Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kemenangan Donald Trump dalam pemilu menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Amerika menyetujui politik luar negerinya terhadap Timur Tengah.
Kemenangan Donald Trump mengkhawatirkan bangsa Palestina tapi membahagiakan bangsa Yahudi-Israel.
Sebenarnya tidak semua presiden dari Partai Republik tidak mendorong penyelesaian konflik Palestina-Israel.
KEMENANGAN Donald Trump dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat pada November 2024 menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Amerika menyetujui politik luar negerinya terhadap Timur Tengah yang konsisten mendukung eksistensi Israel. Jika ada solusi untuk konflik Arab Palestina-Israel, yang setahun ini terwujud dalam perang di Gaza yang meluas ke Libanon dan Iran, solusi tersebut tidak akan pernah meninggalkan kepentingan Israel, yakni meratakan Gaza dan menghancurkan bangunannya, menghabisi penduduk Palestina, menghancurkan Hamas, memusnahkan Hizbullah di Libanon, serta mengancam Iran untuk tidak mendukung kelompok perlawanan yang mengancam Israel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Donald Trump mengkhawatirkan bangsa Palestina tapi membahagiakan bangsa Yahudi-Israel. Kekhawatiran itu didasarkan pada kebijakan Trump di masa kepresidenannya yang pertama, bahwa dialah yang memindahkan ibu kota Israel dan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem dan mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah kedaulatan Israel. Kebijakan Trump tersebut sangat menguntungkan Israel, meskipun melanggar resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1947 bahwa Yerusalem merupakan kota internasional di bawah koordinasi PBB, bukan wilayah Israel ataupun Palestina, dan Dataran Tinggi Golan merupakan wilayah pendudukan yang dimiliki Suriah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada masa kampanye pemilihan umum tahun ini, Trump menggunakan konflik Timur Tengah sebagai alat propaganda dengan mengatakan bahwa eksistensi Israel akan terancam punah jika dia kalah, yang merupakan peringatan bagi warga Amerika keturunan Yahudi/Israel untuk memilihnya. Tapi, setelah terpilih, Trump mengatakan akan mendorong “gencatan senjata” guna menghentikan perang. Dengan demikian, pada dasarnya arah politik luar negeri Amerika terhadap Timur Tengah masih sulit diprediksi.
Analisis mengenai kemungkinan arah politik luar negeri Amerika biasanya dapat juga dipertimbangkan dari asal partai. Trump berasal dari Partai Republik, yang juga dikenal sebagai Grand Old Party atau GOP, yang cenderung pragmatis, konservatif, dan mendukung Israel tanpa syarat. Kecenderungan ini telah ditunjukkan Presiden-Presiden Amerika dari Partai Republik terdahulu, seperti Ronald Reagan, George H.W. Bush, George Walker Bush, dan Trump. Selama kepemimpinan mereka, hanya ada Konferensi Madrid tahun 1991 untuk penyelesaian konflik Palestina-Israel, tapi tidak ada kelanjutan penerapan kesepakatan-kesepakatannya karena tidak semua unsur Palestina terwakili.
George H.W. Bush digantikan oleh anaknya, George Walker Bush, yang mempunyai kebijakan mirip dengan ayahnya, yang keras terhadap kelompok perlawanan Timur Tengah yang mengganggu kepentingan Amerika di jazirah itu, terutama dalam menjaga eksistensi Israel. Di bawah Walker Bush, Amerika mengalami peristiwa yang dianggap memalukan, yaitu diserangnya Menara Kembar (WTC) pada 2001 hingga rata dengan tanah. Di bawah dia pula Amerika menduduki Afganistan sejak 2001 dan keluar pada 2022 dengan alasan mengejar penyerang Menara Kembar, yaitu Usamah bin Ladin. Tidak jelas alasan Bin Ladin yang sesungguhnya menyerang Amerika, yang diperkirakan sebagai bentuk solidaritas terhadap perjuangan Palestina. Walker Bush juga menduduki Irak sejak 2003 dengan alasan Irak pernah menyerang Kuwait dan kediktatoran Saddam Hussein karena ada kemungkinan Irak konsisten tidak mengakui eksistensi Israel.
Sementara itu, di bawah Partai Demokrat, Presiden Jimmy Carter pada 1978 mendamaikan Israel dengan Mesir dalam perundingan Camp David antara Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin dengan Carter sebagai mediator. Meskipun hasil perundingan tidak mengakhiri konflik Palestina-Israel, paling tidak ada inisiatif penyelesaian konflik.
Presiden Bill Clinton dari Demokrat mengupayakan perdamaian dan menjadi penengah dalam perundingan Oslo pada September 1993 antara Yasser Arafat, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang mewakili Palestina, dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Perundingan ini menghasilkan capaian bahwa Palestina akan mendapat otoritas terbatas di Jalur Gaza dan Tepi Barat dengan imbalan pengakuan eksistensi Israel oleh PLO.
Ilustrasi: Tempo/Indra Fauzi
Perundingan Oslo dianggap gagal karena mengakibatkan perjuangan Palestina terpecah antara Hamas di Gaza dan Fatah di Tepi Barat serta konflik terus terjadi. Namun, sebagai upaya perdamaian, ada kemajuan dalam perjuangan Palestina, yaitu memperoleh status kepemilikan (otoritas terbatas) di Gaza dan Yerikho serta tujuh kota lain di Tepi Barat dan untuk pertama kalinya eksistensi Israel diakui Palestina.
Selanjutnya, Presiden Barack Obama—juga dari Demokrat—sering menekan Israel agar tidak membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat. Tekanan Obama ini ditaati oleh Israel, tapi tidak sepenuhnya, sehingga pembangunan permukiman Yahudi menjadi lambat. Pembangunan permukiman Yahudi adalah lambang kekuatan Israel dan menghambat berbaurnya bangsa Palestina dengan Yahudi sehingga penyelesaian konflik makin sulit dilakukan.
Sebenarnya tidak semua presiden dari Partai Republik tidak mendorong penyelesaian konflik karena, pada Juni 2003, ada proposal 4 Negara (Quartet)—Amerika di bawah Walker Bush, Uni Eropa, Rusia, dan PBB—yang menawarkan penyelesaian yang dikenal sebagai “Peta Jalan Perdamaian”. Mereka mendesak Israel mundur dari wilayah Palestina yang diduduki sejak Perang 1967 sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 dan 338 serta mendukung Palestina merdeka dengan wilayah di Tepi Barat dan Gaza. Seperti perundingan yang lain, perundingan Peta Jalan Perdamaian tidak terlaksana karena Israel di bawah Ariel Sharon dari Partai Likud atau Kadima yang bergaris keras tidak mengakui hasil perundingan.
Sementara itu, tidak selamanya Partai Demokrat mendorong penyelesaian konflik/perang melalui perundingan. Hal ini dapat dibaca ketika Amerika dipimpin Joe Biden, yang tidak memberikan solusi apa pun untuk menghentikan perang Gaza, yang kemudian meluas ke Libanon dan Iran. Sikap Demokrat yang tidak mendorong solusi atas perang itu mungkin menyebabkan Kamala Harris harus menerima kekalahan dari Trump.
Perang Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023 lewat serangan Hamas ke wilayah Israel dan kemudian dibalas oleh Israel dengan serangan yang masif menuju genosida. Saat ini, menurut laporan Al Jazeera, hingga 14 November 2024, jumlah korban terbunuh di Gaza mencapai 43.603 orang, yang 16.765 di antaranya anak-anak; 102.929 orang terluka; sekitar 1 juta orang mengungsi; 1,5 juta orang kehilangan tempat tinggal; serta 80 persen bangunan hancur, termasuk rumah sakit dan sekolah. Di pihak Israel, sebanyak 1.139 orang meninggal dan 6.250 orang terluka serta tidak ada kerusakan infrastruktur yang berarti. Biden membiarkan saja keadaan ini.
Solusi apa yang akan diberikan oleh Donald Trump terhadap Gaza yang sudah porak-poranda? Trump berjanji membangun kembali Gaza setelah ia menjadi presiden. Dia juga akan melanjutkan “solusi dua negara”, yang selama ini ditawarkan melalui berbagai perundingan. Lalu untuk siapa Gaza setelah dibangun kembali? Bangsa Palestina akan memperoleh wilayah yang mana? Solusi itu dianggap tidak adil bagi bangsa Palestina, yang jumlahnya hampir sama dengan bangsa Yahudi tapi wilayahnya tinggal seperlima dari seluruh wilayah Israel—belum termasuk Gaza yang telah hancur.
Dengan demikian, baik Partai Demokrat maupun Republik mempunyai komitmen mendukung Israel tanpa syarat. Keterlibatan Amerika untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel tidak komprehensif dan menyeluruh alias tambal-sulam. Bagaimana mungkin Trump akan memberikan solusi pada konflik/perang ini ketika Amerika adalah bagian dari masalah konflik itu sendiri? Dia akan menjadi mediator tapi berpihak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Siti Mutiah Setiawati, dosen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta