Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Garis Keras Masih Perkasa

Kubu konservatif tetap kuat dan loyalitas kepada Ali Khamenei masih menjadi tolok ukur. Krisis ekonomi belum mendorong perubahan.

9 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fatemeh tak dapat melupakan tingkah ayahnya, Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, di hari terakhir pendaftaran calon Presiden Iran pertengahan bulan lalu. Seharian Rafsanjani tak pernah jauh dari pesawat telepon, menunggu panggilan telepon dari pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei.

Rafsanjani, Presiden Iran periode 1989-1997, menantikan restu sang pemimpin tertinggi untuk mendaftar menjadi calon presiden pada pemilihan umum 14 Juni 2013. Tapi hari itu panggilan yang dia nantikan tak kunjung datang. Ia pun memutuskan tidak akan maju tanpa restu Khamenei.

Sekitar satu setengah jam sebelum pendaftaran ditutup, tiba-tiba ia berubah pikiran. "Ayah bergegas ke luar kantor dan bilang, 'Demi nama Tuhan, ayo kita maju'," ujar Fatemeh kepada surat kabar reformis Iran, Shargh, beberapa hari kemudian.

Namun pria 78 tahun itu kalah sebelum masuk ring. Dewan Pelindung Konstitusi, yang beranggotakan enam ahli hukum dan enam ahli ilmu agama, menyatakan Rafsanjani tak memenuhi syarat sebagai calon presiden. Juru bicara Dewan Pelindung, Abbas-Ali Kadkhodaei, mengatakan undang-undang tidak secara jelas mengatur kriteria kesehatan dan kondisi fisik calon presiden. Namun, kata dia, Pasal 115 Konstitusi Iran menyatakan presiden harus dipilih dari tokoh agama dan politik. "Tokoh itu tentu saja harus dalam kondisi sehat. Orang yang hanya kuat bekerja selama tiga-empat jam sehari tidak dapat memegang jabatan sebesar itu," ujarnya kepada jaringan berita berbahasa Arab, Al-Alam.

Usia sepertinya bukan alasan utama penolakan itu. Buktinya Dewan Pelindung meloloskan bekas menteri perminyakan Mohammad-Gharazi, yang sudah berusia 72 tahun. Kelompok oposisi menilai Rafsanjani ditolak karena dianggap bukan calon yang diinginkan Khamenei. Rafsanjani selama ini dikenal mendukung kelompok reformis, yang berseberangan dengan pemimpin tertinggi. Keterlibatannya menyerukan kebebasan lebih luas bagi setiap warga negara dalam aksi protes pascapemilu 2009 membuat para ulama konservatif dan militer tak menyukainya.

Kritik lebih tajam keluar dari mulut Ketua Dewan Pelindung Ayatullah Ahmad Jannati. Dia mengkritik Rafsanjani yang hidup dalam gelimang kemewahan. Ia mengatakan seorang presiden harus hidup sederhana. "Orang yang berbicara soal hidup sederhana tapi mengendarai Mercedes-Benz tidak mencerminkan penderitaan rakyat, tidak mengerti kapan mereka berbicara kelaparan, dan tidak punya simpati kepada kelas pekerja," kata Jannati. Rafsanjani kaya berkat bisnis keluarganya di bidang gas alam.

Jannati mengatakan Dewan Pelindung juga menolak calon presiden yang punya kaitan dengan Amerika Serikat. Rafsanjani memang menyarankan perbaikan hubungan Iran-Amerika, meski ia tak menyarankan hubungan diplomatik kedua negara dibuka kembali sejak putus setelah revolusi 1979.

Beberapa hari sebelum pembukaan pendaftaran calon presiden, Khamenei mengatakan Iran membutuhkan presiden yang berani di pentas internasional serta memiliki program yang matang dan bijak di dalam negeri. "Dan menyandang akhlak yang bersih, jauh dari hal-hal yang memicu keributan," ujar Khamenei seperti dilansir situs pribadinya, Khamenei.ir.

Rafsanjani sebenarnya dekat dengan Khamenei. Ia dianggap berjasa mendukung Khamenei menggantikan Ayatullah Khomeini pada 1989. Dalam berbagai kesempatan, Rafsanjani bahkan mengatakan ia telah berkawan dengan Khamenei selama 50 tahun meski keduanya memiliki perbedaan gagasan mendasar mengenai kondisi negara.

Dalam beberapa tahun terakhir, Rafsanjani kerap mengkritik pemerintah. Ia mengungkapkan Iran menghadapi ancaman fasisme Islam dan negara sedang berada dalam krisis. Tapi Khamenei justru menyatakan Iran sedang membuat lompatan kemajuan yang luar biasa. Malangnya, para pendukung setia Khamenei menganggap setiap kritik terhadap pemimpin tertinggi merupakan penghinaan.

Dari ratusan orang yang mendaftar, Dewan Pelindung Konstitusi hanya meloloskan delapan calon presiden. Dua kandidat terhitung reformis, yaitu Mohammad-Reza Aref, 62 tahun, wakil presiden periode 2001-2005 di era Presiden Mohammad Khatami; dan Hassan Rouhani, 65 tahun, ulama anggota Majelis Ahli. Enam calon lain, termasuk dua yang terkuat, yaitu Mohammad Bagher Ghalibaf, 52 tahun, Wali Kota Teheran, dan Saeed Jalili, 48 tahun, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional dan negosiator nuklir Iran, masuk barisan konservatif.

Absennya Rafsanjani menguntungkan dua kandidat yang dekat dengan Korps Garda Revolusi, yakni Ghalibaf dan Jalili. Korps Garda Revolusi memainkan peran dominan dalam politik setelah revolusi Iran. Karim Sadjadpour dari Carnegie Endowment for International Peace—lembaga pemikir kebijakan luar negeri yang berbasis di Washington—mengatakan Garda Revolusi menjadi institusi terkemuka dalam kekuasaan, baik secara sosial maupun ekonomi. Mereka memainkan peran besar mendukung Khamenei.

Menurut Sadjadpour, Jalili patuh dan diterima para ulama dan Garda Revolusi, tapi tidak populer dan tidak karismatik. "Sedangkan Ghalibaf populer, karismatik, tapi tidak tunduk kepada pemimpin tertinggi," ujarnya.

Sedangkan nasib kandidat yang reformis tak terlalu baik. Dalam suatu pertemuan di Masjid Jamaran, Teheran, Sabtu dua pekan lalu, polisi menahan tujuh pendukung Hassan Rouhani. Mereka ditangkap karena membawa foto Mir-Hossein Mousavi, perdana menteri terakhir Iran (1981-1989). Para peserta pertemuan juga membawa sejumlah spanduk bertulisan "Matilah diktator", "Tahanan politik harus dibebaskan", dan "Perdana menteri di era Imam Khomeini (Mousavi) harus dibebaskan".

Mousavi kalah dari Mahmud Ahmadinejad pada pemilu 2009. Ia menuduh terjadi kecurangan sehingga Ahmadinejad terpilih kembali menjadi Presiden Iran. Pemerintah menganggap tuduhan Mousavi itu memicu gelombang protes yang berujung pada aksi kekerasan di jalanan. Akibatnya, Mousavi diganjar tahanan rumah hingga kini. "Para kandidat dilarang mengikuti pemimpin yang menghasut pembangkangan 2009," kata kepala kepolisian nasional, Jenderal Esmaeel Ahmadi Moghaddam, seperti dikutip kantor berita ISNA.

Anak-anak muda pendukung Rouhani, yang sebagian besar lahir pascarevolusi, mewakili generasi yang terlibat dalam Gerakan Hijau—gerakan yang mengacu pada serangkaian unjuk rasa pascapemilu 2009—yang digalang Mousavi dan Mehdi Karroubi. Mereka menuntut pelengseran Ahmadinejad. Hijau adalah warna yang digunakan dalam kampanye Mousavi, tapi setelah pemilu warna itu menjadi simbol kesatuan dan harapan bagi mereka yang menuntut pembatalan hasil pemilihan.

Generasi yang tak punya kenangan akan revolusi 1979 ini tumbuh dengan akses lebih besar pada pendidikan, televisi satelit, dan Internet. Janji-janji akan masyarakat yang lebih bebas dari para reformis menjejali otak mereka. Ketika para pemimpinnya dipenjara atau dilarang berpolitik, mereka bergerak sendiri melawan dominasi kaum konservatif.

Harapan mereka tumbuh sejak era Mohammad Khatami—presiden periode 1997-2005. Sayang, Khatami tetap tak kuasa menentang pemimpin tertinggi. Ia tak berpihak kepada mahasiswa ketika pecah unjuk rasa di Universitas Teheran pada 1999.

Atmosfer kubu konservatif memang masih kuat. Namun, siapa pun pemimpin negara seribu mullah itu, tantangan terberatnya adalah memperbaiki kondisi ekonomi. Seperti yang dikatakan Rafsanjani, Iran menanggung utang US$ 500 miliar (sekitar Rp 4.900 triliun) dan tak ada uang untuk membayarnya. Inflasi menembus angka 40 persen, pertumbuhan ekonomi negatif, dan mata uang riyal melemah hingga 60 persen terhadap dolar Amerika. Kalaupun ada, uang hasil penjualan minyak dan produk pertanian Iran, kata dia, tidak bisa ditransfer ke negara itu akibat sanksi internasional.

"Bisa Anda tanyakan kepada setiap orang siapa yang berani menerima tanggung jawab menjadi presiden dalam kondisi seperti ini," ujarnya seperti dikutip Mojahedin.org.

Sapto Yunus (New York Times, Foreign Policy, Al-Ahram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus