Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila ada yang bertempik-sorak kegirangan atas kenaikan harga tiket pesawat, mereka pasti pengusaha otobus. Salah satunya Kurnia Lesani Adnan, Direktur Utama PT Siliwangi Antar Nusa (SAN). SAN adalah perusahaan otobus yang berbasis di Bengkulu dan beroperasi di Jawa tembus ke Sumatera. “Sekarang bisnis angkutan bus bergairah lagi,” kata Sani—panggilan Kurnia Lesani—di kantornya di Jakarta Timur, Kamis, 25 April lalu.
Gairah itu menggeliat sejak harga tiket pesawat domestik melompat hampir dua kali lipat sejak akhir tahun lalu, tepatnya saat arus mudik Natal 2018 dan tahun baru 2019. Setelah naik, harga tiket pesawat tidak kunjung turun lagi. Sejumlah perusahaan otobus, termasuk SAN, mulai kecipratan penumpang yang beralih dari angkutan udara ke angkutan darat.
Sejak terpuruk akibat era penerbangan murah (low-cost carrier), sebagian perusahaan otobus telah mengatur siasat dengan menggeser sejumlah rute. Dari sebelumnya melayani rute kota-kota besar seperti ibu kota provinsi, mereka menyasar kota kecil seperti ibu kota kabupaten, bahkan kecamatan. SAN misalnya. Alih-alih menempuh rute Bengkulu-Padang, busnya mengambil trayek Bengkulu-Padang Pariaman. Perusahaan otobus juga memaksimalkan keunggulannya, yaitu mampu mengangkut bawaan penumpang dengan jumlah banyak tanpa biaya tambahan.
Pada era penerbangan murah, tarif Jakarta-Yogyakarta saat pasar sedang sepi (low season) hanya sekitar Rp 300 ribu, sebelas dua belas dengan tiket bus malam rute yang sama. “Perusahaan otobus tidak bisa bersaing,” tutur Deny Kusdiana, Kepala Subdirektorat Angkutan Orang Antarkota Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan.
Tak aneh bila Sani merelakan rute Bengkulu-Padang kepada Wings Air, lini penerbangan kota-kabupaten maskapai Lion Air. Pada era tiket pesawat murah, harga rata-rata tiket Wings Air yang melayani rute itu Rp 450 ribu. Sedangkan ongkos bus Bengkulu-Padang Pariaman Rp 235 ribu. “Sekarang tiket Wings Air di sana Rp 800 ribu-1 juta. Insya Allah kami bisa pertahankan pasar,” ujar Sani.
Lorena punya siasat lain. Menurut Direktur PT Eka Sari Lorena Transport Tbk (LRNA) Dwi Ryanta Soerbakti, perusahaannya sudah lama melikuidasi sejumlah rute yang kedodoran melawan pesawat. Salah satunya Jakarta-Yogyakarta. “Kami tak ragu menutupnya agar tidak terus merugi,” kata Ryanta di kantor Lorena di Bogor, Jawa Barat, Selasa, 23 April lalu.
Lorena sedang berdandan. Salah satu perusahaan otobus tertua di Indonesia ini ingin berganti rupa dari penyedia transportasi massal publik menjadi perusahaan transportasi massal butik. Rute-rute yang bersinggungan langsung dengan pesawat dan kereta api ditutup. Perusahaan pun memperbanyak bus dua tingkat. “Sekarang kami hajar rute Jakarta-Madura dengan bus tingkat,” tutur Ryanta. “Kami beli busnya masing-masing Rp 3,5 miliar, tunai!”
Tapi pergeseran rute menghindari perkelahian dengan pesawat dan kereta itu tak langsung membuat buku perusahaan hijau. Jumlah penumpang tetap saja turun. Pada 2018, SAN hanya mengangkut 166.812 penumpang, turun dari capaian 2017 yang sebanyak 175.575.
Penurunan jumlah penumpang Lorena tidak kalah dalam. Pada 2015, Lorena mampu menjual 491.098 kursi dari 807.981 kursi tersedia. Setahun kemudian, kursi yang terjual cuma 366.473. Adapun pada 2017 hanya 312.232 kursi.
Bus Lorena di Terminal Pulogebang (atas)./TEMPO/STR/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Baru sejak Desember 2018 arus penumpang bus Lorena naik lagi. “Rute Jakarta-Denpasar milik kami penuh terus sekarang,” ucap Ryanta. Kursi-kursi Lorena mulai penuh ketika harga tiket pesawat Jakarta-Denpasar melompat, paling murah Rp 1 juta. Sebelum itu, kursi-kursi Lorena maksimal hanya terisi 60 persen, ketika tiket pesawat Jakarta-Denpasar masih berkisar Rp 600 ribu.
Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi, sejak harga tiket pesawat naik, jumlah penumpang bus ikut melonjak sampai 25 persen. Angka itu ia dapatkan dari laporan sejumlah perusahaan otobus. Pemicu lain, kata Budi, jalan tol Trans Jawa sudah tembus sampai Solo sejak Desember tahun lalu. “Praktis penumpang pesawat yang ke arah Solo Raya turun semua jumlahnya,” ucap Budi di kantornya, Kamis, 25 April lalu.
Salah satu perusahaan otobus yang menikmati kenaikan jumlah penumpang untuk area Solo Raya itu adalah PT Putera Mulya Sejahtera. Perusahaan ini berbasis di Wonogiri, Jawa Tengah. Pada Januari 2016, Kurnia Lesani Adnan dan Glenn Adiprana Widodo berkongsi mengakuisisi Putera Mulya dari P.H. Soegiyono, sang pendiri. Sejak itu, Putera Mulya menggarap pasar premium dengan membeli beberapa bus dua tingkat dan bus premium.
Pada November 2018, Putera Mulya hanya mengangkut 27.856 penumpang dari rute Jakarta-Wonogiri dan Jakarta-Yogyakarta. Sebulan kemudian, ketika harga tiket pesawat melonjak dan bertepat-an dengan arus mudik Natal 2018 dan tahun baru 2019, Putera Mulya mengangkut 39.191 penumpang. Kenaikan pada akhir tahun lalu itu berlanjut sampai kuartal pertama 2019. Putera Mulya mampu mengangkut 90.539 penumpang, naik 12 persen dibanding pada kuartal pertama 2018 yang hanya 80.510 penumpang.
Pemerintah membaca potensi kembalinya gairah angkutan bus ini. Dengan kenaikan tarif tiket pesawat, menurut Deny Kusdiana, bus tinggal berduel dengan kereta api. Setelah jalan tol Trans Jawa tersambung, persaingan dua moda itu makin ketat karena waktu tempuh keduanya berbeda tipis. Harga tiket bus eksekutif pun relatif lebih murah ketimbang kereta kelas yang sama.
Potensi itu berupa rute premium Jakarta-Surabaya dengan bus Trans Jawa. Menurut Deny, bus ini akan melayani trayek Jakarta-Surabaya dan berhenti di Tegal, Pemalang, Semarang, serta Solo tanpa keluar dari jalan tol. Perusahaan otobus akan menyediakan bus sedang yang mendistribusikan penumpang di titik perhentian, yang rencananya berada di area istirahat jalan tol, menuju pusat kota.
Pemerintah merancang rute dan standar pelayanannya. Perusahaan otobus yang menyediakan armada dan menjalankan bisnisnya. “Tinggal menunggu izin Kementerian Pekerjaan Umum untuk menggunakan area istirahat tol sebagai tempat perhentian,” tutur Deny.
Kementerian Perhubungan telah memanggil sejumlah perusahaan otobus untuk mengoperasikan rute premium ini, terutama operator bus malam kelas eksekutif. Beberapa perusahaan antusias, seperti Harapan Jaya dan Rosalia Indah, yang masing-masing berkomitmen menyediakan 20 bus untuk rute premium itu. “Yang lain ada enam atau tujuh bus,” kata Deny.
Pertemuan terakhir Kementerian dengan perusahaan otobus berlangsung pada 8 April lalu. Kurnia Lesani Adnan salah satu yang hadir, mewakili Putera Mulya.
Menurut Sani, sebelum wacana bus Trans Jawa versi pemerintah bergulir, perusahaannya sebetulnya sudah menjajaki-nya sejak Februari lalu. Namanya sama. Namun bus Trans Jawa ala Putera Mulya hanya beroperasi dari Jakarta sampai Solo dan Yogyakarta.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi sudah menerima laporan dari sejumlah perusahaan otobus. Banyak yang telah berencana menambah unit armada baru, juga rute baru. Inilah pertanda bus telolet, yang menjadi ciri khas klakson bus antarkota, akan nyaring kembali.
KHAIRUL ANAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo