Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SORE akhir Mei lalu berjalan seperti biasa bagi Loulou Awad. Pria 20 tahun itu tengah asyik menonton siaran berita sore di rumahnya di Hermel, kota kecil di Provinsi Beqaa, timur laut Libanon. Ketenangan langsung buyar ketika sebuah roket menghantam tak jauh dari rumahnya. Mahasiswa jurusan manajemen hotel itu segera bergegas naik ke atap rumah pamannya yang berada tepat di seberang jalan untuk melihat apa yang terjadi.
Hanya berselang 15 menit, roket kedua justru jatuh menghantam rumahnya. Puing berhamburan menimpa Awad. Ayahnya, Abdullah, dan ibunya, Salma, yang tengah berada di ruang tengah, tewas setelah roket menghantam rumah dua lantai tersebut. Awad bergegas memasuki reruntuhan. Ia berhasil menemukan istrinya. Namun, yang membuat hatinya hancur, ia menemukan putrinya meringkuk dekat tempat tidur dengan luka pecahan roket di belakang kepala. "Saya segera tahu dia sudah meninggal," kata Awad menarik napas sedih.
Tembakan roket menjadi hal yang rutin bagi warga Hermel belakangan ini. Wali Kota Bassam Taha mengatakan lebih dari 65 roket ditembakkan ke Hermel dan Danieh, basis lain Hizbullah di selatan Ibu Kota Beirut, dalam dua bulan terakhir. Hujan tembakan roket membuat kehidupan kota yang dikenal sebagai Kamouh atau pira-mida Hermel itu berubah drastis. Jalanan sepi, toko dan sekolah tutup, restoran di sekitar Sungai Orontes yang biasanya menyajikan ikan segar kini kosong.
Tak ada keterangan pasti mengenai asal tembakan roket dan pelakunya. Sebagian besar meyakini roket ditembakkan oleh kelompok oposisi di Suriah. Hal ini lantaran keikutsertaan milisi Hizbullah mendukung Presiden Bashar al-Assad. Hermel, yang berpenduduk 70 ribu jiwa, merupakan salah satu kantong utama Hizbullah. Di alun-alun Sabeel yang berada di pusat kota, terpampang poster raksasa pemimpin Hizbullah, Syekh Hassan Nasrallah, bersebelahan dengan poster Assad.
Ketika konflik pecah pada Maret 2011, nama Hizbullah, yang memiliki kekuatan utama di Libanon, di perbatasan barat Suriah, sama sekali tak pernah disebut-sebut. Suriah justru lebih sering berseteru dengan tetangganya, Turki di sebelah utara dan Israel di barat daya. Barulah pada akhir April lalu Hizbullah terang-terangan menyatakan mendukung Assad. Milisi Hizbullah membanjiri Suriah membantu Assad merebut Qusair, kota di Provinsi Homs, Suriah Barat, yang sempat jatuh ke tangan pemberontak. Intelijen Amerika Serikat dan Israel mengkonfirmasi keterlibatan Hizbullah. Namun mereka tak punya angka pasti tentang jumlah pasukannya. Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry menyebut angka 2.000-2.500 personel. Sedangkan laporan intelijen Prancis mencatat angka 4.000 orang.
Sebenarnya milisi Hizbullah tak baru-baru ini saja terjun dalam perang saudara di Suriah. Beberapa pengamat meyakini kemampuan Assad bertahan dalam konflik yang sudah berjalan dua tahun dan menelan korban lebih dari 80 ribu jiwa antara lain berkat dukungan Hizbullah. Setelah Nasralah berpidato pada 30 April lalu, keterlibatan Hizbullah dalam konflik Suriah menjadi sikap resmi. Pemimpin besar kelompok yang menguasai selatan Libanon itu mengatakan sekutu Suriah yang tergabung dalam Poros SyiahIran dan Hizbullahakan melakukan apa pun untuk menyelamatkan Suriah. "Suriah adalah benteng terakhir kekuatan perjuangan Hizbullah. Suriah adalah tulang punggung pergerakan Hizbullah. Hizbullah tidak bisa tinggal diam ketika benteng terakhir ini hendak dijatuhkan," teriak Nasrallah dalam pidato perayaan ulang tahun ke-13 mundurnya Israel dari Libanon. "Kita idiot jika kita tidak bertindak," kata pria 52 tahun itu berapi-api.
Aliansi Hizbullah, Suriah, dan Iran adalah cerita lama. Hizbullah didirikan Iran pada 1985 tak lama setelah Israel menginvasi Libanon pada Juni 1982-Mei 1983. Bahkan, pada awal pendiriannya, para milisi Hizbullah dilatih Garda Revolusi Iran, pasukan elite negara itu. Dalam manifestonya disebutkan tujuan utama mereka adalah mengusir Israel dari Libanon. Kelompok ini kian mencorong ketika konflik dengan Israel yang merebut Libanon Selatan meletus pada Juni 1982-Mei 2000. Adapun Suriah menjadi jembatan antara Iran dan Hizbullah di Libanon. Suriah dipimpin Assad, yang berasal dari suku Alawit, pecahan Syiah.
Sejarah, keterikatan, dan musuh bersama menjadi alasan Hizbullah terlibat dalam konflik Suriah. Hasil akhir dari perang saudara ini dapat menentukan masa depan aliansi dua negara ini, antara Iran dan Libanon. "Hasil perang di Suriah sangat menentukan kekuatan politik Syiah kawasan ini," kata Ghassan al-Azzi, profesor ilmu politik di Universitas Libanon, seperti dilansir Maan News.
Kejatuhan dinasti Assad bisa mematikan gerakan Hizbullah. Mereka akan kehilangan salah satu alur pemasok senjata, tentara, dan pendanaan. "Hizbullah tidak akan lagi mendapatkan dukungan penuh dari rezim Suriah yang selama ini telah dinikmatinya selama lebih dari tiga dekade," ujar Waddah Sharara, profesor sosiologi di Universitas Libanon dan penulis sebuah buku tentang Hizbullah.
Keterlibatan Hizbullah jelas bukan tanpa harga. Sharara mengatakan, jika Hizbullah tersedot dan terjerumus jauh dalam konflik, hal itu akan berdampak buruk terhadap mereka sendiri. Yang mendapat keuntungan adalah Israel. John J. Mearsheimer, profesor ilmu politik di University of Chicago, mengatakan Hizbullah adalah musuh terdepan Israel.
Lebih serius lagi, situasi terakhir justru memperuncing ketegangan antara Sunni dan Syiah di Libanon. Riak perseteruan itu sudah muncul. Populasi Libanon terpecah dua: kelompok Syiah yang mendukung rezim Assad dan kubu Sunni yang mendukung pemberontak. "Keterlibatan Hizbullah secara terbuka bukan lagi rahasia yang harus ditutupi, dan sekarang kita berada dalam sebuah krisis yang menyebabkan rakyat Libanon tidak hanya terpecah secara politik tapi juga secara militer," kata Ghassan al-Azzi.
Kelompok-kelompok Sunni dengan cepat memberikan respons keras. Mereka mengecam Hizbullah yang mulai membawa Libanon terlibat langsung dalam konflik di Suriah. Gesekan sektarian sudah muncul di kota pelabuhan Tripoli, sekitar 50 kilometer dari Hermel. Sejak awal tahun, perkelahian di jalan-jalan kota itu sudah menewaskan setidaknya 28 orang dan membuat 200 lainnya luka-luka.
Posisi Hizbullah sepertinya tidak akan runtuh dalam waktu dekat. Mohammed Hamadeh, petani 66 tahun dari Hosh Seyed Ali, mengaku sebagai pendukung Hizbullah. Ia menyebut kelompok ini berjuang mati-matian untuk melindungi penduduk desa. "Apakah Anda pikir kami masih duduk di sini jika bukan karena Hizbullah?" katanya. "Kami akan terus berada di belakang Nasrallah."
Banyak anggota dan pendukung Hizbullah percaya salah satu tujuan utama menggulingkan Assadyang dipromotori Amerika, Barat, negara Arab beraliran Sunni, dan beberapa faksi Libanonadalah untuk menghancurkan Hizbullah demi memenuhi permintaan Israel. Tak pelak keterlibatan Hizbullah secara terbuka dalam konflik Suriah dianggap sah. "Kami ikut campur di Suriah karena tidak ingin diperintah kelompok ini," kata Ibrahim Amin al-Sayed, pejabat senior Hizbullah, dalam pidatonya yang disiarkan televisi kelompok ini, Al-Manar.
Raju Febrian (Foxnews, Al-Jazeera, Al-Arabiya, Foreign Policy)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo