Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

iklan

Pendanaan dalam Menuju Energi Baru Terbarukan

Terdapat beberapa hambatan dalam mewujudkan peningkatan energi baru terbarukan (EBT), salah satunya karena energi konvensional lebih murah.

 

16 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah Republik Indonesia menargetkan adanya penurunan penggunaan batu bara hingga 30 persen dari total bauran energi nasional pada 2025. Hal itu juga diiringi dengan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) menjadi 23 persen. Sayangnya, upaya yang dilakukan saat ini masih jauh dari target.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alin Halimatussadiah, peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia memaparkan, untuk keseluruhan bauran energi masih kurang dari 15 persen dari target yang ditetapkan mencapai 23 persen persen pada 2025. Angka tersebut lebih rendah lagi di sektor listrik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kurang dari 12 persen, padahal harus mencapai 23 persen di 2025,” ujarnya pada diskusi yang bertajuk “Pendanaan Transisi Energi : Instrumen Pengurangan Risiko dalam Pengembangan Energi Terbarukan untuk Mendukung Proses Dekarbonasi”, Selasa, 12 Oktober 2021.

Selain Alin, narasumber lain yang hadir yakni, Joko Tri Haryanto dari Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim Multilateral Kemenkeu, Analis Kebijakan Madya Koordinator Penyiapan Program Aneka EBT Tony Susandy, serta dimoderatori oleh Redaktur Tempo Ali Nur Yasin.

Acara yang diselenggarakan Media Tempo itu dapat disaksikan di kanal Youtube Tempo.co, Facebook Live Tempo Media dan Saluran Digital TV Tempo.

Alin melanjutkan, dokumen perencanaan sudah sangat mendukung, tapi realisasinya tidak seprogresif rencana. Menurutnya, terdapat beberapa hambatan dalam mewujudkan penurunan risiko melalui energi terbarukan. Pertama, masih adanya anggapan energi konvensional lebih murah.

Selain itu, terdapat masalah-masalah lain, misalnya investment cost dan financing cost yang tinggi. “Para financer belum terlalu peduli dengan proyek energi terbarukan ini,” kata Alin.

Alin pun turut mengidentifikasi resiko-resiko yang akan dihadapi dalam proyek energi terbarukan ini. Misalnya, risiko berdasarkan fase yang hinggap pada  developer dan financer.

“Para financer belum terlalu aware dan ini menjadi hambatan,” kata Alin. Jika tahap pengembangan kurang baik, lanjut Alin, maka tahap konstruksi turut berpengaruh.

Semetara itu, Joko Tri Haryanto, dari Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim Multilateral Kemenkeu mengatakan, dalam hal energi terbarukan, pemerintah sudah punya komitmen melalui UU nomor 16 tahun 2016  tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).

Kemenkeu, menurut Joko, mendukung di bidang pendanaan. Namun, prinsipnya, ketika membicarakan sumber pendanaan dalam menghadapi perubahan iklim secara nasional harus ada kerja sama. Secara alamiah, EBT memiliki keragaman dan karakteristik yang berbeda. Makanya, kata Joko, kerja sama antarlembaga menjadi sangat penting.

Ia melanjutkan, sumber dana dari APBN tiap tahunnya tidak lebih dari 34 persen. Oleh karena itu, pemerintah harus bisa menarik masuk partisipasi dari nonpemerintah.

“Misalnya dengan menggandeng swasta dan kerja sama internasional,” ucapnya pada kegiatan yang sama.

Selain partisipasi dari swasta, Joko menekankan peran penting di level daerah. Ia menjelaskan, bahwa masing-masing daerah wajib membuat Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Selain itu, daerah juga harus memasukan rancangan tersebut ke dalam RPJMD. Ia mengatakan, “kita harus memikirkan supaya RUED ini tidak menjadi ruwet.”

Analis Kebijakan Madya Koordinator Penyiapan Program Aneka EBT Tony Susandy, menyampaikan terdapat peningkatan defisit transaksi berjalan dari tahun ke tahun. Hal tersebut disebabkan oleh impor minyak. Pada 2020, produksi minyak terus menurun sementara terjadi peningkatan konsumsi.

Akan tetapi, lanjut Tony, Indonesia memiliki kebijakan energi nasional yang menargetkan peningkatan positif dalam produk energi nasional sebesar 23 persen pada 2025. Kondisinya, saat ini bauran energi nasional didominasi oleh 88 persen energi fosil.

“Batu bara masih mengambil porsi terbesar, yaitu sebanyak 38 persen, diikuti dengan minyak bumi sebanyak 31 persen dan gas alam 19,2 persen,” tutur Tony.

Berdasarkan pemaparan Tony, diperlukan investasi sebesar 25 miliar dolar hingga 2025. “Masih ada opportunity. Terlebih lagi, pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca,” ucapnya. Komitmen tersebut, jelas Tony, disampaikan oleh Joko Widodo, presiden RI dalam beberapa kesempatan. “Presiden berkomitmen untuk melakukan transformasi menuju EBT dan akselerasi ekonomi berbasis teknologi hijau,” kata Tony.

Dalam hal pendanaan, Tony mengatakan, Indonesia juga turut membuka investasi dalam transisi energi melalui biofuel, mobil listrik, dan lain-lain. “Indonesia membutuhkan bantuan internasional dalam menuju EBT, baik dari pendanaan maupun bantuan teknis,” kata dia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus