Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak Dewan Perwakilan Rakyat memastikan Rancangan Undang Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) masuk dalam daftar Program Legislatif Nasional (Prolegnas) pada Sidang Paripurna, 3 Oktober 2023, Badan Legislatif (Baleg) DPR intens membahas rencana ke depan setelah Jakarta tak lagi berstatus ibu kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim Ahli Baleg DPR telah menetapkan substansi draf RUU DKJ yang terdiri dari lima bab. Posisi Jakarta setelah ibu kota pindah ke Kalimantan dijabarkan dalam Bab II. Kemudian Bab IV terkait bentuk dan susunan pemerintahan. Sedangkan Bab V tentang perubahan kewenangan sebagai pemerintahan provinsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Posisi Jakarta ditegaskan akan menjadi pusat perekonomian nasional dan kota global (global city). Berfungsi sebagai pusat perdagangan, pusat kegiatan layanan jasa dan layanan jasa keuangan, serta kegiatan bisnis nasional dan global.
“Dalam penyusunan, Baleg telah melakukan RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) dengan sejumlah pakar. Pakar sosial, pakar pemerintahan, pakar otonomi daerah, pakar hukum tata Negara, dan perwakilan masyarakat Jakarta yang diwakili kelompok masyarakat adat Betawi,” ujar pemimpin rapat, Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi, saat rapat pada 13 November 2023, sebagaimana dalam rilis yang diterima Tempo.
Pada hakikatnya, Jakarta telah menjadi kota global. Namun, peringkatnya masih jauh tertinggal dari kota-kota lain di dunia. Dalam Global City Index, posisi Jakarta pada 2022 berada di urutan 69 dari 156 kota. Kemudian, dalam Global Power City Index, Jakarta berada di peringkat 45 dari 48 kota. Adapun dalm Cities in Motion Index, Jakarta di peringkat 152 dari 183 kota.
Dalam berbagai indikator, Jakarta masih tertinggal dari Singapura dan Bangkok. Sedangkan kota global yang berada di urutan teratas adalah New York, London, Paris, serta Tokyo. “Ke depan, ukuran saya harus bisa masuk ranking yang baik dalam kota-kota dunia sebagai global city, minimal 30 besar,” ucap Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono saat diwawancarai Sonora belum lama ini.
Untuk berdiri sejajar dengan New York, London, Paris, atau Tokyo, ada sejumlah indikator yang patut dipenuhi Jakarta. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi DKI Jakarta Atika Nur Rahmania menuturkan, setidaknya ada enam faktor yang harus dimiliki sebuah kota jika ingin menjadi kota global yang bersaing.
Pertama, memiliki skala ekonomi yang berdaya saing. Kedua, memiliki hasil riset dan inovasi dengan kualitas serta kuantitas yang mumpuni. Ketiga, memiliki kelengkapan infrastruktur dasar perkotaan yang baik. Keempat, memiliki daya tarik wisata budaya. Kelima, memiliki kualitas lingkungan yang baik. Keenam, memiliki moda transportasi yang mudah diakses oleh warga negara lain.
Empat kota di negara maju itu telah memiliki beragam instrumen yang menjadikannya sebagai benchmark kota global. Misalnya New York, memiliki lebih dari 10 perusahaan yang masuk 100 Top World Company dan 100 lebih perusahaan unicorn. Di New York juga terdapat 100 universitas top dunia. Sedangkan London menjadi kota tujuan wisata dengan jumlah kunjungan lebih dari 30 juta per tahun.
Atika membuka data, jumlah wisatawan asing di Jakarta sebanyak 935.182 orang per tahun. Kalah jauh dengan Bangkok yang meraup 11,5 juta turis serta Singapura dengan 6,5 juta wisatawan. “Kita harus menjadikan Jakarta semenarik kota-kota tetangga kita itu yang menjadikan ekonomi kreatif sebagai pesona wisata,” katanya.
Direktur Regional I Kedeputian Bidang Pengembangan Regional Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Pembangunan Nasional, Abdul Malik Sadat Idris, menyatakan, sebenarnya Jakarta punya potensi besar menjadi destinasi wisata. Selain memiliki bangunan bersejarah dan mulai ditunjang kehadiran moda transportasi modern seperti LRT, MRT, Transjakarta, dan Commuter Line, budaya Betawi pun dapat menjadi keunggulan.
Dalam indikator Cultural Interaction, kota yang memiliki interaksi budaya terbaik karena terjadi pembauran budaya atau kota yang melting pot yaitu London, New York, Paris, Dubai, dan Tokyo. Dari Asia Tenggara, Singapura berada di peringkat 11, Bangkok di posisi 17, Kuala Lumpur di urutan 26, sedangkan Jakarta masih di peringkat 42.
“Cultural interaction di Jakarta belum tinggi, padahal punya peluang besar. Budaya Betawi sebenarnya sangat baik, sangat ramah. Sebenarnya bisa jadi andalan, nah itu kita kembangkan sebagai budaya terbuka,” tutur Abdul Malik.
Tantangan Lain dan Solusi
Menurut Abdul Malik, misi Jakarta sebagai kota global yang akan menjadi kota perekonomian dan bisnis menghadapi tantangan besar. Dalam lingkup nasional, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta pada 2022 mencapai 3.185,5 triliun rupiah, jadi penyumbang terbesar untuk PDRB nasional sekitar 16 persen.
Demikian pula untuk Produk Domestik Bruto (PDB), Jakarta masih yang terbesar secara nasional, mencapai Rp 76,48 triliun. Namun, bandingkan dengan PDB Tokyo yang sebesar US$ 134 miliar atau sekira Rp 2.087 triliun. Demikian pula PDRB Tokyo yang mencapai US$ 1,6 triliun atau Rp 24.921 triliun.
“Kita jangan sedih, setiap kota pernah mengalami krisis. Untuk menjadi global city yang baik, visi ke depan tentu tidak hanya infrastruktur, tapi ada lingkungan, digital, kebahagiaan, bahkan inklusif dan berkelanjutan,” ungkap Abdul Malik.
Dalam upaya mencapai kebahagiaan dan kenyamanan warga, tantangan selanjutnya adalah ketersediaan air bersih. Padahal, Jakarta menghadapi krisis air karena berbagai faktor, antara lain penurunan permukaan tanah dan dampak perubahan iklim.
Menyadari ancaman ini, Pj Gubernur Heru Budi terus menjalankan program berkelanjutan, agar warga mendapatkan suplai air bersih yang cukup. Pemprov DKI Jakarta melalui PAM Jaya memiliki peta jalan membangun sampai 2030. Salah satu langkahnya mengejar target pipanisasi 100 persen. Kemudian, menyiapkan reservoir dan teknologi mengubah air laut menjadi air bersih.
“Teknologi sudah ada, tinggal investasi kita hitung. Jadi dari hulu ada dan di tengah kota juga ada. Kalau tidak kita tangani hari ini, ke depan bisa menjadi krisis air bersih. Perubahan iklim kita tahu ada,” papar Heru.
Ia juga menyadari pembangunan Jakarta sebagai kota global tidak bisa sendiri. Misalnya dalam pembangunan transportasi, mengatasi banjir, dan menyediakan air bersih, Pemprov DKI harus bersinergi dengan pemerintah sekitarnya, seperti Depok, Bogor, serta Bekasi. Hal ini sejalan dengan konsep Megalopolis Jakarta-Banten-Jawa Barat yang disampaikan Abdul Malik, bahwa Jakarta sangat terkonektivitas dengan berbagai wilayah di sekitarnya.
“Kalau disimpulkan, ini adalah tanggung jawab, karena Jakarta ke depan diperkuat untuk memimpin orkestrasi yang berisi koordinasi, koperasi, kolaborasi, dan delegasi bersama stakeholder lainnya, di pusat maupun daerah. Orkestrasi itu akan mengelola sebuah multi-province spasial,” jelas Abdul Malik.
Karena itu, Heru Budi menekankan, selama setahun ke depan memimpin Jakarta, dirinya akan menyiapkan kota ini mampu bersaing sebagai kota global. Ia menyebut sejumlah syarat agar Jakarta mampu bersaing. Antara lain, pertumbuhan ekonomi, terus mengembangkan infrastruktur, menekan emisi karbon melalui pengontrolan gas buang, penerapan green building dan pajak karbon, hingga faktor keamanan serta kenyamanan. “Saya konsentrasi di situ. Ke depan harus seperti itu,” tegasnya.