Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
ICX membuka perdagangan sertifikat emisi dari pembangkit listrik energi terbarukan.
BEI menyiapkan infrastruktur untuk perdagangan karbon.
Pemerintah membuka peluang lebih dari satu penyelenggara bursa.
DUA hari sebelum Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan aturan bursa karbon, Indonesia Climate Exchange (ICX) sudah membuka perdagangan perdana sertifikat energi terbarukan atau Renewable Energy Certificate (REC). Ini adalah salah satu instrumen untuk perdagangan emisi karbon dengan basis penghitungan dari pembangkit listrik tenaga panas bumi dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REC adalah sertifikat yang membuktikan bahwa produksi tenaga listrik per megawatt-jam (MWh) berasal dari pembangkit listrik energi terbarukan. Sertifikat ini bisa dibeli oleh satu entitas untuk memenuhi target kredit karbon yang harus mereka capai. ICX memperdagangkan REC sebanyak 1,050 MWh dengan harga pembukaan lelang Rp 35 ribu dan harga penutupan Rp 38 ribu. “ICX memfasilitasi perdagangan REC di pasar sukarela," kata Chief Executive Officer ICX Megain Widjaja pada Kamis, 31 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana main hall di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Januari 2023. Tempo/Tony Hartawan
Menurut Megain, perdagangan REC di Indonesia berlangsung sejak 2018 dan mengikuti praktik internasional. Megain mengatakan ICX memfasilitasi perdagangan REC bekerja sama dengan Indonesia Clearing House, lembaga kliring berjangka yang juga ia pimpin. Indonesia Clearing House terhubung dengan sistem pelacakan karbon berstandar global seperti Evident I REC dan APX TIGRs. “Sehingga ICX dapat memastikan jumlah REC yang akan dijual pemilik pembangkit listrik energi terbarukan," tutur cucu pendiri grup Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja, itu.
Suasana kantor ICDX di Jakarta. Foto: ICDX
ICX merupakan entitas anak Indonesia Commodity & Derivatives Exchange Group (ICDX) atau Bursa Berjangka Komoditi dan Derivatif, perusahaan yang memfasilitasi perdagangan komoditas. Kini ICDX melalui ICX berniat melebarkan sayap menjadi penyelenggara bursa karbon. Perdagangan REC menjadi cara ICX untuk menunjukkan kesiapan sebagai penyelenggara perdagangan karbon di Indonesia.
Megain mengaku sudah menyiapkan infrastruktur perdagangan bursa karbon plus modal minimal Rp 100 miliar, seperti yang dipersyaratkan OJK. ICX pun mengusulkan OJK memasukkan produk REC ke aturan bursa karbon. "Kami melihat bursa karbon memiliki potensi besar, dan ICX terbuka kepada siapa saja untuk bersama-sama mengembangkan perdagangan karbon melalui bursa," ujarnya.
Peluang ICX menjadi penyelenggara bursa karbon memang terbuka setelah OJK merilis Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang bursa karbon pada Rabu, 23 Agustus lalu. Regulasi yang menjadi turunan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sistem Perbankan ini menempatkan bursa karbon sebagai media perdagangan unit karbon. Dalam bursa ini, unit karbon menjadi efek alias surat berharga atau kontrak investasi yang menjadi aset dengan nilai tertentu.
OJK memasang syarat tertentu bagi perusahaan yang berminat menjadi penyelenggara perdagangan karbon. Selain bermodal di atas Rp 100 miliar seperti yang disiapkan ICX, penyelenggara bursa karbon diwajibkan memiliki infrastruktur transaksi, dari platform perdagangan hingga sistem kliring. Mirip dengan perdagangan saham di pasar modal.
ICX tak melenggang sendirian lantaran ada nama besar yang juga menunjukkan minat menjadi penyelenggara bursa karbon, yaitu PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik mengatakan pengalaman lembaganya mengelola perdagangan efek menjadi modal besar untuk menjadi penyelenggara bursa karbon. "Kami juga akan mengajukan permohonan izin sesuai dengan ketentuan,” tuturnya pada Rabu, 30 Agustus lalu. Menurut Jeffrey, BEI tengah menyiapkan sistem, peraturan perdagangan, partisipan, hingga pencatatan dan pengawasan transaksi karbon. "Sedang dalam persiapan akhir.”
Keputusan OJK memilih penyelenggara bursa karbon baru akan keluar pada pertengahan atau akhir bulan ini. Namun ada sinyal kuat BEI yang akan terpilih, antara lain dari pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Kepada wartawan di Hotel Shangri-La Jakarta pada Kamis, 24 Agustus lalu, Airlangga mengatakan, "Kalau untuk bursa karbon di BEI."
Airlangga Hartarto di Jakarta, 1 Februari 2023. Tempo/M Taufan Rengganis
Dua tahun sebelumnya, Airlangga juga meminta BEI menyiapkan mekanisme perdagangan karbon. "Kami mengapresiasi apa yang dilakukan BEI dalam bentuk peluncuran green bond dan green sukuk. Namun perlu ada tambahan bahwa bursa perlu mempersiapkan carbon trading bersama Kementerian Keuangan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," ucapnya dalam pertemuan daring pada 16 November 2021.
Kepada Tempo, seorang pejabat BEI juga menyatakan ada arahan dari pemerintah untuk bersiap menjadi pengelola bursa karbon. Menurut sumber itu, OJK meminta BEI menyiapkan semua syarat agar bisa menepati tenggat operasi bursa karbon, bulan ini. Padahal masih ada yang belum jelas, seperti mekanisme perdagangan dan siapa saja para anggota bursa alias entitas yang akan bertransaksi. “Tapi waktunya tak boleh mundur, harus September,” katanya.
Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, membantah kabar tersebut. "Tidak ada dorongan dari mana pun, termasuk dari pemerintah kepada OJK untuk menunjuk pihak tertentu," ujarnya pada Jumat, 1 September lalu. Inarno mengatakan OJK akan memilih penyelenggara bursa karbon sesuai dengan ketentuan. "Semua pihak yang ingin mengajukan diri harus memenuhi persyaratan OJK."
•••
PEMERINTAH punya harapan besar pada bursa karbon untuk mendatangkan nilai ekonomi yang besar sekaligus membantu pencapaian target penurunan emisi seperti yang ditetapkan dalam sejumlah konsensus global. Pada September 2022, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar menyebutkan Indonesia bisa menghasilkan pendapatan US$ 565,9 miliar atau sekitar Rp 8.626,4 triliun. Dasar penghitungannya adalah kepemilikan 125 juta hektare hutan tropis yang mampu menyerap 25 miliar ton karbon.
Perkiraan lain mengemuka dari pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan. Luhut memperkirakan nilai aktivitas perdagangan karbon lewat bursa sekaligus perdagangan primer antar-entitas bisnis di dalam negeri dapat mencapai US$ 1-15 miliar per tahun. Adapun Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia mencatat nilai perdagangan karbon di Indonesia bisa menembus US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.625 triliun per tahun, yang berasal dari kegiatan penanaman kembali hutan yang gundul hingga penggunaan energi baru dan terbarukan.
Untuk mengail nilai ekonomi tersebut, pemerintah memakai sejumlah instrumen, dari pungutan pajak hingga perdagangan melalui bursa. Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sistem Perbankan (PPSK) kemudian mengamanatkan OJK menjadi regulator bursa karbon yang menyelenggarakan perdagangan unit karbon, baik dalam skema mandatory (wajib) maupun voluntary (sukarela). Bursa ini yang akan memperdagangkan kredit karbon atau hak bagi sebuah entitas untuk melepas emisi karbon dalam proses produksinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida.
Pada tahap pertama, bursa karbon akan memfasilitasi transaksi unit karbon di sektor pembangkit listrik. Jika bursa karbon jadi beroperasi bulan ini, Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang memiliki bursa tersebut, meski perdagangan yang berlangsung di bursa tidak sepenuhnya sama dengan mekanisme sistem perdagangan emisi atau emission trading system di beberapa yurisdiksi, seperti Uni Eropa, Swiss, Korea Selatan, dan Cina.
Menurut Inarno Djajadi, Indonesia tidak sepenuhnya mengacu pada negara tertentu dalam pembentukan bursa karbon. Dia menyebutkan beberapa contoh konsep bursa karbon yang menjadi referensi OJK dalam penyusunan aturan bursa karbon. "Uni Eropa, Korea Selatan, Swedia, Singapura, Malaysia, dan beberapa negara lain,” katanya pada Jumat, 1 September lalu.
Baca juga: Perdagangan Karbon Minus Pajak
Salah satu yang diatur dalam bursa karbon Indonesia adalah penetapan unit karbon sebagai efek atau aset yang bisa diperdagangkan. Inarno mengatakan pada dasarnya OJK bukan penentu apakah unit karbon merupakan efek atau komoditas. Namun penetapan unit karbon sebagai efek ada dalam Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang PPSK. “Penetapan tersebut adalah amanat Undang-Undang PPSK yang kemudian diimplementasikan dalam aturan OJK,” ujarnya. Karena unit karbon setara dengan efek, perdagangannya bisa diawasi OJK seperti instrumen keuangan.
Foto udara area hutan Katingan Mentaya Project yang merupakan bagian dari proyek restorasi iklim PT Rimba Makmur Utama, di Kalimantan Tengah. Dok. KMP
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengingatkan pentingnya pengecekan ulang agar tidak terjadi pencatatan ganda atas aset yang dijadikan kredit karbon, misalnya hutan bakau yang sudah masuk skema lain di luar bursa seperti Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus Conservation atau REDD+. "Agar tidak terjadi double counting, integrasi data OJK dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta kementerian lain menjadi penting," ucapnya.
Pada Juli lalu, OJK bersama Kementerian Lingkungan Hidup menyepakati kerja sama tentang nilai ekonomi karbon yang akan menjadi salah satu instrumen perdagangan di bursa. Dua lembaga ini akan bertukar data karbon yang masuk Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI). Semua unit karbon yang akan diperdagangkan di bursa harus masuk SRN PPI.
Ihwal siapa yang menjadi penyelenggara bursa karbon, peluang BEI dan ICX masih terbuka. Inarno mengatakan OJK tak menutup kemungkinan lebih dari satu lembaga menjadi penyelenggara bursa karbon. “Yang utama adalah terbentuknya bursa karbon dulu."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Khairul Anam, Fajar Pebrianto, dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini tertbi di bawah judul "Berburu Restu Bursa Karbon"