Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BREN terlempar dari indeks FTSE Global.
Grup Barito Pacific diduga terafiliasi dengan pemegang saham free float.
Harga saham BREN terus merosot.
SEJAK FTSE Russell mencoret PT Barito Renewables Energy (BREN) dari daftar indeks saham FTSE Global Equity Index pada pertengahan September 2024, harga saham perusahaan itu langsung sempoyongan. Prajogo Pangestu, bos Grup Barito yang menjadi induk usaha BREN, sampai harus merogoh kocek untuk menahan kejatuhan saham perusahaan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Rabu, 2 Oktober 2024, Prajogo menebus 16.712.500 lembar saham BREN dari pasar dengan harga rata-rata Rp 6.776 per lembar. Sehari kemudian, Prajogo kembali memborong saham BREN sebanyak 9.899.100 lembar. Kali ini harganya Rp 6.845 per lembar. Dalam dua hari tersebut, Prajogo sudah menghabiskan Rp 181 miliar untuk menebus 26 juta lembar saham perusahaan miliknya dari tangan orang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia, Direktur dan Sekretaris Perusahaan BREN Merly mengatakan aksi Prajogo merupakan investasi pribadi sekaligus upaya mempertahankan kendali perusahaan. Menurut Merly, investasi tersebut dilatari kepercayaan Prajogo terhadap BREN, perusahaan yang sedang memperluas bisnis di sektor energi baru dan energi terbarukan. "Barito Renewables memiliki komitmen kuat untuk terus menggarap sektor energi baru-terbarukan," kata Merly dalam keterangan di keterbukaan Bursa Efek Indonesia pada Kamis, 3 Oktober 2024.
Saham PT Barito Renewables Energy (BREN) Resmi Tercatat di Bursa Efek Indonesia, 9 Oktober 2023. baritorenewables.co.id
PT Barito Pacific Tbk (BRPT) sampai saat ini memegang 64,66 persen saham BREN. Porsi kepemilikan itu tak berubah sejak perusahaan ini menawarkan saham di Bursa Efek Indonesia pada Oktober 2023. Meski jorjoran, pembelian saham BREN oleh Prajogo seakan-akan tak menolong kejatuhan harganya. Pada 19 September 2024, sebelum dicoret dari daftar FTSE Global Equity Index, harga saham BREN mencapai Rp 11.025 per lembar. Setelah FTSE mengumumkan pencoretan saham itu, harganya turun menjadi Rp 8.825 pada 20 September dan Rp 7.075 pada 23 September.
Hampir sebulan harga saham BREN bertengger di level sekitar Rp 7.000. Pada penutupan perdagangan Kamis, 17 Oktober 2024, harganya berada di level Rp 7.175 per lembar. Meski terus merosot, angka tersebut masih jauh di atas harga saat saham BREN pertama kali dilepas ke publik, yaitu Rp 780 per lembar.
•••
BUKAN kali ini saja Prajogo Pangestu menebus saham BREN. Konglomerat yang dijuluki "Raja Kayu" ini tercatat menambah saham BREN pada 10 Juni 2024 sebanyak 37.848.800 lembar dan dua hari kemudian sebanyak 10 juta lembar. Harga saham itu saat dibeli Prajogo tidak disebutkan. Namun situasi saat itu sama seperti pada awal Oktober 2024, ketika harga saham BREN anjlok.
Saham BREN saat itu jatuh setelah masuk Papan Pemantauan Khusus II yang diperdagangkan dengan skema full periodic call auction atau full call action (FCA) pada 29 Mei 2024. Pada 22 Mei, harga saham BREN masih berada di level Rp 11.250 per lembar. Setelah itu harganya terus longsor hingga menjadi Rp 6.050 pada 7 Juni dan baru kembali ke level dua digit, yaitu Rp 10.075, pada 28 Juni.
Jatuhnya harga saham BREN menjadi rumor di kalangan pelaku pasar. Sebab, ketika perusahaan induk bisnis energi terbarukan Grup Barito Pacific itu menawarkan sahamnya kepada publik pada 9 Oktober 2023, kinerjanya cukup moncer. Ketika itu harga saham BREN ditawarkan pada level Rp 780 sebanyak 4.015.000.000 lembar. Saham ini pun mengalami oversubscribed atau kelebihan pemesanan hingga 4,36 kali. Total ada 58.553 investor yang menjadi pemilik saham BREN. Dari aksi korporasi tersebut, BREN memperoleh dana segar Rp 3,13 triliun. Harga saham initial public offering (IPO) itu membuat nilai pasar BREN mencapai Rp 104,353 triliun.
Pekerja melintas di dekat layar digital yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumar 28 Juni 2024 TEMPO/Tony Hartawan
Tak butuh waktu lama bagi BREN untuk melesat. Empat hari setelah IPO, harga sahamnya langsung melambung menjadi Rp 2.360. Pada 8 Desember 2023, harganya mencapai Rp 8.050 per lembar. Namun saham BREN bolak-balik terkena auto rejection atas karena kenaikan harganya kerap melewati batas yang ditetapkan Bursa Efek Indonesia. BREN juga berkali-kali terkena auto rejection bawah ketika harganya anjlok.
Karena itu, beberapa kali otoritas bursa mengenakan suspensi atau penghentian perdagangan saham BREN untuk sementara waktu. Hingga akhirnya BREN masuk Papan Pemantauan Khusus pada 29 Mei 2024. Saat itu saham BREN sudah kena cekal atau suspensi lebih dari sehari. Otoritas bursa pun memasukkan saham BREN ke Papan Pemantauan Khusus.
Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia menerapkan kebijakan Papan Pemantauan Khusus II dengan metode perdagangan lelang panggilan berkala penuh atau full periodic call auction sejak 25 Maret 2024. Kriteria saham yang masuk papan ini antara lain harga rata-ratanya dalam enam bulan terakhir di bawah Rp 51 per lembar, laporan keuangan audit terakhir berstatus disclaimer, ekuitas negatif dalam laporan keuangan terakhir, tidak memenuhi syarat saham publik (public free float), dan sedang dalam permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) hingga pailit.
Dalam Papan Pemantauan Khusus II, semua saham yang tercatat akan diperdagangkan dengan skema full call auction atau FCA. Artinya, saham tersebut tak bisa lagi diperdagangkan secara konvensional dengan mekanisme lelang berkelanjutan (continuous auction), yakni harga saham terus diperbarui berdasarkan penawaran dan permintaan pasar. Dengan FCA, saham diperdagangkan melalui permintaan dan penawaran harga pada jam tertentu saja dan berdasarkan volume terbesar.
Perusahaan dengan kapitalisasi besar seperti BREN kemudian menjadi perhatian karena masuk Papan Pemantauan Khusus dan diperdagangkan dengan skema FCA. Ibaratnya saham kelas kakap ini malah satu keranjang dengan "saham gocap", yakni saham emiten atau perusahaan yang tercatat di bursa dengan harga rendah atau karena kondisi tertentu, misalnya laporan keuangan dengan opini hasil audit disclaimer, mencatatkan ekuitas negatif, atau masuk skema PKPU dan nyaris pailit.
Star Energy Geothermal (Wayang Windu) Limited mengoperasikan kapasitas listrik sebesar 230,5 MW di Kec. Pangalengan, Kabupaten Bandung. baritorenewables.co.id
OJK dan Bursa Efek Indonesia (BEI) percaya kebijakan ini mampu mengurangi volatilitas harga saham sehingga melindungi investor dari saham gorengan dan membuat saham diperdagangkan dengan harga yang wajar. “Ini selaras dengan tujuan meningkatkan perlindungan investor serta mewujudkan perdagangan yang teratur, wajar, dan efisien,” demikian keterangan BEI saat itu.
Namun kebijakan ini memicu reaksi. Sejumlah emiten, termasuk BREN, memberikan masukan ketika OJK dan otoritas bursa mulai meminta pendapat emiten saat hendak merevisi peraturan tersebut belakangan. OJK dan BEI kemudian merevisi aturan Papan Pemantauan Khusus II pada 21 Juni 2024. Revisi aturan ini membuat BREN langsung keluar dari papan tersebut dan harga sahamnya berangsur pulih.
Pada 28 Juni 2024, sepekan setelah saham BREN keluar dari Papan Pemantauan Khusus, harganya berada di level Rp 10.075 per lembar. Harga saham itu kembali terbang setelah FTSE Russell mengumumkannya masuk FTSE Global Equity Index sebagai large cap (saham perusahaan berkapitalisasi besar) periode Juni 2024, yang berlaku mulai 24 Juni 2024. “Masuknya BREN ke indeks ini juga merupakan apresiasi dari pasar terhadap langkah-langkah ekspansif yang telah dilakukan, di antaranya akuisisi pembangkit tenaga angin,” tutur Direktur dan Sekretaris Perusahaan BREN Merly pada 26 Mei 2024.
FTSE Global Equity Index adalah indeks saham buatan FTSE Russell, entitas bagian dari Bursa Efek London atau London Stock Exchange. Indeks ini menjadi acuan investor dunia dalam mengambil keputusan investasi. Dengan kata lain, perusahaan yang sahamnya masuk FTSE Global Equity Index biasanya menjadi incaran investor global dan berpeluang mengeruk dana jumbo dari pasar. Saham yang bisa masuk indeks ini adalah milik perusahaan dengan persentase saham free float di atas 5 persen, punya likuiditas tinggi, dan aktif diperdagangkan.
Namun, setelah menikmati kenaikan harga hingga Rp 11.775 per lembar, pada pertengahan September 2024, nasib BREN berbalik. FTSE Russell mengeluarkan saham tersebut dari daftar indeks lantaran ada persoalan dalam kepemilikan saham. Menurut pernyataan FTSE Russell, BREN akan dihapus dari daftar indeks sejak pembukaan perdagangan Rabu, 25 September 2024. "Ini akibat ada empat pemegang saham yang menguasai 97 persen dari total saham yang diterbitkan BREN," demikian pernyataan lembaga itu.
Menurut seorang petinggi otoritas pasar modal, sebelum FTSE Russell bertindak, perkara kepemilikan saham BREN itu sudah menjadi catatan ketika perusahaan tersebut mengajukan permohonan IPO. Menurut dia, otoritas bursa mendeteksi saham free float BREN bisa jadi bermasalah.
Dalam prospektus IPO, BREN melaporkan PT Barito Pacific selaku pemegang saham pengendali menguasai kepemilikan 66,67 persen. Pemilik lain adalah Green Era Energy Pte Ltd, perusahaan yang juga terafiliasi dengan Prajogo Pangestu, yang memiliki saham 24,33 persen. Total saham kedua perusahaan itu sebelum IPO sebesar 91 persen. Sisanya dipegang oleh dua perusahaan asal Singapura, Jupiter Tiger Holdings dan Prime Hill Fund, masing-masing 4,5 persen.
Prajogo Pangestu. barito-pacific.com
Menjelang IPO, para pemegang saham itu secara pro-rata melepas 3 persen kepemilikan saham masing-masing untuk ditawarkan kepada publik. Walhasil, setelah IPO, saham Barito Pacific tersisa 64,67 persen, Green Era 23,62 persen, serta Jupiter Tiger dan Prime Hill Fund masing-masing 4,36 persen. Dengan demikian, saham free float BREN menjadi 11,72 persen yang terdiri atas saham publik 3 persen serta akumulasi saham Jupiter Tiger dan Prime Hill sebesar 8,72 persen.
Dengan komposisi saham tersebut, BREN dapat menggelar IPO. Berdasarkan Ketentuan III.2.6.3 Peraturan No. I-A Bursa Efek Indonesia, perusahaan dengan ekuitas lebih dari Rp 2 triliun seperti BREN wajib memiliki jumlah saham free float setelah IPO minimal 10 persen dari jumlah saham yang akan dicatatkan di bursa. Saham free float adalah saham yang dimiliki satu entitas kurang dari 5 persen, tidak dimiliki oleh entitas pengendali ataupun afiliasinya, bukan milik anggota dewan komisaris ataupun direksi, atau bukan saham yang telah dibeli kembali oleh perusahaan.
Ketika melakukan IPO, BREN mengklaim Jupiter Tiger dan Prime Hill tidak terafiliasi dengan pengendali. Tapi, sebulan kemudian, klaim ini mendapat catatan dari PT Datindo Entrycom, biro penunjang administrasi efek. Dalam laporan saham free float BREN per 30 Oktober 2023, Datindo memberikan tanda bintang. Artinya, jumlah saham dan persentase saham free float BREN yang disebut sebesar 11,7 persen dianggap “belum memperhitungkan jumlah saham yang terafiliasi dari pengendali”. Tanda bintang ini masih bertahan dalam laporan saham free float BREN per 30 November dan Desember 2023.
Hal ini memicu kecurigaan pelaku pasar modal bahwa Jupiter Tiger dan Prime Hill diduga terkait dengan para pengendali BREN, yaitu Barito Pacific dan Prajogo Pangestu. Dalam dokumen prospektus IPO BREN disebutkan ada delapan pemegang saham Jupiter Tiger. Tercatat nama Brutsch Urs Stefani yang memegang saham 43,84 persen, Stephane Robert Schmid (20,69 persen), dan Michael Foo Sek Boon (16,35 persen). Orang-orang ini diduga terafiliasi dengan HP Wealth Management Pte Ltd, firma pengelola kekayaan yang berbasis di Singapura.
Adapun pemegang saham Prime Hill Fund, seperti tertulis dalam prospektus BREN, adalah Steve Knabl (50 persen) dan Olivier Mivelaz (50 persen). Seperti para pemegang saham Jupiter Tiger, pemegang saham Prime Hill Fund ditengarai terafiliasi dengan perusahaan pengelola keuangan Swiss-Asia Holding Pte Ltd yang berbasis di Singapura. Knabl adalah managing partner dan direktur operasi Swiss-Asia Financial Services. “Jupiter dan Prime adalah lembaga keuangan. Bisa saja mereka hanya mengelola kontrak pengelolaan dana dari penitip, bukan pemegang saham sesungguhnya,” ucap seorang pejabat pasar modal.
Namun Direktur dan Sekretaris Perusahaan BREN Merly, membantah jika Barito Pacific selaku pengendali BREN disebut terkait dengan perusahaan-perusahaan itu. “Barito tidak memiliki saham ataupun kontrak pengelolaan dana di Swiss-Asia Holding Pte Ltd dan HP Wealth Management,” ujarnya pada Jumat, 18 Oktober 2024.
Ihwal dikeluarkannya BREN dari indeks FTSE, Merly mengatakan penyebabnya adalah adanya konsentrasi kepemilikan saham BREN oleh empat pemegang saham sebesar 97 persen. Namun, dia menjelaskan, hal ini bukan karena tidak terpenuhinya ketentuan mengenai free float. Menurut Merly, kondisi tersebut berlangsung sejak IPO. “Sejak sebelum IPO sampai hari ini, tidak terdapat perubahan material terhadap kepemilikan saham oleh empat pemegang saham tersebut,” katanya.
Sedangkan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Inarno Djajadi mengatakan dikeluarkannya BREN dari daftar indeks FTSE dipicu implementasi kebijakan baru FTSE Russell tentang penentuan high shareholding concentration. Adapun ihwal Jupiter Tiger dan Prime Hill, nama-nama pemiliknya telah diungkapkan dalam prospektus BREN. “Informasi dari Biro Administrasi Efek menjadi salah satu sumber data dalam asesmen perhitungan free float,” tuturnya pada Jumat, 18 Oktober 2024. “OJK secara berkelanjutan memantau penerapan kebijakan perhitungan free float. OJK juga meminta bursa terus melakukan kajian dan evaluasi, baik terhadap penerapan maupun ketentuan pengaturannya.”
Di sisi lain, sejak akhir September 2024, Bursa Efek Indonesia mengkaji ketentuan free float saat IPO. Otoritas pasar modal mempertimbangkan faktor yang akan diakui sebagai free float hanyalah saham yang ditawarkan kepada publik. “Hal ini akan kami tuangkan dalam rancangan perubahan peraturan dan kami mintakan pertimbangan publik,” ucap I Gede Nyoman Yetna, Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia.
Dengan cara ini, Bursa Efek Indonesia berupaya mempersempit peluang main-main dalam mekanisme IPO.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Longsor Lantaran Saham Terapung"