Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

iklan

Berharap Semua Mangrove Mendapat Perlindungan dari Negara

Penyebab 742 ribu hektare mangrove terancam dikonversi, karena dalam tata ruang lahan itu dialokasikan untuk peruntukan lain 

7 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kehadiran mangrove menurut Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono Prawiraatmadja cukup penting bagi kehidupan. Hal itu dikarenakan mangrove menyimpan banyak karbon dan biota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Mangrove, tempat beranak pinak hewan-hewan laut sebelum hidup di laut,” kata Hartono, belum lama ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hartono menyayangkan, penanganan mangrove masih belum optimal. Hal itu disebabkan adanya keterbatasan anggaran dan regulasi yang belum lengkap terkait mangrove. 

“Kalau di gambut, ketika kami masuk, regulasi langsung diperbaiki. Sementara di mangrove belum ada aturan sama sekali,” tutur dia. 

Ketika BRGM diberi mandat oleh Presiden Joko Widodo untuk merehabilitasi mangrove, dirinya cukup heran dengan target yang diberikan hingga 2024 yaitu sebanyak 600 ribu hektare. Bukan tanpa sebab, ketika ditelaah hanya ada sekitar 220 ribu hektare yang butuh direhabilitasi. “Sisanya masih bagus,” kata dia. 

Rupanya ada alasan mengapa target itu melebihi dari jumlah mangrove yang rusak. Ternyata, ada sekitar 742 ribu hektare mangrove yang berada di luar kawasan hutan, yang bebas untuk dikonversi. “Dibuka untuk tambak, dikonversi menjadi pemukiman. Itu problem dan pekerjaan rumahnya.”  

Hartono mengatakan, di Indonesia terdapat 3,36 juta mangrove. Dari jumlah itu sebanyak 242 ribu hektare dalam kondisi rusak. Penugasan rehabilitasi 600 ribu hektare diyakini karena terdapat 742 ribu hektare mangrove utuh yang terancam dikonversi. “Untuk menyelamatkan 742 ribu hektare yang dibutuhkan bukan fisik lapangan, tetapi justru regulasi, untuk melindungi mangrove.”

Penyebab 742 ribu hektare saat ini terancam dikonversi, kata dia, karena dalam tata ruang lahan itu  dialokasikan untuk peruntukan lain tidak dipertahankan sebagai tempat ekosistem lindung. “Mirip digambut sebelum ada revisi aturan, ada gambut yang untuk area penggunaan lain, budidaya juga, setelah itu ditata, akhirnya tata ruang direvisi, yang tadinya ada lahan bukaan jadi tidak ada. Diharapkan mangrove juga seperti itu,” katanya. 

Revisi aturan tersebut kata Hartono, pada prinsipnya berisi agar semua mangrove dilindungi. “Kecuali lokasi tertentu yang bisa diusahakan untuk silvofishery, tumpang sari antara mangrove dengan perikanan.” Itupun, lanjut dia, semestinya lokasi yang memang sudah ada, tidak ada penambahan dari lokasi mangrove yang utuh lainnya. Hartono pun berharap, regulasi yang dirancang bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu akan segera selesai dan diimplementasikan.

Program Director Madani Berkelanjutan Giorgio Budi Indrarto sepakat semua lahan basah harus masuk dalam kawasan lindung. Mangrove dan gambut termasuk lahan basah. “Semua lahan basah harus masuk dalam kawasan lindung. Saya akan sangat konservatif sekali dalam hal ini. Ini tidak lagi hak untuk membangun tetapi justru hak hidup.” 

Hari ini, lanjut dia, dimana suhu bumi sudah melampaui nilai 1 derajad celcius, sudah tidak bisa lagi tawar menawar. “Tebang satu pohon saja sekarang ini sudah memberikan pengaruh yang besar pada bumi. Pengambil kebijakan belum melihat itu.”

Giorgio menuturkan, Indonesia memiliki Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) yang dapat diperbarui oleh pemerintah. “Dengan PIPPIB ini artinya tidak boleh ada aktivitas lain, menebang hutan dan segala macem. PIPPIB itu selalu diperbarui.” 

Semua lahan basah ketika masuk dalam PIPIB maka harus diintegrasikan di peta Tata Ruang. Hal itu lah yang menurut Giorgio menjadi tidak efektif. “Perkara dua rezim yang berbeda, ada KLHK dan ada Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN), kita melihatnya seperti ada negara di dalam negara. Negara yang bernama KLHK, negara yang bernama ATR/BPN. Ini tidak masuk akal padahal wilayahnya sama,” ujar dia. 

Oleh karena itu, Giorgio menyarankan untuk memasukkan PIPPIB wilayah perhutanan dipermanenkan di tata ruang. “Sehingga kalau ada sektor energi ataupun yang lainnya mau masuk ke lahan itu, nggak ada yang bisa ngeluarin izin di situ.”

Giorgio mengatakan, ada dua hal yang harus diperhatikan di dalam mangrove. Pertama, dalam hal pengusahaan. Mangrove diusahakan tidak hanya untuk dibangun tetapi juga untuk karbonnya. “Harga karbon mangrove dengan harga karbon hutan biasa, jauh. Harga karbon hutan biasa 5 dollar/ton kalau mangrove 10 dollar/ton. Itu pengusahaan juga, mangrove tidak boleh ditebang, karena kalau ditebang tidak dapat uang. Itu salah satu bentuk pengusahaan mangrove.”

Sementara petambak, lanjut dia, memang dapat mengganggu mangrove. Namun, belum diketahui seberapa besar deforestasinya. “Deforestasi butuh penghitungan lebih lanjut,”

Kedua yang harus diperhatikan kata Giorgio yaitu pembangunan infrastruktur yang disebabkan proyek nasional.  “Tantangan utama justru adanya proyek nasional. Kita nggak pernah tahu proyek nasional dibuat berdasarkan apa, tiba-tiba ada rencana pembuatan LNG, pelabuhan, bandara baru, dan segala macam yang dapat mengancam ekosistem mangrove.”

Melihat dari aturan yang sekarang, kata Giorgio, peraturan mangrove masih sangat terbatas. Menurutnya harus ada sosok yang didengar dan tidak sektoral. “Sesungguhnya hal itulah yang diharapkan dari kehadiran BRGM.” 

Saat ini, lanjut dia, tidak banyak yang berbicara terkait mangrove. “Masih banyak yang perlu dilakukan dalam konteks pengelolaan mangrove. Cara cepat yang mungkin bisa kita anut, PIPPIB perlu masuk dalam tata ruang mangrove dan ekosistem lahan basah. “Harus dilindungi secara total.” 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus