Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para peretas Rusia dan Ukraina berperang di dunia siber.
Pemerintah Ukraina merekrut para peretas menjadi relawan “Tentara IT”.
Serangan Rusia sudah dimulai bertahun-tahun lalu.
DAVE, seorang insinyur perangkat lunak Ukraina, kini menjadi anggota Tentara Teknologi Informasi Ukraina, grup di media sosial Telegram tempat berbagi informasi mengenai sasaran Rusia. Grup yang beranggotakan lebih dari 311 ribu orang ini melancarkan serangan siber ke Rusia, termasuk bank dan tempat penukaran uang, sejak perang Rusia-Ukraina dimulai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya membantu Tentara TI dengan serangan DDoS,” katanya kepada CNBC, akhir Maret lalu. Serangan distributed denial-of-service (DDoS) adalah upaya mengganggu lalu lintas sebuah situs web dengan membanjiri situs itu dengan banyak kunjungan hingga situs tersebut terpaksa ditutup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dave menyewa sejumlah server di platform komputasi awan dan menciptakan bot yang menyerang sejumlah situs web sesuai dengan daftar yang disodorkan Dave. Dia mengaku menjalankan serangan dari tiga-lima server dan setiap server biasanya menghasilkan 50 ribu permintaan per detik ke suatu situs.
Nikita, direktur utama sebuah perusahaan keamanan siber, juga bergabung dalam Tentara Teknologi Informasi Ukraina. Dia mencoba menyampaikan kepada warga Rusia melalui layanan pesan pendek tentang apa yang sebenarnya terjadi di Ukraina di tengah kontrol media yang ketat dari Moskow.
Nikita dan timnya juga membocorkan kartu kredit orang Rusia secara online. “Saya publikasikan sekitar 110 ribu kartu kredit di kanal-kanal Telegram,” tuturnya kepada CNBC. “Kami ingin mereka kembali ke Zaman Batu."
Namun para pasukan siber Rusia pun sibuk menyerang situs-situs penting Ukraina. Microsoft melaporkan bahwa mereka menemukan serangan yang menyasar entitas Ukraina dari Strontium, kelompok peretas Rusia yang terhubung dengan badan intelijen Rusia (GRU), yang telah dilacak Microsoft selama bertahun-tahun. Pada Rabu, 6 April lalu, Microsoft memperoleh izin pengadilan untuk mengambil alih tujuh domain Internet yang digunakan Strontium untuk melakukan serangan. Sebelumnya, Microsoft telah 15 kali menjalankan usaha yang sama dan menguasai lebih dari 100 domain yang dikendalikan Strontium.
Strontium menggunakan domain itu untuk menyerang lembaga Ukraina, termasuk media. Mereka juga menyasar institusi pemerintah dan lembaga penelitian di bidang kebijakan luar negeri di Amerika Serikat dan Uni Eropa. “Kami percaya Strontium berusaha membangun akses jangka panjang ke sistem targetnya, memberikan dukungan taktis untuk invasi fisik, dan mengekstraksi informasi sensitif. Kami telah memberi tahu pemerintah Ukraina tentang aktivitas yang kami deteksi dan tindakan yang telah kami ambil,” ucap Tom Burt, wakil presiden Microsoft untuk urusan keamanan dan pelanggan, dalam pernyataannya.
Ketika tentara Rusia mulai merangsek ke Ukraina pada 24 Februari lalu, para peretas Rusia diduga telah menyerang infrastruktur KA-SAT, satelit milik perusahaan Amerika Serikat, Viasat. Dalam sekejap koneksi Internet di negeri itu dan sebagian Eropa padam. Namun Ukraina masih dapat mempertahankan akses Internet dan telepon di sebagian besar wilayah.
Hampir sebulan setelah serangan itu, gangguan terus berlanjut. Wired melaporkan ratusan pengguna Viasat di Eropa masih putus jaringan Internet-nya, termasuk 2.000 turbin angin di Jerman. Viasat juga masih sibuk mengganti modem dan memperbaiki koneksinya.
Sebagian jaringan Internet Ukraina padam karena peretasan atau infrastrukturnya dihancurkan oleh tentara Rusia. Untuk mengatasinya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiyy berbicara dengan Elon Musk. Musk kemudian mengaktifkan Starlink, jaringan Internet satelit milik SpaceX, perusahaan Musk, sejak akhir Februari lalu.
Starlink bukan jaringan Internet biasa. Ia adalah jaringan Internet yang langsung terkoneksi ke satelit sehingga pengguna tidak membutuhkan kabel atau menara seluler untuk komunikasi. Rabu, 6 April lalu, Badan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional (USAID) menyumbang 1.333 terminal tambahan dan SpaceX menyediakan 3.667 terminal untuk melayani Starlink.
Pemerintah Ukraina juga membentuk “Tentara IT” dengan mengajak para peretas di negeri itu untuk menjadi relawan yang melindungi infrastruktur penting dan memata-matai tentara Rusia. Kementerian Transformasi Digital Ukraina melaporkan Tentara TI meraih sejumlah kemenangan. Mereka telah mengganggu Gosuslugi, portal layanan umum Rusia, dan memadamkam situs Moscow Stock Exchange, Sberbank, dan BestChange, tempat penukaran mata uang kripto dan uang elektronik. Kementerian juga mengklaim bahwa Tentara TI telah membuat sejumlah situs pemerintah Rusia mati sementara, seperti situs Roskomnadzor, dinas federal urusan komunikasi; situs kepresidenan Rusia; dan situs Duma, parlemen Rusia. Media-media besar Rusia juga jadi sasaran mereka, seperti TASS, Kommersant, dan Fontanka.
Rusia dikenal memiliki kemampuan siber yang canggih dan bahkan negara pertama yang punya sekolah khusus untuk perang siber. Ardi Sutedja, Ketua Indonesia Cyber Security Forum, menuturkan serangan peretas Rusia ke Ukraina sebenarnya sudah lama terjadi. Saat itu, serangan itu bukan bertujuan merusak, melainkan hanya menguji sistem pertahanan dan mencuri data lembaga-lembaga penting di Ukraina. “Rusia perlu mengetahui kemampuan pertahanan negara-negara pecahan Uni Soviet dulu,” ujarnya kepada Tempo pada Sabtu, 9 April lalu.
Perang siber Rusia-Ukraina menjadi sorotan banyak pihak karena akan memberi gambaran bagaimana perang siber global terjadi. Amerika Serikat dan Uni Eropa telah bersatu untuk mendukung Ukraina dalam perang maya ini sehingga lingkup perang meluas. Pertempuran dunia siber skala besar dapat menjadi global karena efek limpahannya, ketika apa yang terjadi di Ukraina meluber ke negara lain.
Dampak luberan ini pernah terjadi, misalnya, pada 2017 ketika peretas Rusia diduga menyebarkan malware NotPetya untuk mengganggu bandar udara, kereta, dan bank Ukraina. Tapi NotPetya tidak berhenti di Ukraina. Ia menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dan menginfeksi berbagai server dan komputer perusahaan multinasional, termasuk perusahaan pelayaran global Maersk, raksasa farmasi Merck, dan anak perusahaan FedEx Eropa, TNT Express. Akibatnya, sebagian besar layanan perusahaan itu terpaksa ditutup untuk beberapa waktu.
Ardi menyebutkan jenis serangan siber yang utama dari Rusia kini adalah disinformasi. “Mereka menjalankan propaganda yang berusaha meyakinkan dunia bahwa mereka menyerang Ukraina untuk membela diri dan menyebarkan informasi yang memecah belah opini masyarakat dunia,” tuturnya. “Kita bisa melihat bagaimana masyarakat Indonesia bahkan juga terbelah dalam melihat perang Ukraina.”
Rusia juga melancarkan propaganda untuk memenangi hati dan pikiran rakyat Ukraina. Sebelum perang Rusia-Ukraina pecah, Jen Psaki, sekretaris pers Gedung Putih, memperingatkan perihal kenaikan 20 kali lipat rata-rata konten media sosial berbahasa Rusia sejak November tahun lalu. Hal ini merupakan bagian dari strategi Presiden Rusia Vladimir Putin untuk membangun dukungan publik dalam invasi ke Ukraina.
Menurut Ardi, operasi siber perang Rusia-Ukraina tidak dilakukan secara mendadak. “Ia membunuh secara pelan-pelan,” katanya. Dia mencontohkan bagaimana campur tangan agen-agen Rusia dalam pemilihan umum Amerika Serikat yang dapat mempengaruhi publik sehingga memenangkan Donald Trump. “Hal serupa bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia menjelang Pemilihan Umum 2024. Kita pernah mengalami bagaimana operasi siber pada Pemilihan Umum 2019 telah memecah belah masyarakat.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo