikasi digital menuju e-commerce: tahap awal (startup), pengembangan (development), dan stabil (established). E-commerce yang lebih dulu dikenal sebagai perdagangan secara online antara lain Tokopedia, Lazada, Bukalapak, dan OLX-sebelumnya Tokobagus.

Untuk menjalankan perintah Presiden, Rudiantara bergerak cepat. Ia menghubungi idEA untuk mempelajari postur e-commerce yang terus tumbuh. Sepanjang Januari lalu, Rudiantara menggelar dua kali pertemuan dengan komunitas ini. Dari sana, dia mulai memahami cakupan bisnis ini sangat luas dan fleksibel, bukan sekadar perdagangan retail secara online.

E-commerce adalah aktivitas bisnis digital yang bermuara pada terjadinya transaksi. Komoditas yang ditransaksikan bisa berupa barang atau jasa. Daniel Tumiwa, Ketua Umum idEA, mengatakan telah memprediksi pemerintah bakal agak telat merespons perkembangan e-commerce. Ketika asosiasi didirikan tiga tahun lalu, perbincangan ihwal bisnis ini tak sekencang sekarang. Namun Daniel ngotot menginisiasi pembentukan asosiasi agar kelak, jika pemerintah mulai sadar, pelaku e-commerce sudah terorganisasi. "Agar kami satu suara."

Sebulan berdiskusi dengan asosiasi, Rudiantara mempresentasikan empat halaman soal rancangan peta jalan (roadmap) e-commerce dalam rapat yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, Februari lalu. Presentasinya berisi tujuh langkah yang harus diperbaiki agar bisnis ini meroket.

Tujuh langkah itu menyangkut perbaikan pada sistem pembayaran nasional (national payment gateway/NPG), pendanaan bagi startup digital, perlindungan konsumen, pajak, konektivitas, dan logistik. Dari tujuh hal yang masih jadi kendala tersebut, para pelaku usaha di jalur maya menganggap penciptaan NPG yang bisa dilacak dengan akurat dan tepercaya sebagai kebutuhan yang paling mendesak. Sebab, lantaran sistem pembayaran masih acak, belum ada instansi yang mampu secara tepat menghitung nilai transaksi e-commerce.

Sebanyak 57 persen transaksi masih berupa transfer antarbank, 28 persen pembayaran tunai (cash on delivery/COD), dan 7 persen menggunakan transaksi kartu kredit. Akibat sulitnya mendeteksi transaksi keuangan, potensi pajaknya pun tak mudah dilacak. "Soal NPG menjadi kewenangan otoritas keuangan," kata Rudiantara. "Kementerian Kominfo bertanggung jawab pada infrastruktur broadband agar Internet tidak lemot dan aman."

Di tengah perumusan peta jalan tersebut, Kementerian Perdagangan menyodorkan rancangan peraturan pemerintah soal e-commerce pada Juni lalu. Rancangan ini dibagikan kepada idEA serta tim Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Seorang pegawai yang ikut merumuskan regulasi ini mengaku heran terhadap langkah Kementerian Perdagangan. Sebab, tim hanya menunjukkan isi rancangan, lalu ditarik kembali saat forum pembahasan berakhir. "Kami tidak bisa membahas rancangan tersebut," ujar pegawai tersebut.

Daniel Tumiwa juga kaget karena rancangan berisi 66 pasal itu memuat aturan yang ketat. Misalnya, semua bisnis digital yang beroperasi di Indonesia harus berbadan hukum Indonesia. Artinya, perusahaan digital asing, seperti Facebook dan Twitter, pun harus berbadan hukum dan setidaknya punya kantor di sini. "Apa benar pemerintah akan membatasi seperti itu?"

Anehnya lagi, dia melanjutkan, soal perlunya NPG yang mendesak justru tidak disinggung dalam rancangan tersebut. Itu juga berarti bahwa perumusan rancangan tidak berjalan beriringan dengan roadmap yang dibuat Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Fetnayeti, Direktur Bina Usaha Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, membantah adanya benturan dalam penyusunan regulasi e-commerce. Menurut dia, rancangan peraturan pemerintah buatan Kementerian Perdagangan hanya salah satu bagian dari peta jalan yang sedang disusun Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Tujuan rancangan tersebut untuk meningkatkan perlindungan konsumen dalam bertransaksi dalam jaringan. "Juga kepastian berusaha bagi pelaku e-commerce," ucapnya. Adapun soal pembayaran, rancangan peraturan pemerintah hanya menyebutkan adanya NPG, tapi ketentuan selanjutnya akan diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia.

****

SEBAGAI salah satu pelaku usaha di sektor ini, Ahmad Zakiy mengatakan pemerintah harus jeli melihat startup sebagai lazimnya bisnis yang lain. Meski dianggap sebagai model bisnis modern yang menjanjikan, kata dia, startup digital juga kerap diwarnai kegagalan. "Ini terlihat sebagai bisnis rock star yang keren, padahal tetap berdarah-darah," ujarnya.

Daniel Tumiwa membenarkan anggapan tersebut. Ia memastikan belum ada pelaku e-commerce besar di Indonesia yang sudah meraup laba tunai dari bisnis digitalnya. Keuntungan kontan bisa dikantongi ketika diakuisisi investor besar. "Ongkos investasi ini masih berasal dari suntikan investor," kata Daniel, yang juga menjabat Chief Executive Officer OLX.co.id.

Seorang pelaku startup bisnis mengingatkan pemerintah tak lekas silau oleh wajah bisnis digital. Menempatkan dan memperlakukan sektor ini secara wajar diperlukan agar regulator teliti dan waspada pada kemungkinan munculnya para pengemudi gelap yang mengambil keuntungan sesaat. Mereka, menurut dia, adalah pengusaha startup yang hanya bertujuan mendatangkan dana besar dari investor atau menghimpun dana publik melalui penawaran saham perdana (initial public offering/IPO).

Jika tak dikelola dengan benar, kata dia, bukan tak mungkin akan ada masyarakat yang jadi korban. Sebab, banyak pemilik dana yang belum memahami benar seluk-beluk dan risiko bisnis ini.

Cara kerja pengemudi gelap ini bisa digambarkan seperti kisruh investasi Busang pada 1990-an. Pebisnis nakal di balik tambang Busang mengklaim memiliki kandungan emas hingga puluhan juta ons di Indonesia. Publikasi ini digeber hanya untuk meraup dana dari investor di pasar bursa Kanada. Belakangan, tambang emas yang mereka janjikan ternyata bodong belaka. Banyak investor tertipu.

"Dalam bisnis digital, ada pelaku yang hanya berspekulasi seolah-olah startup yang ia tawarkan itu keren dan menguntungkan," ujar pengusaha ini. "Padahal belum jelas bagaimana caranya mendatangkan profit."

Menteri Rudiantara mengakui belum ada pembahasan aturan yang bisa mencegah kejahatan ekonomi di balik startup digital. "Sulit mencegah yang demikian," katanya.

Akbar Tri Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus