Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Sengketa Berdarah di Tepi Hanoi

Sengketa lahan pembangunan bandar udara militer di Vietnam berujung maut. Polisi diduga merekayasa kasus.

3 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sengketa lahan pembangunan bandar udara militer di Vietnam berujung maut.

  • Pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada dua warga Desa Dong Tam.

  • Polisi diduga merekayasa kasus dan tak melakukan penyelidikan forensik.

PENGADILAN Rakyat Hanoi menjatuhkan hukuman mati kepada Le Dinh Cong dan adiknya, Le Dinh Chuc, dalam sidang di Kota Hanoi, Senin, 14 September lalu. Hakim Truong Viet Toan menyatakan mereka telah membunuh polisi dalam sebuah bentrokan antara polisi dan warga Desa Dong Tam, Distrik My Duc, di pinggiran Hanoi pada Januari lalu. Ayah mereka, Le Dinh Kinh, sesepuh desa itu, tewas ditembak aparat keamanan dalam insiden yang berpangkal dari sengketa lahan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hakim juga menyatakan tiga warga desa terlibat dalam pembunuhan tersebut dan menjatuhkan hukuman 12 tahun hingga penjara seumur hidup kepada mereka. Adapun 24 penduduk desa lain dinyatakan telah melawan aparat yang berwenang dan dihukum tiga-lima tahun penjara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nguyen Thi Duyen, keponakan Le Dinh Kinh, mengaku tak terkejut atas putusan pengadilan. “Saya sudah siap dengan kemungkinan terburuk,” katanya kepada RFA. “Tentu (polisi dan pengadilan) sudah melakukan semua yang mereka bisa lakukan untuk memastikan warga Dong Tam akan mendekam lama di bui.”

Permintaan tim pembela agar pengadilan melakukan rekonstruksi peristiwa kematian para polisi ditolak hakim. Jaksa beralasan hal itu akan menambah penderitaan para keluarga korban. “Kami tidak ingin membangkitkan kembali penderitaan, tapi menghindari penderitaan lain, yakni penderitaan atas ketidakadilan dan dakwaan yang keliru,” ucap Le Van Luan, anggota tim pembela.

Phil Robertson, Wakil Direktur Asia Human Rights Watch, mengaku tak terkejut atas hukuman berat untuk para terdakwa. “Para pemimpin Vietnam berusaha menunjukkan wajahnya sekeras mungkin kepada penduduk Dong Tam karena mereka khawatir pembangkangan komunitas ini akan menular, kecuali para terdakwa dijatuhi hukuman paling berat,” tuturnya dalam pernyataannya.

Kekisruhan ini bermula dari rencana perluasan bandar udara militer Mieu Mon yang berbatasan dengan Dong Tam (yang berarti “konsensus dan persatuan”). Menurut media pemerintah, Dan Tri, Komite Rakyat Hanoi menyatakan seluruh lahan bandara adalah milik Kementerian Pertahanan, tapi ada area seluas 64,03 hektare yang masuk wilayah Dong Tam. Selama puluhan tahun, pejabat Kementerian rupanya telah menjual dan menyewakan sebagian lahan tersebut kepada penduduk. Salah seorang pejabat, misalnya, meraup lebih dari 1,5 miliar dong atau Rp 1 miliar dari bisnis ini. Pada 2017, Partai Komunis Vietnam cabang My Duc menghukum 25 anggotanya yang terlibat dalam kasus ini.

Ketika pembangunan mulai dilakukan oleh Viettel Group, perusahaan komunikasi milik militer, penduduk melancarkan protes karena proyek merambah ke perumahan dan tanah pertanian. Pemerintah berjanji memberikan ganti rugi, tapi nilainya dianggap tak memadai.

Suhu mulai panas ketika polisi menangkap empat penduduk pada April 2017. Warga Dong Tam membalas dengan menyandera 38 pejabat, termasuk polisi. Nguyen Duc Chung, Ketua Komite Rakyat Hanoi, pemimpin kota itu, mengunjungi desa tersebut dan berjanji menyelidiki kasus ini. Penduduk pun melepas para sandera, tapi Chung tak pernah memenuhi janjinya.

Penduduk mengaku sudah tak percaya kepada pemerintah lokal. “Kami hanya mau berbicara dengan pemerintah pusat. Jika perdana menteri memutuskan untuk mengklaim kembali tanah tersebut, kami wajib memberikan, tapi dengan kompensasi yang memadai,” ujar seorang warga Dong Tam kepada BBC saat itu.

Kasus Dong Tam meledak terutama karena media sosial. Ketika penyanderaan terjadi, media konvensional sedikit memberitakannya, tapi warga desa menyiarkannya di Facebook dan YouTube. Ada sekitar 35 juta pengguna Facebook di Vietnam dan media itu menjadi arena perdebatan mengenai masalah ini.

Viettel lalu membangun tembok pembatas di sekitar area bandara pada 31 Desember 2019. Dakwaan pengadilan menyebut Le Dinh Kinh, 84 tahun, dan putranya, Le Dinh Cong (56), bersama sesepuh desa, Bui Viet Hieu (77), telah membentuk “tim konsensus” untuk mendorong penduduk agar mempertahankan tanah mereka. Kinh adalah anggota Partai Komunis dan bekas pemimpin desa itu. Tim ini dituduh telah mengumpulkan senjata untuk melawan polisi, seperti granat, tongkat besi, dan bom gas. Namun foto yang dipublikasikan polisi setelah insiden hanya menunjukkan “senjata” yang ditemukan di rumah penduduk berupa batu, gunting, pisau dapur, dan tabung gas.

Pada 9 Januari lalu, ratusan polisi tiba di gerbang desa. Menurut pengadilan, penduduk menyerang polisi dengan batu bata, bom molotov, granat, dan pisau. Tiga polisi jatuh dari atap rumah Le Dinh Kinh dan tewas terbakar bom molotov. Di tengah kericuhan itu, melihat Kinh sedang memegang granat, polisi menembak untuk melumpuhkannya.

Penutupan jalan di Dong Tam selama penolakan pembangunan bandara di Dong Tam, Vietnam, April 2017. Reuters/Staff

Namun Dong Tam Report, laporan yang disusun dua wartawan dan aktivis demokrasi Vietnam, Pham Doan Trang dan Will Nguyen, yang dirilis pada 25 September lalu, memberikan gambaran berbeda. Menurut mereka, sepekan sebelum insiden, penduduk telah mendapat bocoran video latihan polisi dalam persiapan menyerang Dong Tam. Polisi lalu mengepung dan menyerang desa itu pada dinihari setelah memadamkan listrik, Internet, dan jaringan telepon. Mereka menyerbu penduduk dengan gas air mata dan peluru karet serta memukuli warga desa, termasuk perempuan dan orang tua.

Pembunuhan tiga polisi, menurut laporan itu, adalah hasil penyelidikan sepihak oleh kepolisian, tanpa ada penyelidikan dan saksi independen. Semua anggota keluarga Le Dinh Kinh dan sejumlah warga desa diciduk polisi pada hari itu. Beberapa dari mereka kemudian dibebaskan, tapi 29 orang terus ditahan hingga sidang berlangsung dan praktis putus kontak dengan semua pihak. Beberapa warga kemudian membuat pengakuan di televisi dengan wajah lebam. Dalam persidangan, 19 terdakwa mengaku disiksa oleh polisi selama di tahanan. Trang dan Will Nguyen menilai bahwa polisi, yang mengontrol penuh seluruh proses investigasi, merekayasa semua cerita.

Dalam sebuah konferensi pers, Letnan Jenderal Luong Tam Quang, Wakil Kepala Departemen Keamanan Masyarakat Hanoi, menyatakan tiga polisi jatuh dari atap rumah Le Dinh Kinh dan tewas dibakar. Namun saksi menyatakan dinding sekitar ruangan itu tidak hangus. Lubang-lubang bekas peluru malah banyak ditemukan di dinding dan langit-langit rumah. Tak ada satu pun warga desa yang bisa menjelaskan bagaimana tiga polisi itu tewas.

Sebuah foto yang menggambarkan sesosok mayat hangus sekujur tubuhnya sempat beredar di Internet dan diklaim sebagai mayat salah seorang polisi. Namun foto ini kemudian dicabut dan tidak disertakan dalam dokumen pengadilan. Polisi bahkan tidak melakukan penyelidikan forensik terhadap kasus ini.

Kematian Le Dinh Kinh juga misterius. Du Thi Thanh, istri Kin, menyatakan suaminya masih hidup ketika diseret polisi masuk ke kamar. Dia menduga Kinh disiksa dan ditembak di sana. Dia sendiri juga disiksa dan dipaksa membuat pengakuan bahwa suaminya membawa granat.

Menurut laporan itu, Wakil Kepala Divisi Kriminal Kepolisian Kota Hanoi Letnan Kolonel Dang Viet Quang menyatakan kepada penyelidik kepolisian bahwa ia melihat “seorang pria berambut abu-abu” yang sedang memegang granat, tapi tak tahu apakah itu Kinh. Ia kemudian menembaknya dari belakang.

Di pengadilan, Bui Viet Hieu sang sesepuh desa mengaku menyaksikan Kinh ditembak dari depan dalam jarak sekitar satu meter. Kinh tidak memegang granat dan hanya mencengkam tongkat jalan. “Kinh jatuh, tewas di depan saya. Setelah itu, anjing pelacak masuk dan membawa mayatnya pergi,” katanya.

Sejumlah anggota Parlemen Uni Eropa yang dipimpin Saskia Bricmont mendesak Uni Eropa menangani kasus-kasus pelanggaran hak asasi di Vietnam belakangan ini, termasuk perkara Dong Tam. Dalam surat pada 25 September lalu, mereka meminta organisasi negara-negara Eropa itu memastikan klausul perlindungan hak asasi dalam perjanjian perdagangan bebas Uni Eropa-Vietnam, yang mulai berlaku pada Agustus lalu, diterapkan Vietnam dan dapat dibatalkan bila Vietnam gagal memenuhinya.

IWAN KURNIAWAN (RFA, BBC, Dan TRI)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus