Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUNYI panggilan telepon pada Senin, 28 November lalu, sekitar pukul 07.30 WIB, mengagetkan Sartinah, 45 tahun. Ia sama sekali tak menyangka panggilan telepon itu berujung pengungkapan kasus pembunuhan di Magelang, Jawa Tengah, yang melibatkan keluarga majikannya.
Penelepon itu bernama Dhio Daffa Syahdilla, 22 tahun, anak bungsu majikannya, Heri Iriyani, 54 tahun. Dhio terdengar menangis bercampur panik. Ia mengabarkan ibunya dan ayahnya, Abas Ashar (58), serta kakak perempuannya, Dhea Choirunnisa (24), terjatuh di kamar mandi.
Dhio meminta Sartinah datang untuk menolong mereka saat itu juga. “Sebenarnya Senin bukan jadwal saya masuk kerja. Tapi pagi itu Mas Dhio mendadak telepon saya, bilang kalau Ibu, Bapak, dan Mbak Dhea pingsan,” ujar Sartinah saat ditemui pada Kamis, 1 Desember lalu.
Sartinah bergegas meminta anak sulungnya segera mengantar ke rumah sang majikan di Desa Prajenan, Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Sepanjang perjalanan, ia mengira keluarga majikannya hanya mengalami kecelakaan biasa. “Sesampainya saya di sana, Mas Dhio sudah menunggu di teras sambil nangis-nangis,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dhio Daffa (22) tersangka pembunuhan orang tua dan kakak kandungnya di Kabupaten Magelang/Dok. Polda Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah masuk ke rumah, Sartinah mendapati Heri berada di dalam salah satu kamar mandi. Heri terlihat tak sadarkan diri dengan posisi tubuh telentang. Adapun Abas dan Dhea berada di dalam dua kamar mandi lain secara terpisah. “Bapak tertelungkup, sedangkan Mbak Dhea posisinya duduk dengan kaki selonjor dan kepala tertunduk,” ucapnya.
Heri, Abas, dan Dhea dalam kondisi tidak sadarkan diri. Sartinah pun berusaha memberikan pertolongan dengan membalurkan minyak kayu putih ke sekujur tubuh ketiga korban. Ia berusaha membangunkan mereka tapi tidak mendapat respons.
Sartinah lalu meminta Dhio menghubungi anggota keluarganya yang lain atau tetangga untuk meminta pertolongan. Ia hendak membawa ketiga korban ke rumah sakit. Dhio menghubungi kakak ibunya. Saat itu, Sartinah juga mendengar Dhio menghubungi pacarnya.
Tak lama kemudian, kakak sulung Heri, Sukoco, tiba dan beberapa tetangga juga ikut membantu memanggil dokter untuk memeriksa kondisi para korban. Sartinah mendapat informasi dari dokter yang memeriksa kondisi Heri bahwa majikannya itu telah meninggal.
Ia tak memiliki prasangka buruk kala itu. Ia bersama Dhio mendampingi korban ke rumah sakit. “Bapak (Abas) dan Mbak Dhea dibawa ke rumah sakit dengan naik dua mobil. Waktu itu Mas Dhio yang mendampingi Bapak, sementara saya mendampingi Mbak Dhea,” tuturnya.
Setibanya di rumah sakit tim medis langsung memeriksa Abas dan Dhea. Namun tak lama keduanya juga dinyatakan wafat. “Saya syok sekali rasanya. Saya juga melihat waktu itu Mas Dhio seperti syok dan terpukul,” ujarnya.
Sartinah melihat Dhio sempat menangis, muntah-muntah, dan mengamuk seperti orang kesurupan. Dhio bahkan mengalami sesak napas sehingga diberi bantuan oksigen.
Pada Senin siang, selepas tiga korban dinyatakan meninggal, Sartinah pulang dari rumah sakit menuju rumah majikannya. Saat itu beberapa anggota keluarga, tetangga, dan sejumlah petugas dari Kepolisian Sektor Mertoyudan dan Kepolisian Resor Magelang juga sudah ada di rumah.
Petugas membawa Dhio ke kantor polisi untuk dimintai keterangan dan mengetes tubuhnya. Saat itu, Sartinah menerangkan, ketiga korban diduga meninggal karena keracunan. “Pemeriksaan Mas Dhio sampai siang,” tutur Sartinah.
Kepolisian Daerah Jawa Tengah lalu menetapkan Dhio sebagai tersangka pembunuhan keluarganya sehari kemudian atau pada Selasa, 29 November lalu. Polisi mengatakan motif sementara pembunuhan dilakukan karena Dhio sakit hati lantaran diberi beban untuk menanggung pemenuhan kebutuhan keluarga dan merasa tidak diperhatikan.
Ia ditetapkan sebagai tersangka tunggal. “Hal ini diperoleh setelah petugas mendapatkan pengakuan dan barang bukti yang mendukung terjadinya pembunuhan,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Djuhandani Rahardjo Puro.
Dhio dituding membunuh keluarganya dengan mencampurkan racun sianida ke kopi dan teh. “Racun agak banyak ke kopi dan teh. Tak berselang lama bereaksi. Orang tua dan kakaknya langsung meninggal,” ucap Djuhandani.
Kepala Bidang Dokter dan Kesehatan Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Sumy Hastry menyatakan racun yang dicampurkan ke teh dan kopi oleh pelaku diduga sangat banyak, yakni dua-tiga sendok teh.
Racun sianida berwarna bening dan tidak berbau. Saat dicampur, sianida tidak mengubah warna serta rasa teh dan kopi. Racun yang sama juga membunuh Wayan Mirna Salihin setelah meminum kopi pada awal 2016 dan menghilangkan nyawa seorang bocah selepas menyantap sate pada Mei 2021.
Belakangan diketahui itu bukan upaya pertama Dhio membunuh anggota keluarganya. Polisi memperkirakan Dhio pernah mencoba membunuh ketiga korban pada Rabu, 23 November lalu, dengan mencampurkan arsenik ke dalam minuman dawet. Namun dosisnya terlalu rendah atau kurang sehingga hanya mengakibatkan mual-mual. Racun arsenik ditengarai membunuh aktivis hak asasi manusia, Munir, pada 2004.
Sartinah mengakui keluarga majikannya memang pernah mengalami keracunan es dawet. Setelah empat hari lemas, keluarga Heri kembali pulih. Ia tak menyangka bahwa semua itu perbuatan Dhio.
Sebab, selama ini ia tidak pernah melihat perilaku aneh Dhio kepada orang tua ataupun kakaknya. Sartinah menilai hubungan keluarga majikannya sangat baik dan harmonis. “Memang Mas Dhio orangnya cenderung pendiam dan tertutup,” ujarnya.
Sartinah juga melihat Heri, Abas, dan Dhea memperlakukan Dhio dengan baik. Sartinah mengaku cukup mengenal kepribadian Heri dan keluarganya lantaran ia sudah 15 tahun bekerja di rumah mereka.
Pelaksana Tugas Kapolresta Magelang AKBP M. Sajarod Zakun memberikan keterangan pers/ANTARA/Heru Suyitno
Kakak sulung Heri Iriyani, Sukoco, juga terkejut atas perbuatan keji keponakannya itu. Anak Sukoco, Abriyan, sempat bertemu Dhio saat diperiksa di kantor polisi. Ia juga sempat bertanya ihwal alasan pembunuhan itu. “Anak saya sempat bertanya kepada Dhio, kenapa enggak kamu saja yang minum racun itu?” tutur Sukoco.
Pelaksana tugas Kepala Polres Magelang, Ajun Komisaris Besar M. Sajarod Zakun, mengatakan polisi sempat meminta izin untuk mengautopsi ketiga korban. Namun kala itu Dhio menolak.
Padahal keluarga besar, baik dari pihak ibu maupun pihak ayahnya, menyetujui dilakukannya autopsi. “Di situlah muncul kecurigaan kami terhadap anak kedua korban. Namun tetap kami lakukan proses pemeriksaan, juga autopsi yang menunjukkan bahwa dalam tubuh ketiga korban memang ditemukan kandungan zat sianida,” kata Sajarod.
Fakta tersebut sesuai dengan keterangan yang disampaikan pelaku. Dhio akhirnya mengakui perbuatannya setelah penyidik menunjukkan sejumlah barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara. “Di TKP kami juga menemukan sisa botol yang berisi zat sianida. Sebelumnya dibeli oleh pelaku secara online,” ucapnya. Sebelumnya, Dhio juga membeli arsenik secara daring.
Sajarod menyatakan penyidik akan mendalami lebih lanjut motif pembunuhan oleh Dhio terhadap anggota keluarganya. Kepada penyidik, Dhio pernah mengaku bekerja di PT Kereta Api Indonesia (Persero). “Padahal dia tidak bekerja. Ayahnya sudah purnatugas, juga kakaknya sudah tidak bekerja lagi,” tutur Sajarod.
SEPTHIA RYANTHIE (MAGELANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo