Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dana asing berbondong-bondong keluar dari pasar.
Kenaikan harga komoditas bagai buah simalakama.
Lonjakan harga minyak dunia memperbesar tekanan bagi keuangan negara.
GELAGAT eksodus mulai terasa. Menjelang naiknya suku bunga The Federal Reserve dan mengetatnya likuiditas global, dana investor asing mulai mengalir keluar. Invasi Rusia ke Ukraina yang belum jelas kapan dan bagaimana berakhirnya menambah ketidakpastian. Investor mulai memindahkan investasi ke negara yang lebih rendah risikonya. Inilah tantangan pertama yang mulai mengancam pasar finansial Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama pekan kedua Maret 2022, dana asing mengalir keluar baik dari pasar saham maupun pasar obligasi pemerintah. Dari bursa ada Rp 10,7 triliun dana asing yang terbang. Sedangkan di pasar obligasi, dana asing yang hengkang senilai Rp 18 triliun selama 1-9 Maret 2022. Untungnya, sejauh ini situasi pasar masih tenang. Tak ada gejolak harga. Keluarnya dana asing kali ini ibarat rembesan yang mengalir tenang, tak beriak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia memang masih beruntung karena ada aliran dana ekstra dari lonjakan harga komoditas ekspor utama seperti batu bara, minyak sawit, dan terutama nikel. Inilah ganjal penyelamat stabilitas. Maka, meski dana portofolio asing mulai merembes keluar, segalanya masih tampak baik-baik saja. Nilai rupiah tak banyak bergerak di kisaran 14.300 per dolar Amerika Serikat.
Meskipun demikian, situasinya sama sekali tak bisa dibilang aman. Ada tantangan kedua yang tak kalah berbahaya. Naiknya harga komoditas tak cuma membawa berkah, tapi juga masalah. Makin tingginya harga komoditas, terutama energi dan pangan, pada gilirannya akan membawa inflasi ke dalam negeri. Ada impor inflasi yang rentetan dampaknya sungguh panjang.
Contohnya krisis minyak goreng yang hingga kini masih bergolak. Pemerintah sia-sia saja melawan kekuatan pasar itu. Harga yang dipaksakan rendah lewat peraturan hanya membuat barangnya langka. Muncul antrean panjang perburuan minyak goreng di mana-mana.
Melonjaknya harga minyak bumi dapat memicu masalah serupa. Jika harganya bertahan tinggi dalam tempo cukup lama, tak mungkin pemerintah memaksa Pertamina terus menahan harga bahan bakar minyak. Memberi subsidi juga bukan pilihan. Pemerintah tak akan punya cukup uang untuk kembali menanggung subsidi BBM.
Justru tantangan terberat bagi Indonesia pada episode gonjang-ganjing kali ini terletak pada kondisi keuangan negara. Pemerintah menghadapi risiko pasar yang amat besar karena masih harus mencari utang dari pasar keuangan dengan cara menjual berbagai jenis obligasi. Untuk 2022, pemerintah harus menarik utang senilai Rp 991,3 triliun. Siapa yang kuat membeli obligasi dengan nilai sebesar itu ketika bunga sedang naik dan likuiditas global mengetat?
Sulit bagi pemerintah untuk mengandalkan investor asing, yang kini cenderung keluar dari Indonesia demi mencari aman. Sementara itu, kapasitas investor dalam negeri tentu ada batasnya. Dana perbankan yang tertanam di obligasi pemerintah, per 9 Maret 2022, sudah hampir Rp 1.700 triliun, setara dengan 28,3 persen dana pihak ketiga. Sebagai perbandingan, per akhir Januari 2020, persis sebelum masa pandemi, dana perbankan yang tertanam di perbankan hanya Rp 740 triliun, cuma 12,4 persen dana pihak ketiga. Pemerintah sudah terlalu banyak menyedot dana perbankan dalam negeri.
Bisa jadi pemerintah akan kembali meminta Bank Indonesia membeli obligasi secara langsung alias melakukan monetisasi utang, menanggung defisit pemerintah. Tapi cara ini berisiko amat besar. Monetisasi utang berisiko menurunkan kredibilitas Indonesia. Investor asing bisa makin kehilangan selera berinvestasi di obligasi pemerintah RI. Itu pula sebabnya pada awal tahun ini Bank Dunia menyarankan pemerintah dan BI menghentikan kebijakan buruk itu.
Sejauh ini, per 2 Maret 2022, pemerintah baru merealisasi penjualan obligasi senilai Rp 184 triliun dari target Rp 991 triliun itu, semuanya berdenominasi rupiah di pasar dalam negeri. Sedangkan penjualan obligasi dalam mata uang asing di pasar luar negeri masih belum terealisasi. Sementara itu, situasi pasar finansial global justru akan makin bergejolak. Tantangan bagi pemerintah untuk menarik utang akan makin berat dan makin mahal pula ongkosnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo