Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Berebut Uang Udang Karang

Menteri Edhy Prabowo berencana mengubah aturan lobster peninggalan Susi Pudjiastuti. Melibatkan lobi-lobi para pengusaha.

4 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berencana mengubah tata niaga lobster.

  • Lobi pengusaha mendorong pencabutan larangan penangkapan dan perdagangan benih lobster.

  • Rencana relaksasi untuk bisnis pembesaran dianggap bermasalah lantaran budi daya dicurigai hanya menjadi kedok penyelundupan benur.

MATAHARI sudah sepenggalah. Titik-titik dari tengah segara itu mulai mendekat ke rantau. Seiring dengan debur yang bersahutan, rupanya makin jelas. Bertambah banyak jumlahnya. Pagi itu, sehari sebelum perayaan Natal 2019, belasan ban dalam terhuyung di pecahan ombak Pantai Cidahon, Desa Kertamukti, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Tubuh-tubuh menelungkup di atasnya berkecipak perlahan di depan alun yang sesaat lagi menerjang pantai berkarang.

Bikin bin Kasturi, 48 tahun, menjadi yang kedua berhasil mendaratkan ban tunggangannya. Satu ban lagi yang lebih besar terikat di sebelah kakinya yang mengenakan sepatu bebek bikinan tangan. Sejumlah pria dan perempuan yang dari tadi berteduh di pondok beratap daun kelapa di pangkal pantai telah bersiap di pinggiran untuk membantu memanggulkan ban ke pundak para nelayan ban itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Nelayan ban setelah mengambil jaring lobster di Pantai Cidahon, Desa Kertamukti, Cimerak, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, 24 Desember 2019. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Ban-ban itu memang terlalu besar untuk diangkat sendiri. Diameternya sekitar sedepa pria dewasa. Bobotnya pun tak enteng, berisi jaring senar putih sepanjang 30 depa lengkap dengan pemberat, juga segala jenis tangkapan yang terjebak di jala yang dipasang sore hari sebelumnya. “Hari ini lumayanlah,” kata Bikin ketika membongkar isi muatan. Satu per satu lobster yang tersangkut senar dipungut dan cepat-cepat ditimbun pasir. “Supaya lebih tahan lama hidupnya.”

“Yang ini lepas lagi!” Muhaimin memerintahkan nelayan muda dalam rombongan Bikin yang baru mendapat seekor lobster dengan perut penuh gendongan telur berwarna jingga. Muhaimin alias Joni adalah pengepul lobster yang biasa mengkoordinasi nelayan di sekitar Muara Gatah, Pangandaran.

Sejumlah nelayan ban saat mengeluarkan lobster dari jaring di Pantai Cidahon, 24 Desember 2019. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Bikin juga harus melepas tiga lobster hidup tangkapannya pagi itu. Penyebabnya bukan lobster itu sedang bertelur, melainkan ukurannya yang masih kelewat kecil. "Sawareh dilepaskeun, sawareh dituang (sebagian dilepaskan, sebagian dimakan),” tutur koleganya, terbahak.

Tiga dekade menjadi nelayan ban, Bikin paling senior dalam rombongan itu. Hasil berenang saban hari di lautan masih tersisa di badannya yang mulai penuh lemak. Dia merasakan betul betapa lobster buruannya kian sulit didapatkan sejak medio 2000. Jika anakan tak dilepas, dia yakin esok hari bakal sukar memperoleh buruan dewasa yang bisa dijual.

Itu sebabnya dia khawatir mendengar kabar bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan akan membuka pintu ekspor benih lobster. “Pengambil benur akan menghabiskan semuanya kalau dilegalkan,” tutur Bikin. “Lalu Vietnam lebih kaya dan tak perlu lagi lobster dewasa dari kita.”

Agenda membuka keran ekspor benur atau larva lobster didengungkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sejak awal November 2019. Vietnam, negara dengan bisnis pembesaran lobster terbesar di kawasan, paling santer ditimang sebagai mitra perdagangan. Konsepnya, benih yang selama ini dilarang ditangkap, apalagi diperdagangkan, bakal bisa diekspor ke Vietnam dengan perjanjian sebagian hasil pembesaran lobster dikirim balik ke Indonesia.

Mendadak sontak, reaksi pro dan kontra membanjiri media massa dan media sosial menyangkut rencana tersebut. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, lewat akun Twitter­nya, yang memiliki 1,3 juta pengikut, salah satu penentang keras rencana itu. Penolakan nelayan juga bermunculan di berbagai daerah pesisir selatan Jawa, wilayah dengan potensi lobster 970 ton per tahun. Sejumlah pengusaha budi daya ikan yang nyambi mengelola pembesaran lobster berteriak sebaliknya dalam berbagai pemberitaan.

 

•••

LARANGAN penangkapan benih lobster sudah panas sejak regulasi ini diterbitkan Susi Pudjiastuti lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016. Aturan ini menyempurnakan ketentuan setahun sebelumnya, yang belum mengatur soal benih.

Kala itu, gelombang protes serupa dari para pengusaha budi daya juga muncul di mana-mana. Susi bergeming hingga akhir jabatannya dengan alasan kebijakan tersebut penting untuk menjamin kelestarian sumber daya lobster di perairan Indonesia. Kajian Kementerian Kelautan menunjukkan eksploitasi lobster di enam dari sebeleas Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia telah berlebihan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (kiri) bersama mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, menjelang acara serah-terima jabatan di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 23 Oktober 2019. ANTARA/Aditya Pradana Putra

Edhy adalah kebalikan dari Susi. Dia membuka seluas-luasnya pintu bagi pengusaha perikanan yang selama ini memprotes pendahulunya itu. Pada 26 Oktober 2019, hanya tiga hari setelah dilantik sebagai menteri, Edhy menerima tetamu dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Yugi Prayanto, Wakil Ketua Umum Bidang Kelautan dan Perikanan Kadin, memimpin rombongan. “Saya bawa semua teman,” kata Yugi di Jakarta, akhir Desember 2019.

Potensi dan tingkat eksploitasi lobster Indonesia

Dalam forum pertama itu, para pengusaha dan pengurus asosiasi menumpahkan semua keluhannya terhadap Susi kepada Edhy. Tak terkecuali soal larangan penangkapan benur lobster yang otomatis menutup keran ekspor benih. Kadin mengusulkan, daripada benur diselundupkan, mending kuota ekspor dibuka dan dibatasi dengan ketat. “Mereka yang hidup-matinya dari penangkapan benur harus dicarikan solusi. Tapi yang ideal memang budi daya di sini,” ucap Yugi.

Anggota staf khusus Menteri Edhy, Miftah Sabri, yang menemani bosnya dalam pertemuan itu, mengatakan persamuhan sebatas courtesy call antara menteri baru dan para pemangku kepentingan. Miftah membantah informasi bahwa ada usul spesifik membuka keran ekspor benur lobster. “Justru mereka menyampaikan kenapa enggak dibudidayakan saja,” ujar Miftah ketika dihubungi, Jumat, 3 Januari lalu.

Dia mengingatkan bahwa bosnya diberi tugas Presiden Joko Widodo membangun komunikasi dua arah bagi stakeholder. “Kedua, mengembangkan sektor budi daya semaksimal mungkin,” tutur Miftah.

Berbekal daftar keluhan pengusaha itu, Edhy menerbitkan instruksi menteri kepada bawahannya pada 26 November 2019 untuk mengkaji 29 aturan yang terbit pada era Susi. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 yang mengatur penangkapan dan perdagangan lobster hanya salah satunya.

Yang menarik, kajian internal Kementerian Kelautan terhadap peraturan lobster sebenarnya rampung sejak 4 Desember 2019. Riza Priyatna, Kepala Pusat Karantina Ikan pada Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan, memimpin kajian tersebut. Hingga pekan lalu, Kementerian Kelautan belum membuka kajian, yang berisi rekomendasi penangkapan benih hanya untuk usaha pembesaran dalam negeri, tidak untuk ekspor.

Riza, ketika dihubungi pada Senin, 31 Desember 2019, enggan menjawab pertanyaan tentang kajian timnya. “Sedang on progress dan langsung di bawah kendali pimpinan,” katanya.

Tapi wacana pembukaan keran ekspor benur masih mengemuka pada saat bersamaan. Ketika berbicara dalam rapat koordinasi Kementerian Kelautan di Hotel Borobudur pada awal Desember 2019, Menteri Edhy menyatakan akan memetakan lokasi benur lobster, mengaturnya secara rapi, menunjuk pengumpulnya, lalu menunjuk pengusaha di Vietnam yang bakal menerima benih-benih itu. “Langsung dagang dari Indonesia ke Vietnam,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra tersebut.

Di tengah silang pendapat, sejumlah pengusaha budi daya ikan bersiap menyambut rencana kuota ekspor benur. I Wayan Sudja, Ketua Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia, yang masuk rombongan Kadin dalam pertemuan dengan Edhy, salah satunya. Dalam grup WhatsApp “Marikultul Nasional”, Sudja menyampaikan kepada I Ketut Sugama, profesor riset di Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, agar kementerian menunjuk dia serta kawan-kawannya sebagai satu-satunya eksportir benur.

Sudja beranggapan penunjukan sebagai eksportir tunggal itu merupakan kompensasi karena dia menjadi korban regulasi era Menteri Susi. Usaha budi daya Sudja memang gulung tikar setelah Susi membatasi titik jemput kapal-kapal Hong Kong pembeli kerapu hidup Indonesia dari 92 menjadi empat titik saja. Pembatasan titik itu bertujuan mengontrol pencatatan ekspor.

I Ketut Sugama, yang juga mantan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, membenarkan adanya permintaan Sudja tersebut. “Dia meminta, tapi enggak mungkin bisa begitu,” tutur Sugama. Adapun Sudja, Sabtu, 4 Januari, lalu, berdalih bahwa pesannya tersebut cuma gurauan. "Itu bercanda saja."

Miftah Sabri menegaskan, Kementerian Kelautan tidak akan menunjuk eksportir tunggal kalaupun nantinya jadi membuka keran ekspor benur. “Enggak ada. Eksportir tunggal apaan. Enggak ada. Belum ada.”


•••

SERANGKAIAN pertemuan bertajuk forum group discussion digelar Menteri Edhy Prabowo sebulan terakhir. Pada 16 Desember 2019, dia mengundang perwakilan nelayan dan pengusaha ke Jakarta. Salah satu yang datang adalah Abdullah bin Janiah, pemuda 33 tahun yang memiliki keramba lobster secara sembunyi-sembunyi di Telong Elong, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Di forum itu, Abdullah menyatakan Kelompok Usaha Budidaya Andalan Indonesia mampu membesarkan benur menjadi lobster ukuran konsumsi. “Bahkan sampai bertelur,” tutur Abdullah ketika dihubungi, Kamis, 2 Januari lalu. Ketika telur-telur itu tumbuh menjadi larva, mereka pergi mengikuti arus laut.

Dalam pertemuan itu, Abdullah satu forum dengan Mahnan Rasuli dan Buntaran, yang ia anggap beda mazhab meski sama-sama berasal dari Lombok. Mahnan dan Buntaran, kata Abdullah, berbasis di Teluk Awang, lokasi pengusaha dan pemburu benur yang selama ini bergantung pada pasar ekspor. Ketika larangan ekspor benih diterapkan, sejumlah kasus penyelundupan benur terungkap bermuara dari tempat ini.

Dua pekan seusai pertemuan di Jakarta, giliran Edhy yang terbang ke Lombok. Ketika berkunjung ke Telong Elong, 26 Desember 2019, Edhy sempat menunjukkan gejala berubah pikiran. “Kalau semua ini ada di sini (budi daya pembesaran), benur diekspor itu tinggal cerita,” ujarnya. Belakangan, anggota staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Tb. Ardi Januar, mengklarifikasi bahwa pernyataan yang dikutip banyak media tersebut bukan keputusan final, melainkan penggalan dialog dengan masyarakat Telong Elong.

Barang bukti benih Lobster ilegal di Polda Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, 2 Desember lalu. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.

Upaya memberikan keleluasaan kepada para pengusaha pembesaran lobster bukannya tak dilakukan pada era Menteri Susi. Namun, menurut seorang pejabat Kementerian Kelautan, pembesaran tak lantas berarti penangkapan benur mesti dilegalkan. Para pengusaha tetap bisa membesarkan lobster dengan bobot minimal 200 gram hingga menjadi 300 gram, ukuran yang menurut sejumlah penelitian bakal memberikan keuntungan ekonomi paling besar untuk usaha pembesaran.

Penangkapan benur untuk usaha pembesaran dilarang, kata pejabat itu, justru lantaran pengusaha jaring apung kerap menjadikan bisnisnya sebagai kamuflase perdagangan benih lobster. Pembudi daya cenderung memilih menjual langsung benur ke jaringan penyelundup lantaran waktu yang dibutuhkan untuk membesarkan lobster cukup lama. Selain itu, rasio hidup larva hingga berhasil dibesarkan di dalam keramba hanya 40-50 persen. Meski harganya lebih murah, menjual benur lebih cepat mendatangkan uang.

Sepanjang 2015-2019, penyelundupan benur memang terus terjadi. Kementerian Kelautan mencatat sebanyak 254 kasus dibongkar pada periode tersebut. Nilai benih yang akan diselundupkan ditaksir mencapai Rp 1,18 triliun. Kementerian menduga penyelundupan tak hanya melibatkan broker asal Vietnam, tapi juga asal Singapura. Dugaan ini mencuat setelah kementerian mendapati data UN Comtrade 2018 yang mencatat impor Singapura atas 239 ton benih lobster asal Indonesia pada Januari-Desember 2017 dengan nilai total US$ 1,08 juta. Pada saat yang sama, Singapura juga tercatat mengekspor 293 ton benih lobster senilai US$ 1,4 juta. Padahal larangan penangkapan benih telah berlaku di Indonesia.

Dugaan ini menguat pada Juli 2019, ketika upaya penyelundupan 113.412 benih lobster via Batam yang melibatkan warga negara Singapura bernama Teng Cheng Ying alias Keene dan pengepul benur di Bengkulu yang kini berstatus buron terbongkar. Pengadilan Negeri Jambi telah memvonis Keene dengan pidana tiga tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Dalam putusan tercatat, Keene berdalih tak tahu jual-beli benih lobster dilarang di Indonesia.

Namun penelusuran Kementerian Kelautan, yang dibantu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mendapati jaringan Singapura ini telah melakukan transaksi sepanjang 2016-2018. Dana digelontorkan via jasa penukaran valuta asing (money changer) di Batam yang kemudian mengalir ke belasan akun bank di berbagai daerah. Pengecekan ulang Tempo terhadap sejumlah identitas pemilik akun penerima kiriman duit menemukan sejumlah nama dengan beragam latar belakang, termasuk pegawai negeri di sejumlah instansi daerah hingga pengusaha budi daya ikan di Bali dan Nusa Tenggara Barat.

 

Mahnan Rasuli dan Buntaran, yang ikut dalam pertemuan dengan Menteri Edhy di Lombok, juga pernah dihukum dalam kasus penyelundupan benur. Mahnan pernah diterungku satu setengah tahun pada 2017 gara-gara menyelinapkan 7.000 benih lobster senilai Rp 2,4 miliar. Pada tahun yang sama, Kementerian Kelautan memecat Buntaran setelah pegawai negeri sipil kementerian itu divonis sepuluh bulan penjara. Dari laporan PPATK, kementerian mendapati tabungan pegawainya itu berisi hingga Rp 195 miliar, nilai yang tidak wajar jika melihat profilnya.

Kepada Menteri Edhy, Mahnan meminta keran ekspor benur tetap dibuka. Menurut dia, di Nusa Tenggara Barat saja, ada potensi 11 juta benih lobster. Sedangkan pembesaran udang karang hanya menyerap 1 juta ekor. “Sekarang mau diapakan ini?” kata Mahnan dalam pertemuan di Lombok. “Tidak boleh lagi ada masyarakat yang dipenjarakan oleh peraturan menteri.”

Adapun Buntaran juga getol menyuarakan pentingnya pembukaan keran ekspor benur di media sosial. Hingga akhir pekan lalu, kader Gerindra ini tak merespons panggilan dan pesan yang dikirim Tempo. Gagal menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Daerah Pemilihan Nusa Tenggara Barat 2 pada Pemilihan Umum 2019, dia kini berniat maju dalam Pemilihan Bupati Lombok Tengah lewat partainya.

 

KHAIRUL ANAM, AGOENG WIJAYA, SUPRIYANTO KHAFID (LOMBOK)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus