Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Kerja Sama (BKS) Provinsi Kepulauan mendorong Rancangan Undang-undang Daerah Kepulauan segera dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah pusat. Rancangan belied tersebut masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjuangan delapan provinsi yang tergabung dalam BKS Provinsi Kepulauan kian gencar, pasalnya sudah 18 tahun RUU tersebut belum terealisasi. Berulang kali masuk prolegnas namun nyatanya menguap begitu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BKS Provinsi Kepulauan terdiri atas Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Ketua BKS Provinsi Kepulauan yang juga Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi, mengatakan delapan provinsi memiliki pemahaman dan solidaritas yang sama. “Bahwa RUU Daerah Kepulauan harus segera disahkan menjadi undang-undang demi menghadirkan keadilan,” ujarnya.
Menurut Ali Mazi, realisasi undang-undang khusus kepulauan demi kemajuan masyarakat dan wilayah di seluruh daerah kepulauan dalam bingkai NKRI. “Sebagai perwujudan Indonesia menjadi poros maritim dunia," kata dia.
Sekotong, Lombok Barat.
Adapun RUU Daerah Kepulauan sejatinya berbicara tentang pembagian kue secara merata agar tidak terjadi ketimpangan. Hal ini selaras dengan cita-cita Presiden Pertama RI, Ir Sukarno, yang ingin mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan menjadi poros maritim dunia.
Serupa, Presiden Joko Widodo pun memiliki visi dan misi agar Indonesia menjadi poros maritim dunia. Caranya, dengan membangun Indonesia melalui pinggiran. "Pinggiran di sini maksudnya adalah daerah-daerah pesisir, daerah kepulauan," kata Ali Mazi. "Yang artinya membenahi infrastruktur, sumber daya manusia, sampai regulasinya. Jangan ada inflasi, kemiskinan dan lainnya."
Visi para pemimpin negara tersebut pada akhirnya sekadar wacana karena pemerintah secara praktiknya belum menerapkan keadilan. Untuk diketahui, selama ini pembagian dana alokasi umum (DAU) dari pemerintah pusat dihitung berdasarkan luas wilayah daratan dan jumlah penduduk. Wilayah kepulauan pastinya memiliki luas daratan lebih kecil dengan penduduknya lebih sedikit.
Padahal potensi di daerah kepulauan sangat besar. Tak jarang, hasil sumber daya yang ada diklaim menjadi milik daratan. Kesejahteraan karena DAU yang timpang pun pada akhirnya lebih dinikmati wilayah daratan.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Nono Sampono, memberi contoh yang membuktikan ketimpangan DAU. Bandingkan APBD Provinsi Maluku pada 2022 sebesar Rp 2,8 triliun dengan APBD Kabupaten Bogor sebesar Rp 7,76 triliun atau APBD Kabupaten Malang Rp 4 triliun. "Padahal Maluku ini provinsi," ucapnya.
Penyebab tiadanya keadilan itu, karena pemerintah pusat tidak menghitung perairan di provinsi kepulauan sebagai bagian dari luas wilayah. Alhasil, yang beruntung adalah pulau-pulau besar dengan jumlah penduduk yang padat.
Kian ironi jika mengingat Indonesia sejatinya adalah negara kepulauan. Berbagai provinsi terbukti memiliki luas wilayah perairan lebih luas dari daratan, misalnya Provinsi Kepulauan Riau, luas wilayahnya 8.201 kilometer persegi dengan 96 persen berupa perairan dan empat persen daratan. Kemudian Provinsi Maluku Utara luas lautannya mencapai 113 ribu kilometer persegi (78 persen) dan daratan hanya 31 ribu kilometer persegi (22 persen).