Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Adaptasi di Masa Disrupsi

Disrupsi digital mendorong industri musik beradaptasi mengembangkan bisnisnya. Peluang bagi musik indie. 

 

1 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Era digital menyimpan banyak potensi bagi industri rekaman musik.

  • Lanskap industri musik dunia juga bergeser.

  • Peluang di era digital tak hanya ada untuk pemain besar.

HARI-HARI Yonathan Nugroho makin padat menjelang penutupan tahun. Saban hari, produser dan Chief Executive Officer Trinity Optima Production itu kudu mengikuti sederet agenda pertemuan, baik virtual maupun tatap muka. Trinity, salah satu label rekaman besar industri musik di Indonesia, sedang menyiapkan sejumlah program baru yang akan dirilis pada 2022. “Banyak banget yang harus disiapkan karena sekarang bukan cuma di musik,” tutur Yonathan kepada Tempo, Jumat, 31 Desember lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Trinity memang tengah gencar mengembangkan model bisnisnya, mengikuti kemajuan teknologi informasi. Tiga tahun terakhir, Trinity terjun ke lini film dan konten multimedia berbasis Internet. Pada November 2021, Trinity berkolaborasi dengan Telkomsel dan rumah produksi Supreme League meluncurkan serial dokumenter Indonesia Esports Legends di kanal layanan multimedia Maxstream.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang terbaru, Yonathan dan timnya tengah mendigitalisasi aset-aset karya sederet artis yang dinaungi labelnya dalam bentuk non-fungible token untuk kemudian diperdagangkan dengan memanfaatkan sistem blockchain. Untuk yang satu ini, Yonathan enggan bercerita lebih detail. “Masih confidential,” ujarnya. “Kalau saat ini label musik hanya bertumpu menjual lagu, (pasti) sudah mati.”

Acara peluncuran album Naura, salah satu artis yang tergabung dalam Trinity Optima Production, pada 2017. Foto: trinityproduction.com

Namun itu tak berarti Trinity pindah haluan. Yonathan tetap bermain di industri label rekaman musik dan manajemen artis yang digelutinya sejak 2003, meski dengan model bisnis yang harus selalu siap berubah mengikuti perkembangan zaman.

Derasnya perkembangan teknologi digital telah mengubah lanskap industri musik, termasuk perusahaan rekaman. Global Music Report 2021, laporan tahunan yang dirilis International Federation of the Phonographic Industry (IFPI), mencatat pergeseran nilai pendapatan industri rekaman musik. Nilai pendapatan dari penjualan produk fisik seperti kaset, cakram padat (CD), dan piringan hitam terus menyusut. Tren sebaliknya terjadi pada penjualan digital, terutama lewat platform streaming.

Sepanjang 2020, dalam catatan IFPI, total pendapatan industri rekaman musik global sebanyak US$ 21,6 miliar atau senilai Rp 306 triliun dengan kurs saat ini. Sebanyak 62,3 persen di antaranya disumbang penjualan via streaming—sebagian besar dari layanan berlangganan. Berkat tren positif penjualan digital, industri rekaman musik dunia terus mencatatkan pertumbuhan pendapatan enam tahun berturut-turut, termasuk di masa pandemi Covid-19.

Trinity salah satu yang beruntung. Pada 2009, Trinity membuka kanal resmi di YouTube untuk mempublikasikan produknya. Perusahaan ini juga membangun kanal-kanal khusus untuk mempromosikan artis yang dinaungi. Saat ini kanal Trinity Optima Production diikuti oleh 5,48 juta pelanggan.

Pada Jumat, 31 Desember lalu, Trinity mengunggah video lirik lagu bertajuk “Push It Down” di kanal YouTube. Tembang hasil kolaborasi Eka Gustiwana dan Sara Fajira itu sebelumnya disebar di berbagai kanal digital lain, seperti Spotify, Joox, Apple Music, Langit Musik, Resso, dan TikTok. Single berdurasi 3 menit ini juga menjadi lagu tema Indonesia Esports Legends.

Pegawai menunjukkan album fisik karya musisi dari label musik Demajors di toko Demajors M Bloc, Jakarta, 31 Desember 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat

Rencananya, 11 Januari mendatang, Trinity akan merilis proyek kolaborasi Armand Maulana, salah satu artis yang dinaungi Trinity Artist Management. Armand, vokalis band Gigi yang belakangan menempuh jalur solo, bakal membawakan lagu yang digubah Baskara Putra alias Hindia dan Rayhan Noor. Trinity juga tengah menyiapkan produksi original soundtrack Petualangan Sherina 2, film garapan sutradara Riri Riza yang akan tayang pada 2022.

Hitungan nilai royalti untuk setiap lagu yang diputar di berbagai platform digital berbeda-beda. Praktiknya, pemberian royalti mekanis ini bergantung pada kebijakan setiap aplikasi. Untuk bisa menarik royalti lagu dari platform streaming, setiap musikus pun kudu bekerja sama dengan publisher. “Para musisi, pencipta lagu, harus bisa kerja sama dengan publisher buat monetisasi," ucap Yonathan Nugroho.

•••

ANNETH Delliecia Nasution, 16 tahun, sejak tahun lalu menjadi bintang paling bersinar di label RANS Music. Berkat single “Mungkin Hari Ini Esok atau Nanti”, pemenang Indonesian Idol Junior musim ketiga ini menerima Anugerah Musik Indonesia 2021 dalam kategori penyanyi pendatang baru terbaik.

Dirilis pada 18 Oktober 2020 di kanal resmi YouTube RANS Music, video musik “Mungkin Hari Ini Esok atau Nanti” telah ditonton lebih dari 102 juta kali. Lagu ini juga menjadi yang paling banyak didengarkan di Joox, platform streaming musik bikinan perusahaan teknologi multinasional Tencent asal Cina.

Acara peluncuran album RANS Family di KFC Kemang, Jakarta, Maret 2020. YouTube

Sepanjang tahun ini, lagi-lagi tembang itu menjadi yang paling banyak didengarkan di Joox. "Ini rekor, dalam satu tahun bisa mencapai 100 juta viewers dan otomatis jadi rekor terbesar di RANS," ujar Dinno Taruprajoko, Head of Artists and Repertoire RANS Music Indonesia, Senin, 27 Desember lalu.

Dinno patut bungah karena rekor itu. RANS Music baru didirikan pada Maret 2019. Sebelumnya, label rekaman ini hanya berwujud salah satu segmen musik di kanal YouTube RANS Entertainment milik pasangan selebritas Raffi Ahmad dan Nagita Slavina Tengker. 

Ihwal cuan, Dinno tak bisa merinci detailnya. Yang jelas, menurut dia, sepanjang tahun lalu RANS Music meraup pendapatan lebih dari Rp 1 miliar. Angka ini dihitung hanya dari monetisasi YouTube, belum mencakup platform lain. “Di atas Rp 1 miliar, kisaran Rp 1-5 miliar, lah. Tahun lalu agak kecil,” ucap Dinno.

Menurut Yonathan Nugroho, pola penjualan di era digital menuntut banyak perubahan pada bisnis label, dari produksi hingga pemasaran. Dalam publikasi berbasis streaming, keberlanjutan komunikasi dengan konsumen amat penting. Itu sebabnya Trinity Optima Production kini lebih banyak merilis single, bukan lagi album.


Periuk Baru Bisnis Musik

MODEL bisnis industri musik bergeser mengikuti perkembangan teknologi. Sejak 2017, kanal streaming menjadi sumber pendapatan industri rekaman musik, yang sebelumnya amat bergantung pada produk fisik. Pandemi Covid-19 juga diyakini telah memompa pasar penjualan digital di sektor industri ini.

Merujuk pada data International Federation of the Phonographic Industry atau IFPI, pendapatan industri rekaman musik global pada 2020 mencapai US$ 21,58 miliar atau sekitar Rp 306 triliun, naik 7,4 persen dibanding pendapatan pada tahun sebelumnya. Dari angka tersebut, pendapatan industri rekaman dari layanan musik streaming mencapai US$ 13,4 miliar atau sekitar Rp 190 triliun.

Pola ini juga menguntungkan lantaran biaya produksi bisa dipangkas. Yonathan mencontohkan, untuk memproduksi satu album sekaligus, sebuah label bisa mengeluarkan duit Rp 200-800 juta. Angka ini pun baru mencakup ongkos produksi rekaman lagu, belum menghitung biaya produksi klip video hingga promosi yang bisa berkisar Rp 200 juta-1 miliar. "Tapi tergantung seperti apa konsep album dan juga penyanyinya," tutur Yonathan.

Di era digital, ongkos produksi lagu bisa dipecah di kisaran Rp 20-80 juta per lagu. Begitu lagu selesai diproduksi, label bisa langsung mendistribusikannya ke berbagai platform. Sambil menunggu produksi berikutnya, proses engagement dengan pendengar berjalan. Dalam satu tahun, biasanya seorang musikus bisa merilis tiga-empat lagu.

Setiap musikus pun bisa memproduksi lagu tanpa harus mengumpulkan materi satu album penuh. Dengan begitu, produk album mereka lebih segar dan bisa mengikuti perkembangan tren. “Dulu bisa jadi ada lagu yang sudah diproduksi tahun lalu tapi baru bisa didengarkan beberapa tahun kemudian karena menunggu satu album selesai,” kata Yonathan.

Tantangan bukannya tak ada. Ongkos produksi bisa dikurangi, tapi distribusi musik secara digital menuntut promosi yang tak sederhana, terutama lewat media sosial. Kerap kali label kudu menyiapkan materi promosi beragam untuk menyesuaikan produk dengan karakteristik beraneka platform digital yang majemuk. Trinity mesti membentuk satu divisi baru untuk mengurus hal ini.

Besarnya tuntutan produksi konten promosi digital mendorong pembentukan divisi baru itu. “Media sosial terlihat tidak berbayar, tapi harus keluar cost besar untuk produksi konten, strategi, kampanye, sampai kerja sama dengan banyak pihak. Secara promosi, di digital jauh lebih mahal,” ucap Yonathan.  

•••

YANG sudah pasti, era digital membuka peluang bagi siapa saja untuk memproduksi dan memasarkan musik yang mereka ciptakan. Luasnya akses itu yang mendorong Alyssa Saufika Umari atau Ify Alyssa untuk lepas dari label rekaman dan terjun menggarap musiknya sendiri. Maka jadilah album Pelita Lara yang dirilis pada Oktober 2020. Materi album berisi sebelas lagu ini digarap Ify selama empat tahun sebelumnya.

Kanal YouTube Ify Alyssa, yang dibuat tujuh tahun lalu, memang baru diikuti 55 ribu pelanggan. Namun Ify merasa pilihannya tak keliru. Memproduksi dan mendistribusikan lagu secara mandiri membuatnya bebas berkreasi, meski ia kudu mau repot menangani berbagai urusan teknis yang biasanya digarap oleh tim label rekaman musik.

Toh, dari pengalaman Pelita Lara, Ify tak rugi. Menurut dia, dengan produksi mandiri, biaya produksi album bisa ditekan dari umumnya sekitar Rp 300 juta. Ify tak menyebutkan detail biaya produksi dan promosi album itu. Yang jelas, tak sulit baginya untuk balik modal dari hasil penjualan lagu lewat platform streaming dan album fisik. “Dalam kurun satu tahun sudah bisa untung,” ujarnya.

David Karto, co-founder Demajors—salah satu perusahaan rekaman musik indie atau independen terbesar di Indonesia—menilai disrupsi digital tak semestinya membuat industri musik meninggalkan rilisan album fisik. Di Demajors, David dan timnya berupaya tetap memproduksi CD dan piringan hitam, meski dalam jumlah terbatas. “Di luar negeri enggak pernah berpikir digital sebagai satu-satunya ruang untuk industri musik,” kata David, Kamis, 30 Desember lalu. “Mereka melihat semua platform dan berbagai bentuk sebagai medium untuk musik.”

Yang menjadi perhatian David, peralihan industri musik di era digital begitu cepat dan prematur. “Kita tidak punya persiapan, semuanya pakai produk luar,” tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus