Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengingatkan rencana pengentasan mafia tanah dan penuntasan konflik agraria yang disampaikan Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid tidak sebatas lip service dan gertak sambal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Dewi, perlu langkah konkret yang harus segera dilakukan agar penyelesaian konflik agraria bisa diatasi. "Supaya tidak mengulangi kegagalan-kegagalan pemerintah sebelumnya," kata Dewi dalam rilis resmi, Jumat 15 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dalam Rapat Koordinasi Pencegahan dan Penyelesaian Tindak Pidana Pertanahan Tahun 2024 di Jakarta, Kamis 14 November 2024, menyampaikan 60 persen sengketa dan konflik pertanahan melibatkan oknum internal dalam diri Kementerian ATR/BPN.
Menurut Dewi, hal ini sebenarnya bukan informasi baru, dan sudah menjadi rahasia umum sejak lama. Selama pemerintahan Jokowi (2015-2023), KPA mencatat sedikitnya terjadi 2.939 konflik agraria dengan luas mencapai 6,3 juta hektar dan berdampak terhadap 1,7 juta rumah tangga petani. Konflik agraria ini melibatkan korporasi-korporasi besar swasta dan negara, baik di sektor perkebunan, kehutanan, tambang dan sektor-sektor lainnya.
Dewi mengatakan akar utama penyebab konflik agraria tersebut adalah adanya penerbitan sepihak hak guna usaha, hak guna bangunan, dan konsesi-konsesi korporasi di atas pemukiman dan lahan pertanian masyarakat. Proses penerbitan konsesi yang tidak transparan dan partisipatif ini menjadi pemicu lahirnya konflik agraria antara masyarakat dengan pihak perusahaan yang mengklaim sebagai pemilik HGU dan HGB.
"Proses ini tentunya melibatkan orang-orang internal di Kementerian/Lembaga, khususnya Kementerian ATR/BPN yang punya wewenang menerbitkan HGU dan HGB," kata Dewi.
Dewi mengatakan, pengentasan mafia tanah yang terjadi di masa Pemerintahan Jokowi menyasar sengketa-sengketa pertanahan Individu. Sementara pelaku-pelaku kelas kakap yang menyebabkan konflik agraria struktural tetap dibiarkan. "Sehingga pencapaian pengentasan mafia tanah tidak berkorelasi dengan penyelesaian konflik agraria," kata Dewi.
Sejak 2016, KPA telah mengusulkan seluas 1,6 juta hektar LPRA yang tersebar di 851 lokasi. Sampai berakhirnya kepemimpinan Jokowi, hanya 21 lokasi yang berhasil diselesaikan. Itu pun lokasi-lokasi yang sudah berstatus clean dan clear.
"Artinya lokasi yang secara eksisting tidak lagi mengalami konflik agraria. Padahal reforma agraria bertujuan menyelesaian konflik agraria dan mengurai ketimpangan penguasaan tanah," kata Dewi.
Karena itu, Dewi mengatakan, tugas Menteri ATR/BPN saat ini seharusnya sudah sampai kepada aksi nyata di lapangan, bukan lagi sekedar pemetaan dan identifikasi, apalagi hanya melempar wacana. Sebab Kementerian ATR/BPN sudah memiliki banyak data, baik yang ada di pemerintahan, maupun yang telah diusulkan langsung oleh masyarakat.