Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
IMF memprediksi ekonomi bertambah berat setelah pandemi.
Kenaikan harga batu bara di Indonesia tak mendongkrak ekonomi.
Ada bayang-bayang ancaman stagflasi.
LAJU pemulihan ekonomi global tersendat. Itulah kesimpulan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Economy Outlook edisi Oktober 2021. IMF memangkas proyeksi pertumbuhan global dari 6 persen dalam estimasi Juli lalu menjadi 5,9 persen. Sedangkan untuk Indonesia, proyeksi IMF malah jauh lebih muram. Ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 3,2 persen tahun ini, jauh di bawah proyeksi sebelumnya yang sebesar 3,9 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyeksi IMF semestinya menjadi alarm bagi investor. Indonesia memang sedang terbuai rezeki dari naiknya harga batu bara, yang di pasar tunai masih terbang di atas US$ 245 per ton. Tapi tingginya harga energi inilah yang justru menjadi salah satu penyebab pemulihan ekonomi global bakal melambat. Efek negatif pelemahan ini pada ekonomi Indonesia pun justru lebih besar ketimbang dorongan positif dari rezeki batu bara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pusat persoalan ekonomi dunia saat ini adalah guncangan di sisi pasokan alias supply shock. Ketika pandemi Covid-19 melanda, yang pertama kali terjadi adalah demand shock, penurunan permintaan besar-besaran, karena kegiatan ekonomi terkena karantina di mana-mana. Kini, setelah pandemi mereda, permintaan pulih dengan cepat. Suntikan stimulus bank sentral ataupun pemerintah berperan besar memulihkan permintaan di mana-mana. Masalah baru muncul. Rantai pasokan global kini pampat, tak mampu mengatasi lonjakan permintaan itu.
Tak mudah memang mengurai macetnya rantai pasokan. Apalagi sebetulnya pandemi belum sepenuhnya berakhir di seluruh dunia. Sedikit gangguan di salah satu pelabuhan kian menambah panjang antrean kapal yang sudah mengular. Di Eropa, krisis bahkan juga terpicu oleh masalah yang terlihat sederhana tapi vital dan tak mudah diatasi dalam tempo segera, misalnya kelangkaan pengemudi truk kontainer.
Akibat kemacetan itu, ongkos kirim satu kontainer berukuran 40 kaki secara rata-rata global sudah naik tiga kali lipat dibanding pada awal 2021—bahkan 10 kali lipat jika dibandingkan dengan masa normal sebelum pandemi. Para analis memperkirakan, setidaknya hingga Imlek 2022, kongesti global belum terurai. Buntutnya: inflasi melonjak di negara-negara besar. Harga mainan hadiah Natal hingga barang elektronik naik tak tertahan. Sudah begitu, kini muncul pula krisis gas di Eropa dan batu bara di Cina, yang mendorong harga-harga barang terbang tinggi.
Memori buruk dari 1970-an pun bangkit lagi. Kala itu ekonomi dunia terperosok ke jurang stagflasi: merosotnya pertumbuhan datang bersamaan dengan tingginya inflasi. Situasinya mirip dengan sekarang. Harga energi yang melonjak tajam juga mengerem pertumbuhan ekonomi pada 1970-an. Miripnya kondisi dan kekhawatiran akan munculnya cekikan supply shock dalam skala global saat ini membuat banyak analis mengantisipasi kembalinya stagflasi. Mereka menjulukinya stagflasi 2.0.
Muncul pula kontroversi. Menjelang stagflasi 1.0, bank sentral pada umumnya menganggap gejala inflasi tinggi hanyalah sementara. Ada efek embargo minyak oleh negara-negara anggota organisasi pengekspor minyak bumi (OPEC) dan gangguan cuaca ekstrem yang membuat pasokan komoditas pertanian merosot. Mereka tidak bertindak sampai akhirnya segalanya sudah terlambat.
Situasi sekarang juga demikian. The Federal Reserve sebagai bank sentral terbesar di dunia masih menilai inflasi wajar. Ini hanya periode peralihan dari ekonomi lesu menuju pemulihan. IMF pun, meski sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan, juga cenderung menilai ancaman stagflasi 2.0 belum riil. “Masih terlalu dini untuk berbicara soal stagflasi,” tutur Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath.
Perdebatan semacam ini di antara ekonom tidak akan pernah ada habisnya. Cuma, ada baiknya investor menimbang tren naiknya inflasi dengan saksama. Betul, masih belum pasti apakah akan ada stagflasi atau tidak. Tapi, yang jelas, tekanan inflasi global makin tinggi di mana-mana. Kondisi ini besar kemungkinan akan memaksa bank sentral lebih cepat mengetatkan likuiditas dan menaikkan bunga. Tidaklah penting mereka mengakui akan ada stagflasi atau tidak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo