Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Keadilan

Keadilan “nyata”—bukan sekadar konstruksi sosial. Mereka merindukannya dan yakin bahwa Keadilan itu universal.

29 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hukum dan ribuan undang-undang mencoba menyusun Keadilan, mempertegas dan membentuknya.

  • Sejarah menunjukkan, justru karena Keadilan tak punya batas yang jelas, ia punya daya desak dan daya tarik yang sanggup membangunkan siapa saja. Ia bisa jadi penggerak perubahan.

  • Bagi mereka, untuk meminjam kata-kata Richard Eliezer, Keadilan “nyata”—bukan sekadar konstruksi sosial.

Keadilan nyata bagi mereka yang mencarinya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Richard Eliezer Pudihang Lumiu, dalam pengadilan di mana ia dituntut hukuman 12 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEADILAN, apa boleh buat, selalu sayup-sayup. Ia benua yang ujung dan batasnya samar-samar. Ia ruang dan sekaligus jalan yang berliku-liku.

Tidak, saya bukan hendak menyadur cerita Kafka. Dalam cerita termasyhur itu, Di Depan Hukum (Vor dem Gesetz), dikisahkan seseorang yang datang dari udik sampai di depan sebuah gerbang; ia hendak menghadap Hukum. Tapi sang penjaga pintu tak kunjung mengizinkannya masuk. Di depan gerbang itu ia menunggu dan menunggu bertahun-tahun sampai tua, sampai mati.

Cerita itu suram, aneh, memukau, tapi seandainya saya Kafka, saya akan membayangkan orang itu bukan gagal bertemu dengan Hukum, melainkan dengan Keadilan.

Hukum dan ribuan undang-undang mencoba menyusun Keadilan, mempertegas dan membentuknya—seperti ketika kartografi memproduksi peta sebuah wilayah—tapi tetap: pada akhirnya si peta tak sama dengan si wilayah. Keadilan tetap sebuah pengertian yang tak bisa dipatok.

Maka orang pun tak jarang ragu, bahkan memustahilkan, Keadilan ada. Keadilan dianggap hanya imajinasi dan penafsiran. Atau Keadilan dianggap hanya konstruksi politik dari sesuatu yang nihil—dan dengan sinisme itu orang punya alasan berbuat semena-mena.

Tapi sejarah menunjukkan, justru karena Keadilan tak punya batas yang jelas, ia punya daya desak dan daya tarik yang sanggup membangunkan siapa saja. Ia bisa jadi penggerak perubahan. Pelbagai revolusi bermula dengan mengibarkan bendera Keadilan, tapi sebenarnya bendera itu—merah-putih, merah saja, dengan gambar bintang, palu-arit, pedang, bulan sabit, atau apa saja—tak konsisten berkibar ke satu arah. Ia bukan petunjuk sejauh mana langkah ke kiri atau ke kanan. Ia lambang atau penanda yang mengambang, a floating signifier, hingga di sana siapa saja bisa merasa menemukan cita-cita mereka, dan memberi bendera itu makna yang mereka bangun sendiri.

Dalam keadaan itu, Keadilan justru mampu mempertemukan beraneka ragam orang yang merindukannya.

Sebab ia bukan penanda yang tanpa isi. Ia seperti doa: Keadilan adalah doa orang yang dizalimi. Dengan tempat dan zaman yang berbeda-beda, petani, buruh, budak, hamba sahaya, perempuan, si jelata yang ditindas, yang tak berdaya dan difitnah, mengharapkan Keadilan.

Bagi mereka, untuk meminjam kata-kata Eliezer, Keadilan “nyata”—bukan sekadar konstruksi sosial. Mereka merindukannya demikian rupa, yakin bahwa Keadilan itu universal.

Mereka—yang merindukan Keadilan itu—hidup konkret, lahir dari sebuah tempat dan masa tertentu, tapi ada sesuatu yang melampaui keterbatasan mereka. Dalam Kristen, seperti tercantum dalam Mazmur, mereka akan disebut “orang dianiaya [yang] mengerang” dan ke sana Tuhan datang. Dalam Islam, menurut Hadith, mereka “orang yang terzalimi”: doa mereka “tak terhalang” sampai ke Allah.

Mereka tak tergerak teori yang utuh, hingga dalam gerakan revolusi tak jarang terjadi kaum revolusioner bertengkar, saling mematikan, karena masing-masing menafsirkan arah mana yang harus ditempuh. Tanpa teori yang siap pakai, mereka juga tak bisa dan tak hendak punya label yang tetap.

Setidaknya ini cerita Zapatista. Gerakan kiri yang militan ini menguasai wilayah luas di Chiapas, negara bagian paling selatan Meksiko. Sejak 1994, mereka resminya dalam keadaan perang dengan Negara Meksiko. Mereka mengekspresikan cita-cita yang pernah mencetuskan sebuah revolusi di dasawarsa pertama abad ke-20. Tapi bagaimana kita memberi label kepada mereka?

Gerakan ini dipimpin Emiliano Zapata, yang lahir di sebuah dusun di Morelos dan memulai perlawanannya sebagai gerakan petani. Presiden Meksiko waktu itu, Porfirio Díaz, mendukung perkebunan tebu yang memonopoli tanah dan sumber air dan dengan demikian menjepit dan menekan rakyat banyak. Dalam perkembangannya, kaum Zapatista dikenal sebagai pembangkang bersenjata bertopeng hitam, yang muncul dan menghilang di pedalaman, setengah tampak setengah tidak, dipimpin seseorang misterius yang dikenal sebagai “Subkomandante Marcos”. Orang ini menyatakan sebuah paradoks: “Kami bersembunyi di balik topeng ini agar dilihat”. 

Balaclava hitam itu, yang semula buat melindungi wajah dari identifikasi, kemudian juga jadi sesuatu yang lain. “Di balik topeng hitam kami, adalah kalian”. 

Dengan kata lain, perjuangan itu untuk Keadilan semua orang, tak mengulang revolusi yang mendahulukan kaum sendiri. Di poster mereka tulis, “Para todos todo, para nosotros nada” (apa saja untuk siapa saja; untuk kami, tak ada apa-apa). Subkomandante Marcos seorang Marxis, tapi gerakannya bertolak dari bermacam-macam paham: tradisi pribumi Maya, theologi pembebasan para rohaniwan Katholik, sosialisme demokrat, anarkisme.

Tampak, dalam Zapatista, Keadilan lahir dari “pemberontakan” yang merangkul, bukan cuma menampik. “Kami berontak, maka kita ada”; kalimat termasyhur Albert Camus ini seakan-akan bergaung di antara mereka.

Dengan itu Keadilan tak ternilai. Ia tak bisa disepelekan sebagai hanya fantasi. Ia “nyata”, ketika mereka yang sewenang-wenang tak mengakuinya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus