Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah berharap pertumbuhan ekonomi tahun ini mencapai kisaran 5-5,5 persen. Selaras dengan proyeksi Bank Dunia terhadap ekonomi Indonesia yakni 5,2 persen. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional. Sektor kesehatan mendukung dengan gencarnya program vaksinasi guna mencapai kekebalan kelompok dan akhirnya dapat mengembalikan aktivitas ekonomi pada masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deputi Komisioner Humas dan Logistik Otoritas Jasa Keuangan, Anto Prabowo, berharap konsumsi rumah tangga dapat didorong menjadi 5 persen, melesat dari catatan sebelumnya pada Kuartal III 2021 berada di kisaran 2 persen. “Konsumsi rumah tangga seperti apa yang dapat mencapai 5 persen? Kata kuncinya adalah mobilitas,” kata Anto dalam Dialog Industri Tempo bertajuk “Peran Sektor Jasa Keuangan dalam Pemulihan Ekonomi” Selasa, 15 Februari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mobilitas, Anto melanjutkan, yang memungkinkan terciptanya demand. Dengan timbulnya permintaan, maka akan ada upaya untuk memenuhi kebutuhan melalui produksi, distribusi, dan penjualan. Kendati Bank Indonesia telah menetapkan suku bunga acuan tetap rendah yakni 3,5 persen, sepanjang demand masih rendah maka pengusaha akan malas berproduksi. “Jika tidak berproduksi, untuk apa kredit? Jadi, sepanjang belum ada mobilitas maka belum ada permintaan kredit,” ucapnya.
Presiden Direktur Bank BCA, Jahja Setiaatmadja, menyatakan suku bunga rendah tetap memberi harapan terhadap pertumbuhan kredit, terutama kredit konsumsi seperti kredit perumahan rakyat (KPR) atau membeli kendaraan. “KKB (kredit kendaraan bermotor) di BCA sangat bagus setelah pandemi, bisa Rp2 triliun per bulan dan KPR 3,2 triliun rupiah per bulan,” ujarnya.
Namun, kondisi berbeda pada kredit yang ditujukan untuk usaha dan investasi. Kredit semacam ini dibutuhkan untuk meningkatkan bisnis, berinvestasi pada modal kerja, inventaris dan proyeksi bisnis. “Di sinilah masalahnya. Kalau mobilitas nggak ada, nggak ada yang datang ke toko maka akan sulit memakai kredit karena nggak ada gunannya,” ucap Jahja.
Sebenarnya, Jahja melanjutkan, potensi kredit tetap bagus karena banyak industri yang membutuhkannya. “Kalau kami lihat sektor pertambangan luar biasa kebutuhannya. Baik batu bara dan alumina, petrochemical lalu CPO (kelapa sawit) saat ini sangat dicari untuk minyak goreng dan biodiesel,” tuturnya.
Begitu juga di bidang kesehatan, healthcare untuk obat dan vitamin. “Kemudian kredit untuk infrastruktur, usaha logistik karena sekarang banyak jasa kurir, serta bisnis food and beverages karena 260 juta jiwa penduduk Indonesia pasti perlu makan,” kata Jahja.
Karena itu, Jahja optimistis dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Sekali lagi ia menegaskan kuncinya adalah mobilitas. Masyarakat sudah dapat beraktivitas maka konsumsi ekonomi akan tinggi. “Potensi pertumbuhan kredit 7-8 persen moga-moga bisa dicapai. BCA tahun lalu sudah 8 persen, dan industri 5 persen. Semoga bisa sama seperti itu lagi,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, melihat optimisme perbankan memang patut diapresiasi. “Di masa pandemi, perbankan justru di masa panen. Tingkat profit mereka tinggi karena disimpan di SBN (surat berharga negara). Posisi SBN meningkat cukup tajam. Pada 2019 sekitar 21,12. Lalu 2020 jadi 35,” ujarnya.
Menurut Tauhid, tantangan untuk perbankan di tengah situasi pemulihan ekonomi yakni, apakah perbankan bisa menyalurkan kredit secara optimal atau tidak. Hambatannya tidak hanya pandemi Covid-19, melainkan juga kekhawatiran terhadap kenaikan suku bunga The Fed yang bisa saja terjadi tahun ini, serta ancaman terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina.
Diskusi Financial Series Tempo ini akan terus berlanjut sepanjang 2022 dengan mengusung berbagai tema terkait isu pemulihan ekonomi nasional, sekaligus mendukung Presidensi Indonesia di G20. (*)