Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMPLOP kini menjadi masalah. Masalah itu setidaknya mulai tampak ketika Suardi Tasrif menulis di majalah Tempo edisi 3 Februari 1979 bahwa, “Wartawan mempromosikan sesuatu karena dapat amplop. Hingga ada iklan terselubung dalam berita.” Suardi sedang mempersoalkan kode etik wartawan. Amplop menggoda wartawan melakukan tindakan tidak terpuji. Kala itu wartawan dan amplop menjadi polemik. Tasrif pun mengingatkan, “Bagaimana tidak terima amplop kalau gaji tak cukup seminggu?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artikel Suardi mengajak kita berpikir tentang isi amplop. Amplop itu kertas tapi isinya bisa berupa lembaran-lembaran uang. Di dunia pers, penggunaan sebutan amplop sejak itu menjadi identik dengan suap. Tasrif memilih ungkapan “terima amplop”, bukan “terima uang”, meskipun yang dipersoalkan sebenarnya adalah isi amplop tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita membuka Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1954) susunan Sutan Mohammad Zain. Di situ, lema ampelop berarti “sampul surat”. Amplop belum lekas mengingatkan pada suap. Pada 1994, terbit Kamus Umum Bahasa Indonesia (1994) susunan J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain. Lema amplop mendapat tambahan arti sebagai “uang suap (yang biasanya dimasukkan ke dan diserahkan di dalam)”.
Pada 1990-an, amplop praktis bukan lagi sekadar kantong kertas untuk kepentingan pengiriman surat. Isinya pun tak selalu surat. Isinya bisa uang, cek, atau voucher yang punya nilai rupiah tertentu. Penambahan makna amplop sebagai uang suap itu sudah cukup menjelaskan situasi politik, bisnis, dan pers di Indonesia pada era Orde Baru.
Fungsi amplop pada mulanya untuk surat-menyurat atau korespondensi. Dulu murid-murid sekolah dasar diajarkan menulis surat. Mereka juga diajak mengirimkan surat melalui kantor pos. Surat dimasukkan ke dalam amplop. Nama penerima dan alamat dicantumkan di bagian depan. Di pojok atas, murid-murid menempel prangko. Mereka berharap surat bisa sampai ke alamat. Mereka berhak memilih amplop beragam warna dan hiasan. Murid lugu menggunakan amplop warna putih saja. Sejak dulu, amplop memang sering berwarna putih. Amplop berbeda warna dan berukuran besar biasa digunakan oleh orang-orang mengirimkan surat lamaran pekerjaan.
Amplop yang biasa dijual di depan kantor pos atau toko-toko tak cuma mengisahkan surat. Pengenalan lema amplop dengan makna “uang sogok” telah menambah fungsinya dari sekadar korespondensi. Contoh dalam penggunaan dalam kalimat adalah “Setelah diberi amplop, barulah berkas saya dikerjakannya”. Amplop telah memiliki arti buruk akibat ulah orang-orang bernafsu uang dalam birokrasi Orde Baru dan pekerjaan-pekerjaan tanpa ketulusan.
Pada abad sekarang, amplop masih ada meski tak lagi lazim digunakan masyarakat dalam korespondensi. Orang sudah jarang mengirim dan menerima surat. Amplop justru makin sering muncul dalam pemberitaan kasus-kasus korupsi. Uang biasa dimasukkan ke dalam amplop untuk diberikan kepada pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau kewenangan.
Menjelang Pemilihan Umum 2024, amplop kembali menjadi sorotan karena berisi surat suara. Komisi Pemilihan Umum menetapkan bahwa pemilih di luar negeri dapat memberikan suaranya melalui surat yang diposkan. Kisruh terjadi ketika amplop jenis ini kini tersebar di Taipei, Taiwan, sebelum jadwal distribusi resmi.
Memang bukan amplop benar yang menjadi pokok masalah, melainkan isinya. Kalau isinya kosong, tampaknya tak akan ada yang meributkan, kecuali penerimanya yang mungkin merasa dikibuli.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Amplop"