Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TADINYA pasar mengira gelombang biru bakal melanda Amerika Serikat. Joe Biden menjadi Presiden Amerika ke-46 dengan dukungan kuat Partai Demokrat yang menguasai mayoritas Kongres dan Senat. Biru adalah warna Partai Demokrat. Gelombang biru itu ternyata terbendung. Tapi investor di negara-negara berkembang tetap girang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski penghitungan suara masih berjalan ketat menegangkan, dan Partai Demokrat tampaknya tak akan berhasil merebut mayoritas Senat, pasar negara berkembang sudah bergerak cepat. Investor sudah mengantisipasi dampak positif dari peralihan tampuk kepresidenan Januari mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini sebetulnya agak spekulatif mengingat kemenangan Biden belum final. Bukan tak mungkin akan muncul sengketa soal penghitungan suara yang bisa bikin suasana karut-marut. Tapi investor seolah-olah tak peduli, terbenam pada keriangan yang cenderung berlebihan.
Satu hal, misalnya, pasar mengantisipasi perdagangan internasional yang lebih lancar jika Biden kelak mempereteli pagar-pagar proteksionisme buatan Presiden Donald Trump. Amerika akan berdagang dengan lebih bebas. Banyak negara berkembang akan mendapat manfaat, terutama yang masih bergantung pada pasar Amerika sebagai tujuan ekspor.
Jika Amerika lebih membuka diri, defisit perdagangannya juga bisa kian lebar. Ini berpotensi membuat dolar Amerika melemah. Banyak negara berkembang, yang belakangan ini mata uangnya tertekan kuatnya dolar Amerika, bisa bernapas lebih lega.
Indonesia, misalnya. Jika tekanan pada rupiah mengendur, tentu Bank Indonesia bisa lebih leluasa menentukan kebijakan, tak usah terlalu cemas nilai rupiah akan luruh jika hendak menurunkan suku bunga. Suku bunga yang lebih rendah membuat ekonomi lebih bergairah.
Kabar baik bagi pasar negara berkembang bukan cuma hasil pemilihan umum. Kamis, 5 November, di tengah ketegangan penghitungan suara, Ketua The Fed Jay Powell memberi sinyal yang kian membuat pasar negara berkembang terbuai melayang. Powell menegaskan, kebijakan The Fed tak akan berubah. Suku bunga akan tetap terikat kuat di titik terendah, antara nol dan seperempat persen. Pembelian obligasi oleh The Fed, yang berarti suntikan likuiditas dolar ke pasar, juga tidak akan menyurut.
Powell menyitir perkembangan buruk wabah Covid-19 yang kini kian ganas di Amerika dan Eropa sebagai ihwal keputusan The Fed untuk tetap menjaga suku bunga serendah-rendahnya. Masih merebaknya wabah, bahkan di Amerika tambahan penderita baru per hari masih terus mencetak rekor, membuat The Fed yakin suku bunga harus tetap rendah agar ekonomi tidak kolaps.
Di mata investor negara berkembang, tak ada hal yang lebih mengerikan selain menyurutnya likuiditas dolar dan kenaikan suku bunga The Fed. Dolar yang melimpah dan murah karena bunga rendah merupakan bahan bakar utama yang membuat mesin pasar finansial di negara-negara berkembang tetap hidup berdenyut.
Maka, ketika The Fed seolah-olah memberi jaminan bahwa dua hal penting itu tetap eksis, pasar seperti tersengat gelombang kejut yang menyenangkan. Rupiah, misalnya, menguat dengan sangat drastis, 2,27 persen hanya dalam tempo sepekan. Di akhir pekan 6 November, nilai tukar rupiah berkisar 14.200 per dolar Amerika. Harga saham di bursa Indonesia juga tak mau kalah, rata-rata naik 4,04 persen dalam kurun yang sama.
Pasar tak peduli pada berita yang begitu gencar bahwa Indonesia sudah resmi masuk resesi karena ekonomi selama dua kuartal berturut-turut tumbuh negatif. Investor yang bijak akan menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang negatif itu sudah lewat. Itu ibaratnya sekadar catatan sejarah yang sudah terjadi sejak April hingga September lalu. Kelesuan itu juga sudah tecermin pada harga aset-aset finansial di pasar jauh hari sebelum ini.
Penentu utama pergerakan harga aset finansial saat ini dan di masa mendatang bukanlah catatan sejarah kinerja ekonomi. Apa yang akan terjadi besok, sebulan, atau mungkin setahun mendatang, itulah yang lebih menentukan pergerakan nilai tukar, suku bunga, imbal hasil obligasi, ataupun harga saham.
Jadi tak ada guna meributkan resesi. Senyampang sentimen positif dari Amerika sedang melanda Indonesia, nikmati saja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo