Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

iklan

Indonesia Darurat Demokrasi, Putusan Mahkamah Konstitusi Jadi Biang Keladi

Sejumlah dosen, mahasiswa, dan alumni menyuarakan keresahannya melalui maklumat

11 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pesta demokrasi tinggal menghitung hari. Segenap civitas akademika menyerukan Indonesia dalam Darurat Demokrasi. Mereka menganggap proses demokrasi di Indonesia mulai tergerus dengan adanya praktik-praktik yang dianggap tidak mengusung kebenaran dan keadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gadjah Mada (UGM) 2023, Gielbran Muhammad Noor menyampaikan, banyak aktivitas amoral yang terjadi dalam demokrasi saat ini. “Secara sistem dan prosedural, demokrasi kita memang baik. Namun, pada kenyataannya jauh panggang dari api. Ragam intimidasi dan aktivitas amoral dalam demokrasi yg dijalankan rezim benar-benar membuktikan bahwa demokrasi kita memanglah demokrasi cacat,” kata dia dalam Ngobrol @tempo, “Indonesia Darurat Demorasi” di Gedung Tempo Jakarta, Minggu, 11 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indikasi kecatatan itu terlihat pada Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres). Putusan tersebut dianggap sebagai biang keladi dari pelanggaran etika dalam kehidupan berdemokrasi.

Gielbran berpendapat, saat ini, hukum di Indonesia terasa seperti tidak ada harganya. Menurutnya, para pejabat dan rezim saat ini hanya melacurkan hukum melalui autocratic legalism, yaitu fenomena di mana pemimpin terpilih dan berkuasa melakukan perubahan-perubahan konstitusional dan hukum untuk kepentingan agenda yang tidak demokratis.

Keadaan ini menjadi keresahan bagi semua pihak. Salah satunya civitas akademika dari berbagai kampus yang membuat petisi dan seruan. Mereka lantang membuat pernyataan sikap dan menyerukan Indonesia dalam Darurat Demokrasi. Seruan pernyataan sikap itu dilakukan setelah mencermati perkembangan konstelasi politik nasional menjelang Pemilihan (Pemilu) 2024.

Darurat demokrasi yang dirasakan saat ini, kata dia, bukanlah tanpa solusi. Prinsip bottom up menjadi salah satu cara agar demokrasi berjalan dengan semestinya. Ini merupakan cara perencanaan dengan mendengarkan aspirasi rakyat dan kemudian menjadi pemikiran dalam perencanaan oleh pemerintah yang nantinya akan membentuk sebuah kebijakan.

Ketua BEM Universitas Trisakti, Vladima Insan Mardika mengatakan, sejumlah dosen, mahasiswa, dan alumni Universitas Trisakti menyuarakan keresahannya lewat maklumat yang salah satu poinnya menyatakan pemilu 2024 adalah pemilu pertama pasca reformasi yang paling tidak fair. Lebih lanjut ia mengatakan Pemilu 2024 masih sangat jauh dari marwah Pemilu yakni jujur dan adil.

“Sangat jauh sekali. Hari ini kita juga bisa melihat banyak di perguruan tinggi yang juga dapat manis-manis dari negara untuk melakukan operasi senyap. Bahkan sempat ditemukan juga ada operasi-operasi yang dilakukan untuk pebungkaman dan juga untuk mendekorasi. Seolah-olah barang busuk ini terlihat wangi indah. Tapi kan itu tidak akan menutup karakter aslinya,” kata dia.

Vladima juga menyinggung masih adanya praktik politik. Dalam Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan seseorang yang terbukti melakukan politik uang bisa di pidana paling lama 3 tahun dan denda sebesar Rp 36.000.000. “Harusnya ada sanksi yang tegas ya,” ujar dia.

Menurut Ketua BEM universitas Trisakti itu, hukuman yang tepat semestinya dengan cara didiskualifikasi agar mendapat efek jera. Vladima menilai politik uang hanya akan mengikis dan mendegrasi masyarakat karena dilemahkan dengan bantuan uang.

Negara juga diharapkan dapat mengembalikan tujuan dibentuknya hukum guna mencapai cita-cita luhur negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 memberikan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dan penyerahan kekuasaan dalam pembentukan sistem pemerintahan demokratis.

Di Indonesia, sebagai rechtsstaat, segala mekanisme Pemilu harus terikat oleh ketentuan konstitusi. Namun, intervensi penguasa dalam pemilu dapat menggoyahkan fondasi demokrasi, terutama ketika terjadi pelanggaran etik dan manipulasi konstitusi. Ketua BEM Universitas Pertanian Bogor (IPB) Imaduddin Abdurrahman mengatakan, intervensi dari pemerintah sangat terasa. Dibuktikan oleh ikut campurnya pemerintah dalam kontestasi politik ini. Sejatinya, kata dia, pemerintah harus netral dalam menghadapi Pemilu.

“Kalau dikatakan intervensi, konteksnya adalah sebenarnya lebih ke pemerintah ikut bermain. Join the game,” kata dia. Imaduddin lantas mencontohkan dengan mendefinisakn intervensi itu pemerintah telah ikut campur terlibat.

“Kalau saya, justru istana atau mungkin sekarang konteksnya pemerintah secara sukarela masuk the game, masuk kontestasi pemilu ini sekilas bertujuan untuk mendukung salah satu paslon.” Menurut dia, pemerintah seharusnya netral dan menjaga etika dan keteladanan dari demokrasi di Indonesia.

Menurut dia untuk menjaga pemilu yang murni, oknum lembaga dan tokoh yang tidak seharusnya terjun dalam riuh pemilu harusnya diam. Selain itu, conflict of interest menjadi tinggi jika kontestan masih menjabat dalam pemerintahan.

“Potensi conflict of interest sangat tinggi jika dia tidak keluar dari jabatan publik yang dia ampu sekarang. Jadi kalau di katakan minimal caranya agar pemilu ini bisa independent, orang-orang yang punya kuasa, terikat secara jabatan tapi malah mengendorse salah satu paslon ya dia harus keluar dari situ dulu. Baru nanti kemudian lembaga-lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu harus bekerja secara maksimal.”

Banyaknya pelanggaran saat ini, kata dia, salah satunya karena ketidakhadiran penuh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menjaga marwah pemilu. Menurut dia meskipun lembaga-lembaga tersebut sudah bekerja, namun masih belum maksimal.

Imaduddin berpendapat keterlibatan partisipasi publik tidak kalah penting karena publiklah yang akan menentukan nasib bangsa 5 tahun ke depan. “Harus ada partisipasi publik. Karena mau gak mau dengan tiga lembaga penyeleggara pemilu itu tidak akan cukup.”

Menurut dia, masyarakat Indonesia tidak boleh hanya menerima hasil saja karena partisipasi publik menjadi sebuah elemen penting. “Kita selaku masyarakat Indonesia wajib ikut serta terlibat dalam proses demokrasi saat ini,” kata dia.

Ketua BEM Universitas Padjajaran (UNPAD), Mohamad Haikal Febriansyah menilai, banyak sekali penyimpangan yang dilakukan para calon untuk berkampanye. “Sering kita lihat penyalahgunaan hak berkampanye, seperti melibatkan aparat pemerintahan, menunggangi kepentingan pemerintahan untuk elektoral, membayar massa (politik uang-red) untuk hadir dalam kegiatan ataupun memilih dan lainnya,” kata dia.

Bentuk pelanggaran dari politik uang salah satunya adalah pembagian sembako disertai foto calon anggota legislatif. Menurut dia hal itu melanggar aturan kampanye 2024 yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 dan PKPU Nomor 20 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum.

Ketua BEM Universitas Brawijaya Satria Naufal Putra Ansar menuturkan, meskipun politik dinasti merupakan kajian yang sudah ada dari tahun-tahun sebelumnya namun ia merasa klimaksnya ada di Pemilu 2024. “Satu dilakukan oleh aktor tertinggi dalam hal ini adalah pemerintahan. Kedua dalam kontestasi politik paling besar pilpres.”

Menurut dia, keduanya tidak dapat dipisahkan dikarenakan banyak orang yang selalu menggabungkan ketika mengkritik Presiden Joko Widodo adalah mengkritik Paslon 02, Prabowo - Gibran. “Mahasiswa tidak menunjukan kritik itu kepada 02. Tapi orang-orang menafsirkan kalau itu satu paket sehingga itu memvalidasi kalau tidak bisa dipisahkan.”

Politik dinasti, lanjut dia, merupakan kritik pada ketidakadilan yang didapat oleh orang yang keluarganya tidak bergabung kepada politik. “Saya yakin dan percaya bahwa sedikitnya ada cipratan-cipratan kekuasaan oleh penguasa kepada calon penguasa ini. Dan bagi saya itu tidak adil.”

Kedua, menurut dia, parameter demokrasi tidak lagi berbicara bahwa masyarakat memilih atau tidak. “Tapi bagaimana aksesibilitas orang tersebut untuk dipilih. Bagaimana rasionalitas seseorang untuk memilih. Ya bagaimana rasionalitas pemilih bisa sehat ketika mohon maaf, masyarakat-masyarakat yang hari ini perutnya lapar tiba-tiba datang bansos. Bagaimana itu bisa menjadi penawar yang baik untuk pemilih bisa rasional. Jadi menurut saya politik dinasti mengganggu rasionalitas para pemilih.”

Ketua BEM Universitas Airlangga, Anang Jazuli, mengatakan, Pemilu 2024 harus dan mutlak dilakukan secara jujur, adil, dan tanpa politik uang oleh penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, peserta pemilu, masyarakat, dan pemerintah. Dengan tiga prinsip itu, kata dia, secara otomatis pemilu akan berlangsung secara damai, bermartabat, dan dapat mewujudkan sarana integrasi bangsa.

Adanya suara dari rakyat sipil, mahasiswa dan guru besar yang menuntut keadilan dari para penguasa membuat Anang berharap, aspirasi dan suara kampus bisa terdengar oleh para penguasa. “Harapan kami, apa yang menjadi aspirasi dan suara dari kampus terhadap kondisi pemilu dan demokrasi hari ini didengar dan diperhatikan oleh pemerintah.”

Pemilu 2024, kata dia, harus bisa menjadi sarana integrasi bangsa sesuai dengan tagline KPU. Para pejabat publik dan pemerintah, ASN, TNI, Polri harus bersikap netral dan tidak memihak untuk menjaga kondusivitas berjalannya pemilu. “Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap hasil pemilu akan menguat,” ucap dia. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus