Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 1968, di tahun keempat pemerintahannya, Perdana Menteri Harold Wilson menghadapi Inggris yang kacau-balau. Ekonomi melempem dan demo buruh di mana-mana. The Daily Mirror, koran terbesar di London yang menjadi pendukung utama Wilson, mengkritik keras kebijakan-kebijakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilik koran itu, Cecil King, tak sabar dengan keadaan babak-belur itu. Direktur Bank of England ini berencana menggulingkan Wilson dengan membujuk Louis Mountbatten menggantikan Perdana Menteri dari Partai Buruh itu. Mountbatten orang yang tepat. Ia mantan Kepala Staf Pertahanan Inggris, panglima perang yang disegani militer. Ia juga paman Pangeran Philip, suami Ratu Elizabeth II.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan dukungan yang sempurna itu, dalam pikiran Cecil King, Mountbatten bisa mengembalikan keadaan Inggris yang porak-poranda. Syarat-syarat pengambilalihan kekuasaan sudah terpenuhi: keadaan yang kacau, media yang berpihak, parlemen yang rapuh, militer yang dikuasai. Tinggal satu yang belum tersedia: dukungan Ratu.
Mountbatten pun menemui Ratu Elizabeth II untuk meminta restu mengambil alih kepala pemerintahan. Ratu tak setuju karena merebut kekuasaan, apalagi di masa darurat, tak konstitusional.
“Mengapa Anda melindungi Wilson?”
“Saya melindungi Perdana Menteri, menjaga konstitusi, melindungi demokrasi,” kata Ratu.
“Bahkan jika orang di pusat demokrasi itu ingin menghancurkannya? Apakah kita tak ingin bertindak menyelamatkan negara ini?”
“Ya,” jawab Ratu. “Kita tak perlu melakukan apa pun. Yang harus kita lakukan adalah bersabar, biarkan rakyat tak memilihnya lagi.”
Terlepas dari dramatisasi dalam detail adegan The Crown, film seri Netflix dari mana dialog itu saya petik, percakapan itu menarik. Ratu, pemimpin monarki, membicarakan esensi demokrasi. Meski bisa, Ratu Elizabeth tak memakai hak prerogatifnya menunjuk perdana menteri baru untuk menyelamatkan negara yang sedang kacau. Kita tahu, kudeta maupun pemecatan itu tak terjadi. Wilson tak lagi menjadi perdana menteri karena Partai Buruh kalah telak dalam Pemilihan Umum 1970.
“Demokrasi,” meminjam kata-kata Elwyn Brooks White, penulis buku anak-anak dalam suratnya kepada Dewan Perang Amerika Serikat pada 3 Juli 1943, “adalah lekukan di topi kita, krim di kopi kita, lubang di saku baju kita yang pelan-pelan mengucurkan serbuk gergaji. Demokrasi adalah kecurigaan terus-menerus dari sebagian masyarakat.”
Dengan kata lain, demokrasi adalah hal-hal yang menopang hal lain yang lebih besar. Jika kita baca How Democracies Die, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menunjukkan bahwa demokrasi berjalan oleh apa yang tak tercantum dalam hukum tertulis, di luar konstitusi, yakni hasrat manusia. Demokrasi Amerika, kata keduanya, bisa bertahan empat abad karena para pemainnya bisa mengendalikan diri untuk tak sewenang-wenang memakai kekuasaan, betapapun sah secara hukum.
Di negara-negara yang presidennya tak bisa menahan diri, kekuasaan jatuh ke dalam otokrasi. Alberto Fujimori di Peru memakai dekret untuk membubarkan parlemen karena tak sabar dengan proses demokratis yang alot. Rusia jatuh ke dalam otoritarianisme karena presidennya memakai kekuasaan yang eksesif untuk mengontrol banyak hal.
Amerika hampir jatuh ke jurang otokrasi ketika Donald Trump tak menahan diri: mengangkat anak dan menantu menjadi penasihatnya sendiri. Juga ketika ia terus-menerus menyerang pilar-pilar demokrasi: lembaga hukum, rival politik, dan media massa. Ia dengan enteng menyebut semua media yang mengkritiknya sebagai pembuat hoaks, sementara kebohongan-kebohongannya ia sebut “fakta alternatif”.
Demokrasi Amerika Serikat selamat dan negara itu keluar dari cengkeraman pemimpin otokrat karena demokrasi menyiapkan jalan keluarnya: pemilu. Melalui pemilu yang reguler, seseorang tak akan berkuasa selamanya. Dengan pemilihan yang rutin, otoritarianisme bisa dicegah. Publik, pemilik kekuasaan sesungguhnya, memakai pemilu untuk mengontrol kekuasaan lalim dan mengembalikan demokrasi.
Demokrasi, dengan begitu, merupakan sistem politik yang mengakui kelemahan-kelemahannya sendiri. Dalam kelemahan itu, demokrasi mencari jalan untuk memperbaiki diri. Demokrasi memungkinkan siapa saja menjadi penguasa, sekaligus mengakui suara siapa saja yang tak berkuasa. Suara pemilih yang tak menang dalam lomba meraih kekuasaan itu tetap punya saluran melalui oposisi. Dalam demokrasi, kekecewaan punya tempat.
Oposisi memang tak selalu menang mengingat jumlahnya yang lebih sedikit. Tapi, dengan cara memformalkan suara oposan, wakil-wakil mereka di parlemen akan meneruskan suara yang sedikit itu. Demokrasi menjadi indah karena suara publik yang pro dan kontra terwadahi.
Maka para demokrat selalu sadar, meniadakan oposisi—termasuk merangkul mereka memakai iming-iming konsesi atau jabatan menteri—akan melahirkan pembangkangan publik di luar lembaga formal yang tak demokratis. Dengan kata lain, membunuh oposisi dan sikap tamak mencandu hasrat melanggengkan kekuasaan adalah cara terbaik membunuh demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Candu di Saku Baju"