Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Hasto Wardoyo, menyatakan klaim tentang paparan Bisphenol-A akibat peluruhan zat tersebut dari bahan plastik (polikarbonat) pada galon isi ulang air minum dalam kemasan (AMDK) dapat menyebabkan infertilitas terhadap manusia masih sulit dibuktikan secara keilmuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasto menyebutkan sejumlah jurnal yang memang melakukan penelitian terhadap efek Bisphenol-A (BPA) pada makhluk hidup. Namun berbagai penelitian tersebut baru dilakukan pada hewan. Hasilnya memang menunjukkan bahwa ada dampak buruk terhadap hewan yang menjadi uji coba. Salah satu hasilnya dapat menurunkan kualitas sperma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tapi pada manusia sangat sulit dilakukan penelitian (seperti pada hewan), karena meneliti harus dengan objektivitas yang tinggi, harus dengan kontrol,” kata Hasto saat diwawancarai melalui platform daring, Senin, 18 April 2022.
Ada beberapa penyebab sebuah penelitian tidak dapat diaplikasikan pada manusia dengan sebarang. Pertama, ujar Hasto, sebuah zat atau material yang diduga memiliki efek buruk tidak bisa dengan mudah menjadikan manusia sebagai objek eksperimen. “Ya nggak boleh dapat izin,” ujarnya.
Kedua, infertilitas pada manusia dapat disebabkan oleh berbagai hal. Salah satunya akibat terlalu banyak mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung phytoestrogen. Zat ini faktanya terdapat pada kacang-kacangan seperti kacang kedelai. Masyarakat Indonesia cukup akrab dengan kacang kedelai yang menjadi bahan pembuatan tahu dan tempe.
“Jadi harus bisa membedakan, jangan-jangan infertilitas bukan karena air mineral, tapi karena konsumsi makanan yang mengandung phytoestrogen,” ucap dokter ahli kebidanan dan kandungan ini.
Ketiga, Hasto melanjutkan, pada sebagian kelompok manusia mengidap kelainan yang disebut polikistik over. “Ciri khasnya itu yang rambutnya gede, kulitnya kasar, banyak jerawat. Kemudian ada juga perempuan yang obese atau kegemukan. Ternyata, ditemukan bahwa kadar BPA pada golongan tersebut lebih tinggi dibanding orang normal,” kata dia.
Selanjutnya, ada pula penelitian BPA dengan kadar gula darah untuk mengetahui dampaknya. Jika terbukti memicu kenaikan gula darah maka dapat menyebabkan infertilitas. “Tapi tidak terbukti. Jadi, orang yang terpapar BPA tidak ada hubungannya dengan infertilitas karena berbagai faktor tadi,” kata Hasto.
Selain faktor-faktor tersebut, penelitian terhadap dampak BPA pada infertilitas masih belum memenuhi kaidah ilmiah. Dalam ilmu kedokteran, ucap Hasto, terbagi menjadi lima level.
Pada level 1 atau yang tertinggi berarti telah diakui oleh seluruh ilmuwan karena memang terbukti. Inilah yang disebut kaidah ilmiah. Untuk level ini sah saja menjadi rekomendasi kesehatan, contohnya tentang dampak merokok pada kesehatan. Seluruh penelitian di mana pun akan menemukan hasil yang sama. Kandungan pada rokok memang berbahaya.
Sementara di level terbawah, level 5, merupakan perkataan para ahli. Misalnya dokter Hasto sudah diakui sebagai ahli kandungan, kebidanan, dan ahli bayi tabung, maka pendapatnya akan diakui oleh grupnya, sesama ahli.
“Nah, masalah BPA itu masuk ke level 5 saja belum, masih jauh. Kalau di mata ilmuwan, artinya tidak bisa memberikan rekomendasi untuk melarang atau menganjurkan,” ucap alumni Universitas Gadjah Mada tersebut. “Jadi level tadi itu kalau di Islam bisa diibaratkan dengan hadis. Ada hadis yang sahih itu di level 1, ada pula hadis yang lemah.”
Karena itu, Hasto mengimbau media menjalankan peran untuk memberi informasi sekaligus edukasi sehingga masyarakat dapat menilai sebuah sumber berita berasal dari hasil keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. “Isu publik itu banyak sekali yang jadi isu populer tapi tidak ada dasar yang kuat. Media harus selektif,” ujarnya.
Dokter Anak, Tubagus Rachmat Sentika Hasan, juga mengakui bahwa selama bertahun-tahun praktik belum pernah menemui kasus anak yang keracunan BPA dari botol minuman atau sumber makanan. “Sampai hari ini saya belum dapat pasien yang disebabkan oleh efek Bisphenol yang tinggi,” ujarnya.
Justru yang kerap dijumpai karena keracunan dari oli, bensin, atau minyak pelumas lainnya. Keracunan pada anak kerap terjadi lantaran orang tua lalai menaruh barang-barang berbahaya di rumah.
Sementara mengenai kandungan BPA pada AMDK, dokter Rachmat menyatakan kalau masih di bawah ambang batas dan para ahli kesehatan telah menyebutkan masih aman maka bisa diikuti. “Apalagi BPOM sudah me-launching kalau masih di bawah 0,1 ya bagus dong. Berarti yang diperiksa pada air mineral itu tidak jadi masalah,” ucapnya.